Wyvern, 07

3674 Words
Tidak seperti hari-hari kemarin, di mana Algren dan siswa RKA lain belajar di dalam kelas, selepas ujian pengetahuan berakhir, kini semua siswa dikumpulkan di sebuah ruangan yang cukup luas. Ada lapangan besar menyerupai sebuah arena di tengah-tengah ruangan yang memuat kapasitas sampai ratusan orang. Algren menggulirkan mata ke sekeliling, menemukan area seperti tribun untuk penonton, dia jadi mencurigai sesuatu sekarang. Untuk membuktikan pemikirannya benar, dia pun bertanya pada Drew yang berdiri di sampingnya, “Drew, ruangan ini seperti arena perlombaan?” tanyanya, memastikan. “Ini arena untuk bertarung. Untuk melakukan duel.” Algren terbelalak mendengar informasi yang baru dia dapatkan dari Drew ini. “Arena untuk duel kau bilang? Kenapa kita dikumpulkan di sini?” “Menurutmu kenapa?” Alih-alih memberikan jawaban atas kebingungan yang sedang dirasakan Algren, Drew justru balik bertanya. Kedua mata Algren melebar sempurna, “Jangan bilang, kita akan melakukan duel satu lawan satu di sini?” “Sepertinya jawabannya memang itu.” Algren tak tahu lagi harus berekspresi seperti apa saat ini. Hanya saja dia tak merasa khawatir untuk masalah yang satu ini karena bela diri dan bertarung menggunakan pedang memang keahliannya. Algren hanya menyeringai dan hal itu mengundang atensi Drew yang tanpa sengaja melihatnya. “Kenapa kau terlihat senang setelah mendengar kita kemungkinan akan melakukan duel dengan siswa lain di sini?” Ditanya seperti itu oleh Drew yang terlihat penasaran karena satu alis pria itu terangkat tinggi, Algren menyengir lebar, “Ini karena bela diri itu keahlianku. Dulu ayah sering mengajariku bela diri. Ayahku itu walaupun hanya petani tapi untuk urusan bertarung dengan tangan kosong maupun menggunakan pedang, dia tak terkalahkan. Di kotaku, dia yang terkuat. Aku kurang lebih menguasai semua ilmu bela diri yang pernah ayah ajarkan padaku.” Algren yakin melihat Drew tiba-tiba terdiam, wajah pria itu yang biasa terlihat ramah, untuk pertama kalinya terlihat datar, tanpa ekspresi. “Kenapa, Drew? Kau juga pasti ahli dalam bela diri, bukan?” Drew mendengus, “Aku tidak ingin membahas ini,” jawabnya lalu tiba-tiba dia memalingkan wajah seolah memberi isyarat bahwa dia tak ingin lagi membahas masalah ini. Algren heran tentu saja, tapi dia mencoba memaklumi sehingga dia pun memilih diam, tak bertanya apa pun lagi pada Drew yang sekilas pun terlihat suasana hatinya sedang tidak baik. Keheningan yang melanda Algren dan Drew tak berlangsung lama karena setelah itu sosok orang yang semua siswa tunggu-tunggu, akhirnya menampakkan diri. Crowley namanya. Merupakan salah satu pengajar juga di RKA. Jika melihat dari tubuhnya yang kekar dan berotot disertai wajah yang sangar dengan mata memicing tajam layaknya seekor elang yang siap memangsa buruannya, bisa ditebak dia bukanlah orang sembarangan. Dua buah pedang berukuran cukup besar tersampir di punggungnya. Wajahnya yang penuh goresan luka semakin mempertegas bahwa dia bukan petarung sembarangan. Kini benak Algren semakin penuh dengan tanda tanya, sebenarnya apa yang akan mereka lakukan di ruangan yang katanya arena untuk melakukan duel tersebut. *** Mungkin sejak awal Drew sudah bisa memprediksi alasan mereka dikumpulkan di arena tersebut, tidak lain karena ini adalah bentuk ujian yang lain. Sebuah ujian untuk mengetahui kemampuan bela diri para siswa. Menurut penuturan Crowley, hal ini diperlukan karena sebagai ksatria penunggang Wyvern, tentunya kelak mereka akan selalu terlibat dalam bahaya, peperangan merupakan sesuatu yang lumrah mereka ikuti sebagai pelindung kerajaan. Karena itu, kemampuan bela diri dan bertarung dengan menggunakan senjata sangat penting dikuasai oleh semua siswa RKA. Inilah tujuan ujian tersebut dilangsungkan, tidak lain untuk mengetahui seberapa layak mereka menjadi calon ksatria penunggang Wyvern. Satu demi satu nama siswa sudah dipanggil oleh Crowley. Duel berlangsung di antara dua siswa. Selama kedua siswa sedang menunjukan kemampuan mereka di arena, maka siswa yang lain akan duduk di tribun penonton yang sudah tersedia di ruangan tersebut. Algren tampak antusias menyaksikan pertarungan demi pertarungan yang tersaji di depan matanya. Namun, sepertinya tidak demikian dengan Drew. Pria itu terlihat gelisah dalam duduknya dan hal itu tentu saja disadari oleh Algren yang duduk tepat di sampingnya. “Drew, kau baik-baik saja?” tanya Algren, mulai mengkhawatirkan kondisi pria itu yang tidak seperti biasanya. “Memangnya kenapa?” Alih-alih menjawab, Drew justru mengembalikan pertanyaan. Algren berdecak, mulai kesal karena sejak tadi Drew terus bersikap menyebalkan seperti itu, menurutnya sama sekali tidak seperti Drew yang dia kenal. “Aku lihat kau sangat gelisah sejak memasuki ruangan ini. Kalau ada masalah, kau bisa menceritakannya padaku.” Algren tulus menawarkan kebaikan itu tapi rupanya tidak disambut baik oleh Drew karena pria itu kini mengulas senyum miring dan sinis, seperti sebuah cemoohan di mata Algren. “Tidak perlu sok peduli padaku, Algren. Karena kau tidak akan bisa membantu apa pun.” Algren heran bukan main, Drew yang hari ini dia lihat memang tidak seperti sosok yang dia kenal yang selalu baik dan ramah padanya. “Edrea Leteshia!” Satu teriakan dari Crowley dan sukses mengalihkan atensi Algren yang sejak tadi tertuju pada Drew, kini beralih ke arena bertarung. Dia meneguk ludah ketika melihat Edrea yang baru saja namanya dipanggil kini sudah berdiri di tengah-tengah arena. “Hei, hei, serius. Dia itu kan seorang wanita, masa iya mau duel dengan seorang pria?” “Walau wanita, tetap saja dia itu siswa di academy ini. Jadi wajar jika dia juga harus mengikuti ujian ini,” sahut Drew. Tetap saja bagi Algren, tidak seharusnya seorang wanita bertarung dengan pria yang tentunya memiliki tenaga yang lebih besar dan kuat dari gadis itu. Seperti yang sudah Algren duga, Edrea tak akan mungkin bisa keluar sebagai pemenang. Meskipun dia salut dengan kemampuan dan keberanian gadis itu. Dalam beberapa kesempatan, dia berhasil menghindari serangan lawan, bahkan dia bisa memukul balik sehingga serangannya yang tepat mengenai sasaran. Sayangnya setelah sepuluh menit berlalu sejak pertarungan itu berlangsung, Edrea tumbang karena perutnya terkena tendangan sang lawan membuat gadis malang itu tersungkur dan tumbang. Dari wajahnya yang meringis kesakitan, Algren seketika merasa iba dan semakin memiliki pemikiran seharusnya wanita tidak mengikuti ujian ini. “Bagus sekali, Edrea. Walaupun kau kalah tapi kau berhasil menunjukan dirimu layak menjadi penunggang Wyvern.” Setidaknya gadis itu mendapatkan pujian dari Crowley, Algren mengembuskan napas lega, terlebih karena melihat Edrea baik-baik saja. Meskipun sempat tumbang dan mengerang kesakitan sembari memegangi perutnya, gadis itu masih bisa kembali bangkit, bahkan mampu meninggalkan arena dengan berjalan kaki. “Aku rasa kau benar-benar menyukainya ya, Algren?” Algren tersentak mendengar suara yang mengalun dari arah samping, tentu saja pemiliknya adalah Drew yang lagi-lagi menggodanya setelah memergoki Algren yang tertangkap basah terus memandang ke arah Edrea. Algren mendengus, “Siapa bilang? Aku sama sekali tidak tertarik apalagi menyukainya.” “Aku lihat kau terus menatap ke arahnya. Wajahmu terlihat cemas saat dia tumbang tadi. Tapi langsung berubah lega ketika melihatnya baik-baik saja dan bisa kembali berdiri. Itu apa namanya kalau bukan kau peduli padanya?” “Hm, ini semacam rasa kemanusiaan saja. Aku kasihan padanya karena kupikir wanita sepertinya tidak seharusnya berada di tempat ini. Mungkin lebih tepatnya tidak seharusnya dia menjadi ksatria penunggang Wyvern. Dia itu wanita yang seharusnya diam saja di rumah, bukannya menjadi ksatria pelindung kerajaan seperti kita, para pria.” “Ini sudah menjadi takdirnya. Elmara memilihnya pasti bukan tanpa alasan.” “Elmara?” gumam Algren, karena merasa nama itu asing di telinganya. “Wyvern yang memilih Edrea menjadi penunggangnya bernama Elmara.” Algren melongo, “Wyvern-nya juga betina?” Drew mengangguk, mengiyakan, “Ada beberapa Wyvern betina karena tidak semuanya jantan.” “Oh, aku baru tahu. Aku pikir mereka itu jantan semua. Apa ini artinya mereka melakukan reproduksi dan berkembang biak seperti kita?” Drew menggelengkan kepala kali ini, “Setahuku tidak. Mereka tidak berkembang biak karena jumlah mereka saat pertama kali mendatangi Planet Terrarum dan sekarang masih tetap sama. Tidak ada pertambahan maupun pengurangan.” Untuk kesekian kalinya Algren melongo karena sungguh dia baru mengetahui fakta yang satu ini, “Berarti usia mereka sudah ratusan tahun?” “Ya, kurasa mereka makhluk abadi karena itu semua orang menganggap mereka seperti Dewa.” Algren mengembuskan napas pelan, mulai sekarang bertekad tidak akan melakukan tindakan ceroboh lagi di depan Eldron karena ternyata mereka bukan makhluk sembarangan. “Tapi aku pernah mendengar rumor.” Algren yang sudah menatap arena pertarungan di mana ada dua siswa yang sedang melakukan duel di sana, kini mengalihkan tatapannya pada Drew yang kembali bersuara. “Rumor apa?” tanyanya. “Rumor Eldron dan Elmara adalah pasangan. Jadi sangat wajar jika penunggangnya juga kelak menjadi pasangan.” Seketika Algren terbelalak, “Jangan bercanda. Itu mustahil! Aku dan Edrea ….” Algren hanya tertawa, karena menurutnya itu sesuatu yang paling mustahil bisa terjadi. “Candaanmu sama sekali tidak lucu, Drew.” “Aku serius.” “Aku heran karena kau senang sekali menggodaku dan Edrea. Sekarang aku paham ternyata karena ini alasannya. Kau ini …” “Algren Cannet!” Algren sama sekali tak meneruskan ucapannya yang masih menggantung di tenggorokan. Bukan karena dia tak mau melainkan karena dia tak bisa. Namanya baru saja disebut oleh Crowley, yang mana artinya dia harus bergegas maju ke tengah arena. “Bukan saatnya untuk membalas kata-kataku. Sana, pikirkan caramu untuk menang. Jangan sampai semua orang berpikir kau tidak layak menjadi penunggang Eldron.” Sungguh tanpa Drew mengatakannya pun, Algren sudah mengetahui hal ini. Tapi dia tak gentar karena untuk urusan bela diri, Algren cukup percaya diri. Dia lantas berdiri tegak seraya mengangkat kepala tinggi, “Perhatikan baik-baik, Drew. Akan kuperlihatkan kemampuanku yang sebenarnya. Mungkin karena kemampuanku ini menjadi alasan Eldron memilihku menjadi penunggangnya.” Drew hanya menyeringai karena inilah saat yang sudah dia tunggu-tunggu yaitu ingin mengetahui keistimewaan seorang Algren Cannet sampai Eldron sendiri yang memilihnya. Sebentar lagi dia akan mengetahui jawabannya. *** Pertarungan di tengah arena terlihat begitu sengit karena rupanya lawan Algren pun memiliki kemampuan bela diri yang mumpuni. Namun, tetap saja pria itu belum mampu mengimbangi kecepatan gerakan Algren. Seolah memiliki kecepatan kilat layaknya petir merupakan julukan yang pantas untuk dia sandang, setiap melakukan serangan entah dengan menggunakan kepalan tangan maupun kakinya, sang lawan selalu kesulitan membaca gerakan Algren. Seperti saat ini contohnya, ketika sang lawan mencoba melayangkan pukulan ke wajah Algren, hasilnya nihil karena dengan cepat Algren bergerak memutar tubuhnya sehingga dia yang seharusnya berada di depan sang lawan, kini beralih berdiri di belakangnya. Dengan mudah Algren memukul tengkuk sang lawan dengan telapak tangannya. Pria itu pun tersungkur jatuh, tapi belum menyurutkan semangat untuk kembali bangkit dan mencoba melawan Algren kembali. Pria berperawakan tinggi besar sehingga postur tubuh Algren lebih pendek darinya itu, kini sudah kembali bangkit berdiri. Lantas melayangkan pukulan tangan dan kaki secara bertubi-tubi tetapi tak ada satu pun serangannya yang berhasil mengenai Algren. Ketika pria itu berniat menendang perut Algren dengan kakinya, Algren menghindar dengan cara membungkuk dan justru pria itu yang berbalik terkena pukulan kepalan tangan Algren yang mendarat di dagunya. Si pria meringis kesakitan seraya memegangi dagunya yang baru saja terkena pukulan keras dari Algren, terlalu keras sampai lidahnya berdarah karena tanpa sengaja tergigit oleh pria itu. Wajahnya memerah, terlihat marah karena dilihat dari sudut mana pun mustahil dia bisa mengalahkan Algren. Hanya saja pria itu memiliki gengsi dan harga diri yang tinggi. Dia seorang bangsawan kasta kedua dan tidak seharusnya dia dikalahkan oleh r'akyat j'elata seperti Algren. Pria itu melakukan tindakan curang, dia melompat keluar arena, alih-alih untuk melarikan diri dia justru kembali ke arena tidak dengan tangan kosong, melainkan sebuah pedang kini dia genggam. Pedang yang tergeletak di atas meja dan dia ambil tanpa permisi. “Hei, tidak diperbolehkan bertarung dengan menggunakan senjata di sini. Ujian ini hanya berlaku pertarungan tangan kosong!” teriak Crowley yang tampak murka karena pria yang menjadi lawan Algren, begitu berani melanggar peraturan yang sudah dia jelaskan sedari awal. Namun, seolah telinganya t'uli, pria itu tak mempedulikannya. Dia kembali melayangkan serangan dengan membabi buta ke arah Algren. Pedangnya dia ayunkan secara bertubi-tubi tampak serius ingin membelah tubuh Algren menjadi dua bagian dengan bilah pedang yang terlihat tajam itu. Tentu saja tak semudah itu dia bisa mewujudkan keinginannya untuk menghabisi Algren karena gerakannya yang terlampau cepat membuatnya begitu mudah menghindari semua serangan sang lawan. Algren menahan tangan sang lawan yang hendak menebaskan pedang ke kepalanya dengan menggunakan kedua tangan. Lawannya terlihat begitu berambisi ingin memotongnya menjadi dua bagian. Algren mendengus karena bisa dia lihat aura kebencian yang terpancar dari tubuh lawannya tersebut. “Kau tidak mendengar ucapan Tuan Crowley tadi? Dia melarang kita menggunakan senjata dalam pertarungan ini.” Pria itu mendecih, sengaja meludah yang tepat mengenai wajah Algren. “Omong kosong. Aku tidak akan membiarkan diriku kalah oleh rakyat rendahan sepertimu.” Rupanya pria itu tak main-main karena dengan mengerahkan seluruh tenaga yang dia punya, dia menekan pedang semakin mendekati kepala Algren. Algren tahu orang yang sedang marah kekuatannya akan bertambah berkali lipat, jika posisinya tetap seperti ini maka dia akan berakhir dengan benar-benar terbelah menjadi dua bagian. Algren pun memanfaatkan salah satu kakinya dan menendang alat vital yang menggantung di antara kedua paha lawannya, seketika membuat tenaga sang lawan melemah, Algren memanfaatkan itu untuk menendang d'ada sang lawan dengan kedua kakinya setelah dia melompat cukup tinggi dengan memanfaatkan lutut pria itu. Pria bertubuh besar itu pun terjengkang ke belakang, kini berbaring terlentang dengan napas yang terengah-engah. Sebelum pria itu kembali bangkit berdiri, Algren bergegas merebut pedang yang sempat terlepas dari tangannya dan kini berdiri tepat di samping sang lawan seraya mengarahkan ujung pedang tepat ke lehernya. Pria itu terlihat panik bukan main karena berpikir Algren akan menusukkan pedang itu. “Seorang r'akyat j'elata bukan berarti tidak memiliki kemampuan apa pun. Jika kau memang tidak memiliki kemampuan untuk mengalahkanku maka akui saja. Daripada kau melakukan tindakan curang seperti tadi. Kau hanya mempermalukan dirimu sendiri. Percayalah malu karena kalah jauh lebih terhormat dibandingkan malu karena ketahuan melakukan kecurangan,” ucap Algren seraya menyeringai karena dia tahu persis kata-katanya berhasil memukul telak sang lawan sampai tak bisa berkutik karena kehabisan kata-kata. “Tuan Crowley, pertarungan ini sudah selesai, bukan?” tanya Algren, memastikan. Begitu mendapat anggukan dari Crowley, Algren melangkah pergi dari tengah arena karena merasa urusannya sudah selesai. Dia mengembalikan pedang itu ke tempatnya semula dan berjalan menuju tribun penonton dengan kedua tangan yang disembunyikan di dalam saku celana. Pria itu tersenyum angkuh karena puas berhasil membuat semua penonton berdecak kagum melihat kemampuan bela dirinya yang luar biasa. *** Kini Algren mengetahui alasan Drew terlihat berbeda hari ini dan selalu gelisah semenjak memasuki ruangan yang menjadi arena untuk menguji kemampuan bela diri para siswa RKA. Drew memang berbakat dalam segala hal. Pria itu cerdas sehingga selalu mendapatkan nilai sempurna dalam ujian lain. Namun, rupanya tidak dengan kemampuan bela diri. Di tengah arena ketika pria itu sedang bertarung dengan lawannya, terlihat jelas Drew kewalahan. Dia selalu gagal melayangkan serangan dan berakhir justru dirinya yang terkena serangan lawan. Tak ada perlawanan berarti yang bisa dilakukan Drew karena gerakan pria itu begitu kaku dan lambat, membuatnya selalu terkena serangan lawan sehingga beberapa luka didapatkannya karena pertarungan itu. Hanya dalam waktu tujuh menit, Drew dinyatakan kalah oleh Crowley, pria itu tak berdaya karena tumbang dengan luka yang cukup serius. Dia bahkan harus dibawa dengan tandu meningalkan arena pertarungan. Algren khawatir bukan main dengan kondisi Drew, karena merasa dia sudah dinyatakan lulus ujian, dia pun bergegas meninggalkan ruangan tersebut. Tujuannya tentu saja dia ingin melihat kondisi Drew yang sudah dia perkirakan akan dibawa ke ruang medis. Benar saja dugaannya karena begitu tiba di ruang medis, dia menemukan Drew sedang berbaring dalam posisi menyamping, membelakangi pintu sehingga dia tidak menyadari kedatangan Algren. Kecanggungan melanda, Algren tiba-tiba bingung harus melakukan apa karena itu dia hanya menarik kursi, meletakannya di dekat ranjang yang ditiduri Drew dan mendudukan diri di sana tanpa sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya. Menelisik kondisi Drew sekarang, dia memperkirakan pria itu tidak sedang tidur. Algren tak berani mengusik karena dalam kondisi seperti ini dia tahu Drew membutuhkan waktu untuk menyendiri. “Kenapa kau datang  ke sini?” Algren yang sedang menunduk itu pun seketika mendongak, begitu telinganya mendengar suara Drew yang mengalun dan terdengar sedikit serak. “Aku khawatir padamu.” “Apa aku terlihat semenyedihkan itu? Sampai kau meninggalkan ruangan hanya karena mengkhawatirkanku?” “Aku rasa wajar jika aku mengkhawatirkan temanku. Jika kita bertukar posisi, aku yakin kau pun akan memilih meninggalkan ruangan itu dan datang ke sini. Seperti yang kau lakukan waktu itu, menungguku di depan kamar mandi saat aku membersihkan diri karena diguyur air liur Eldron, kau masih mengingatnya, kan?” Algren berharap mengenang kejadian memalukan itu akan sedikit menghibur Drew, nyatanya tidak karena pria itu tak merespons apa pun. Tetap dalam posisi yang sama yaitu tidur menyamping, membelakangi Algren. “Semua orang pasti memiliki kekurangan, Drew. Tidak mungkin ada orang yang sempurna. Seperti aku contohnya. Aku tidak bisa membaca, menulis dan tidak mengetahui apa pun tentang ilmu pengetahuan. Berbeda denganmu yang begitu cerdas karena itu selalu mendapatkan nilai tertinggi dan paling sempurna di kelas. Jadi jangan bersedih hanya karena kau gagal dalam ujian ini.” Algren bermaksud menghibur, sungguh niatnya baik. Tapi rupanya respons Drew tak seperti yang dia harapkan karena pria itu tiba-tiba berbalik badan dan melayangkan tatapan begitu tajam. “Jangan bicara seolah kau tahu semua hal tentangku. Kau dan aku berbeda!” bentak Drew, terlihat murka. “Jangan samakan aku dengan r'akyat j'elata sepertimu. Aku ini keturunan Evander. Kau tahu apa artinya itu? Aku ini pewaris darah raja, aku harus selalu tampil sempurna dalam segala hal tapi baru saja aku mempermalukan nama keluargaku. Mau ditaruh di mana wajahku ini?!” Algren menangkap kedua mata Drew berkaca-kaca, dia menyadari tak seharusnya berkata seperti tadi karena seperti yang dikatakan Drew, sudah jelas kondisi mereka berbeda. “Aku ini berbeda denganmu yang hidup tanpa beban. Sejak awal kau tidak memiliki target apa pun, selain menerima takdir sebagai petani seperti orang tuamu. Tapi siapa sangka kau begitu beruntung sehingga terpilih menjadi penunggang Wyvern. Apalagi Eldron yang memilihmu. Kau sangat berutung, Algren.” Algren mengernyitkan dahi karena dia menangkap ada sorot mata yang sama seperti yang dilayangkan Lucian padanya. Sorot mata iri yang kini terpancar di kedua mata Drew. “Sedangkan aku, sejak kecil aku sudah tertekan. Karena aku harus menjaga nama baik keluarga. Aku harus menjadi ksatria penunggang Wyvern. Bahkan seharusnya aku yang terpilih menjadi penunggang Eldron.” Drew terkekeh, dia mengusap wajahnya kasar dengan tangannya sendiri karena air mata kini sudah bercucuran membasahi wajahnya. “Tapi kenyataannya bukan aku yang dia pilih. Melainkan kau.” “Aku juga berpikir ini kesalahan. Seharusnya Eldron memilih penunggang sepertiku, bukan orang sepertiku. Sudah kuduga Eldron itu memang aneh.” Drew mendengus, “Tadinya aku juga sempat berpikir begitu. Dia memilihmu itu sebuah kesalahan. Tapi setelah aku melihat kemampuanmu tadi, sekarang aku mengerti kenapa dia memilihmu. Yang Eldorn butuhkan itu bukan penunggang yang cerdas, melainkan penunggang yang kuat. Dan kau sangat kuat, Algren. Kau memang layak menjadi penunggangnya.” Algren meringis, merasa bersalah. “Jangan berkata begitu. Tetap saja bagiku, seharusnya dia memilihmu, bukan aku.” Drew menggelengkan kepala, “Tidak. Sebenarnya sejak bertemu denganmu, aku tahu kau ini pasti istimewa. Aku sudah merelakan takdirku yang memang tidak dipilih oleh Eldron. Aku juga sudah menerima Aegon.” “Aegon?” “Nama Wyvern-ku.” Algren ber-oh panjang, walau dia sudah menduganya tapi dia berpura-pura tak paham, berharap tindakannya ini akan membuat Drew terhibur, nyatanya tidak. Raut kesedihan dan kecewa masih terpancar jelas di wajah Drew. “Saat aku mengatakan nyaman berteman denganmu, aku serius. Aku sudah merelakanmu memang layak menjadi penunggang Eldron. Tapi masalahnya sekarang aku sudah mencoreng nama baik keluargaku. Aku ini sangat payah dalam hal bela diri padahal aku sudah sering berlatih.” “Itu artinya latihanmu kurang,” sahut Algren. “Aku ingin bertanya, sejak kapan kau mulai berlatih bela diri?” Drew tertegun seolah dia sedang mengingat-ingat kapan tepatnya dia mulai belajar bela diri. “Saat aku berusia 17 tahun. Karena sebelumnya aku lebih sering diajarkan hal yang lain. Seperti belajar ilmu pengetahuan.” Algren menggelengkan kepala, “Pantas saja kau masih lemah. Sebenarnya kemampuan bela dirimu sudah lumayan, terbukti dari kau yang mampu membaca gerakan lawanmu karena itu kau selalu berusaha menghindar. Penyebab yang membuatmu mengalami kekalahan tadi hanya ada dua,” katanya seraya mengangkat kedua jari membentuk angka dua. “Memang apa penyebabnya?” tanya Drew, penasaran. “Pertama, gerakan tubuhmu masih kaku dan lambat. Jadi kau hanya perlu berlatih lagi untuk memperkuat kondisi fisikmu dan mempercepat gerakanmu. Kau pikir berapa lama aku membutuhkan waktu sampai bisa sekuat ini?” “Berapa lama?” Drew kembali bertanya. “Sepuluh tahun lebih. Aku belajar bela diri sejak masih anak-anak. Karena itu aku mengatakan latihanmu kurang, Drew.” Drew menundukkan kepala, mungkin menyadari ucapan Algren tepat adanya. “Lalu apa alasan yang kedua?” Dia teringat Algren belum menjelaskan alasan kedua dirinya bisa kalah dalam pertarungan tadi. “Kedua, karena kebetulan saja lawanmu memiliki kemampuan bela diri yang bagus. Kau tidak beruntung karena mendapatkan lawan yang kuat tadi.” Drew yang sejak tadi berwajah masam, kini mulai bisa mengulas senyum. “Tapi kurasa lawanmu dalam masalah sekarang.” Kening Drew mengernyit bingung, “Dalam masalah kenapa?” “Karena dia sudah melukai bangsawan kasta satu sepertimu. Sepertinya dia harus siap-siap merasakan kepalanya menggelinding dari leher.” Drew tertawa, “Jangan bercanda. Tadi itu kita sedang melakukan duel sebagai bentuk ujian. Jadi meski dia melukaiku, tidak termasuk pelanggaran.” “Drew, bagaimana jika kita membuat kesepakatan?” kata Algren, tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. “Kesepakatan? Apa maksudnya?” Melihat Algren menyeringai, Drew tahu pria itu sedang merencanakan sesuatu. “Karena kau ini sangat pandai terutama dalam hal ilmu pengetahuan, sedangkan aku bodoh dalam hal itu. Jadi mulai sekarang ajari aku cara membaca dan menulis ya? Sebaliknya, aku akan mengajarimu bela diri dan cara bertarung dengan senjata. Aku akan menurunkan semua ilmu bela diriku padamu. Kau pasti akan menjadi sangat kuat nanti. Bagaimana? Kau setuju?” Algren mengulurkan tangan kanan, menunggu Drew memberikan jawaban. Beberapa detik lamanya Drew terdiam, mungkin sedang menimbang-nimbang jawaban yang harus dia ambil. Algren menanti jawaban Drew dengan sabar. Ketika akhirnya Drew membalas uluran tangannya, Algren seketika menyeringai. Kesepakatan telah mereka buat. “Aku setuju. Tolong jadikan aku sekuat dirimu.” “Kau juga, aku meminta tolong jadikan aku sepandai dirimu.” Mereka berdua saling berpandangan, sebelum suara tawa mengalun dari mulut sepasang sahabat itu. Ya, semoga saja semua akan berjalan sesuai rencana dan harapan mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD