TUJUH

611 Words
"Pap? Are you okay?" Dzaki tersenyum tipis  mendengar perkataan putra keduanya itu "Baik" Musa menggelengkan kepala pelan, dari pintu tempatnya berdiri Musa berjalan mendekati sang Papah yang tengah duduk di kursi teras rumah dinas hijau ini "Papah bohong yah?" Musa duduk di samping Dzaki Dzaki tersenyum, lalu merangkul bahu putra keduanya itu "Papah gak nyangka aja dapat tugas di jakarta lagi" Musa menyeritkan dahi, bingung dengan perkataan sang Papah "Maksud nya Pah?" Dzaki menarik nafasnya dalam, lalu tersenyum "Di asrama ini banyak kenangannya Bang" "Pah jangan setengah setengah dong, Abang penasaran tauu" keki Musa Dzaki terkekeh. Anak anaknya memang memiliki sifat manja Dzaki tersenyum "Asrama ini tepat Papah sama Mamah memulai hidup baru Bang, tempat dimana Papah belum se sukses ini. Daaan" ucapan Dzaki terhenti "Dan apa Pah?" Tanya Musa Air mata Dzaki turun, membuat Musa kaget bukan main "Eh? Papah? Abang salah ngomong?" Cemas Musa Dzaki menyeka air mata di pipinya "Papah selalu nangis kalo inget hal itu Bang" "Hal apaan Pah?" Dzaki tersenyum "Abang tau, kenapa Papah lebih manjain Kakak dari pada Abang? Abang tau, kenapa Papah khawatir banget sama Kakak dari pada Abang?" Musa menggeleng, menandakan ia tidak tahu "Karena pas Kakak lahir ke dunia, Papah gak ada di sisi Mamah Bang, Papah gak bisa menggendong Kakak saat bayi, Papah gak bisa menemani Mamah saat anak pertama lahir. Dan Papah selalu di selimuti rasa bersalah akan hal itu" Mata Musa berkaca kaca, ia tidak tahu bahwa nasib sang Kakak saat  lahir ke dunia tidak seberuntung ia. "Dan Abang harus tahu, Kakak pernah nangis pas Papah gendong coba" kekeh Dzaki di sela sela ceritanya "Kakak kamu gak kenal Papah coba pas Papah pulang tugas dari Papua, dan Papah baru berhasil dua hari kemudian" Musa terkekeh, Musa tidak menyangka bahwa Kakak manjanya itu pernah menolak gendongan sang Papah. Padahal sekarang, sampai usianya menginjak 17 tahun pun kalau bisa Kakak manjanya itu selalu ingin di gendong sang Papah. "Uca gak boleh iri sama Kakak yak" "PAPAH JANGAN IKUTAN MANGGIL UCA KAYA SI KAKAK DEH" kesal Musa Dzaki terkekeh, ah anak bujangnya ini ☆☆☆ "UCAAAA SISIR BIRU GU----" "Berisik" "UCAAAAA" "Gak usah manggil gue Uca!" Zasya menekuk mulutnya. Dasar adik kurang garem! Bisa bisa nya di saat Zasya berteriak menanyakan sisir birunya malah di jejelin sisir ke mulutnya. Syakila menggeleng pelan "Abang ih gak boleh gitu, jahat sama Kakak ih" Musa tersenyum lebar "Abis Kakak berisik sih Mam" "Aya juga" sambung Syakila "Ko Kakak?" "Jangan teriak teriak ah, Oppa kamu ada mah di sumpel tuh mulut make cabe" Zasya menekuk mulutnya, kenapa sih Raden-Kakek Zasya- harus galak kaya gitu. Wajar kan jadinya kalo Zasya lebih sayang dengan Ami-Nenek Zasya- ketimbang Raden "Oppa di udara ini Mam, gak akan tahu" Syakila kembali menggelengkan kepala pelan "Udah ayok sarapan, Papah udah berangkat tadi lari jam setengah enam. Aya mau di anter caraka Papah atau bawa motor?" Eh? Mamahnya tidak salah bicarakan? "Apa mam? Bawa motor?" Tanya Zasya antusias Syakila mengangguk "Iya Kak, pilih mana?" Zasya tersenyum "Woyah jelas naik motor dong Mam" Zasya tersenyum senang, kapan lagi dia dibolehkan membawa motor sendiri coba. ☆☆☆ "EH AYAA LO KOK BAWA MOTOR" Zasya memutar bola matanya, lalu menyimpan Helm merah maroon kesukaannya di jok motor "Pagi pagi udah berisik aja lo" Sina tersenyum lebar "Ya dooong" Zasya mendelik tajam "Ada apa gerangan nih? Kok lo seneng ke bangetan?" Sina tersipu malu "Ihhh Aya" Sina menundukan pandangannya, menyembunyikan wajah. Zasya tertawa tiba tiba membuat Sina menaikan pandangannya, lalu bergedig ngeri "Lo kenapa Ya?" "Pasti lo udah chat sama Om Haris kan?" Tebak Zasya Sina kembali tersipu malu "Ihh Ayaa" "WOI SINA PACARAN SAMA OM OM TENTARA WOI" teriak Zasya "DASAR SAUS TOMAT AYAAAAAAAAAAA"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD