Hampir Ketahuan

1664 Words
"Mommy! Mommy! cepat ke sini, di sini ada Aunty Nia!" panggil anak itu dengan posisi masih berpaling muka dari Shania. Karena tidak ingin bertemu dengan seseorang yang dipanggil, Shania diam-diam pergi untuk bersembunyi tanpa diketahui oleh anak kecil itu. Seorang yang dipanggil pun segera datang, menghampiri anak kecil itu. "Adel! Kenapa sayang?" tanya perempuan dewasa itu yang diketahui adalah ibu dari anak kecil bernama Adel. "Di sini ada Aunty Nia—kok hilang?" Adel yang adalah keponakan Shania terlihat kebingungan karena Shania sudah tidak berada di tempat. "Siapa? Shania maksud kamu?" Tanyanya, memastikan dan dibalas anggukan aktif oleh anaknya. Perempuan yang bernama Vanya itu sontak memantau sekitaran mereka, memastikan kebenaran yang dikatakan anaknya itu. "Gak ada kok, mungkin kamu salah mengenali orang. Lagian, buat apa Aunty kamu itu ada di sini," katanya seakan tidak percaya dengan omongan anaknya. "Ihhh ... Mommy, Adel gak mungkin salah lihat. Itu beneran Aunty Nia," ucapnya sedikit kesal karena ibunya sendiri tidak percaya dengannya. Namun, Vanya tidak membalas perkataan anaknya itu, melainkan menarik pelan tangan Adel untuk dibawanya pergi dari sana. "Sudah, mending kamu masuk ke kelas sekarang. Bel masuk sebentar lagi bunyi," katanya yang masih diiringi dengan menarik tangan Adel. Adel, anak itu tampak sedikit memberontak perintah ibunya. Dia masih ingin mencari keberadaan Shania. "Mommy, Adel kepingin ketemu Aunty Nia," ucapnya, tapi sayang ia sama sekali tidak bisa terlepas dari genggaman ibunya itu. Setelah keduanya benar-benar menghilang dari sana, Shania yang bersembunyi di balik tembok akhirnya bisa bernapas dengan lega. Kejadian tadi membuatnya sedikit tegang. Untung hanya Adel yang melihat keberadaannya, kalau sampai orang itu adalah Vanya, Shania yakin akhir dari ceritanya pasti akan sangat tidak mengenakkan. Shania sungguhan lupa kalau keponakannya itu juga bersekolah di sini, padahal ia dulu pernah mengantar anak itu ke sekolah. Belajar dari pengalamannya hari ini, Shania akan berusaha lebih berhati-hati lagi jika bertemu dengan seorang yang mengenal dan dikenalnya. ***** Demi kelangsungan hidupnya selama kabur dari rumah, Shania berusaha semaksimal mungkin agar menjadi sesuatu yang terbaik untuk dirinya sendiri. Meskipun sebenarnya Shania sangat ingin memeluk Adel saat bertemu di koridor sekolah tadi kemudian bermain dan memanjakan anak itu seperti yang sering ia lakukan sebelum-sebelumnya, tapi tetap saja Shania harus bisa menahan diri dari semua itu, bertujuan agar tidak menyebabkan dirinya sampai kembali ke rumah dan menjalani perjodohan. Cukup sekali saja ia bertemu dengan seseorang yang mengenalnya, Shania tidak ingin kejadian itu terulang kembali. Selama menunggu kelas anak majikannya berakhir, Shania sudah mempersiapkan dirinya dengan menyamar. Penyamaran yang digunakan oleh Shania tidak terlalu mainstream, hanya mengenakan kacamata hitam, masker mulut serta sebuah cardigan semampai untuk menutupi lekuk tubuhnya saja. Shania merasa beruntung karena secara kebetulan ia membawa tas selempangnya yang berisi bahan-bahan untuknya menyamar. Shania yakin, setelah ini pasti tidak akan ada lagi seseorang pun yang dapat mengenali dirinya. Mata Shania menyipit, ketika menangkap sosok Andi yang berlari menghampirinya. Kelas anak itu sepertinya sudah berakhir, dan sudah diperbolehkan untuk pulang. Shania menyunggingkan senyum dan melambaikan tangannya menyambut kedatangan Andi. Namun, senyum itu mendadak tergantikan dengan raut wajah yang kebingungan dan lambaian itu tidak lagi dilakukan Shania dikarenakan telinganya mendengar panggilan yang Andi gunakan padanya. "Mama!" seru Andi bersemangat sambil berlari ke arah Shania, tangannya terlentang lebar seperti hendak memeluk gadis itu. Namun, bukan itu yang terpenting bagi Shania. Shania hanya bingung kenapa anak itu memanggilnya dengan sebutan 'Mama'? Setelah berada sangat dekat dengan Shania, anak itu tidak lagi berlari, ia mendadak menghentikan langkahnya. Dia terdiam mematung, menatap Shania dengan wajah sendu. Sepertinya anak itu sudah menyadari kesalahannya. Shania tidak tahu apa yang tengah terjadi dan ia ingin mengetahuinya. Mungkinkah karena penyamarannya ini sangat mirip dengan ibunya sampai-sampai anak itu mengira kalau Shania beneran adalah sosok yang telah melahirkannya? Shania kemudian berinisiatif untuk mendekati Andi yang masih terdiam di tempat dan kelihatan seperti hendak ingin menangis. Setelah melepaskan kacamata dan masker yang dikenakannya, Shania lalu berkata, "Hei, Andi—Ahh ... Maksudnya Tuan Muda," ucap Shania sembari berjongkok untuk menyamaratakan tingginya dengan anak itu. "Kamu kenapa? Apakah ada yang salah?" Lanjutnya, bertanya. Andi menggeleng, wajah yang ingin menangis tadi segera ia hilangkan. Kedua tangan mungilnya menyentuh pipi Shania, kemudian memeluk leher Shania begitu eratnya. Shania tentu terkejut atas apa yang anak itu lakukan padanya. Shania dapat merasakan tubuh Andi yang bergetar. Namun, meskipun begitu Shania tetap membalas pelukan Andi. Ia juga memberikan usapan lembut di belakang punggung anak itu. ***** Shania menunggu waktu yang tepat untuk bertanya kepada Andi mengenai kejadian beberapa saat lalu, dan Shania rasa sekarang ini adalah waktu yang tepat. Di mana, ia dan anak itu tengah duduk di salah satu bangku kafe sembari menikmati mangkuk es krim masing-masing. Shania memang sengaja mengajak Andi ke situ karena ingin membuat anak itu kembali ceria lagi. Ya, memang benar kalau Andi sedari tadi terlihat murung, tapi ketika Shania mengatakan kata 'es krim" anak itu langsung menarik garis bibirnya ke atas. "Tuan Muda, apa kakak boleh tahu kenapa Tuan Muda bisa manggil kakak seperti itu tadi?" tanya Shania dengan nada lembut. Shania tahu kalau pertanyaan ini pasti akan sensitif untuk Andi, tapi tetap saja kebenaran ini harus ia ketahui agar persepsi-persepsi negatif bisa segera musnah dari otaknya. Maklumi saja, Shania itu adalah tipe orang yang tidak bisa mengontrol pikirannya sendiri, ditambah lagi jiwa kepo maksimal yang sudah mendarah daging. Andi menghentikan aktivitas memakan eskrim nya, ia mendongak menatap Shania dengan lamat-lamat. "Mama. Sekilas Kakak tadi mirip banget sama Mama ...." kata anak itu sembari tersenyum simpul. Alis Shania terangkat satu, ternyata memang benar dugaannya. Tapi, lanjutan kalimat Andi malah membuat hati Shania terasa tertusuk duri yang tidak terlihat. "... Yang udah meninggal satu tahun lalu," Setelah mengatakan itu, Andi kemudian menunduk dalam. Seketika suasana di sana berubah menjadi dingin lagi, Andi yang terdiam menunduk serta Shania yang terdiam karena otaknya sedang berkerja keras untuk berpikir. Shania sungguhan tidak pernah menduga kalau nasib malangnya juga terjadi pada Andi. Kini gadis itu sudah mendapatkan jawaban atas kebingungannya akan di mana keberadaan ibu dari anak yang duduk di hadapannya ini. Tidak pernah Shania sangka sebelumnya kalau ternyata ibu anak itu ternyata sudah meninggal. "Tuan Muda pasti sedih ya. Maaf, karena gak tahu sebelumnya dan malah mengungkit luka lama untuk Tuan Muda," ucap Shania penuh sesal. Shania sangat tahu bagaimana perasaan Andi sekarang karena ia sendiri juga sudah pengalaman dalam hal itu. Mengingat orang yang kita sayangi ternyata telah pergi selamanya tidak lah mudah, kita harus bisa menghadapinya dengan sikap dewasa walaupun rasanya sakit. Berbeda dengannya, ibu Andi pergi pada saat anak itu sudah mengerti dan memahami akan pentingnya arti sebuah hubungan. Shania yakin kenangan Andi akan ibunya itu pasti sangatlah banyak dan tentunya akan sulit untuk terlepas dari kenangan-kenangan itu. Shania tidak bisa membayangkan bagaimana Andi bisa menghadapi situasi yang sesulit itu. Anak itu dipaksa dewasa oleh keadaan. Kini Shania mengerti mengapa saat pertama kali dirinya bertemu dengan anak itu ada aura dingin yang ia tangkap, rupanya anak itu mempunyai masa lalu yang kelam. Sebagian besar kebingungan Shania sudah tertuntaskan hanya dengan satu jawaban dari Andi, pantas saja kemarin pak Orman membalas pertanyaan dengan nada yang menurutnya sedikit kasar. Ternyata ada kisah pahit yang memang tidak seharusnya di ketahui oleh dirinya yang adalah orang asing. Andi menggenggam tangan Shania yang bersandar di dataran meja. "Gak papa, Kak. Andi sama sekali gak sedih kok," ucap anak itu. Mengusahakan agar bisa menampakkan sebuah senyuman pada Shania, bertujuan agar Shania percaya dengan omongannya. Hati Shania terhenyak, bagaimana anak sekecil itu ahli dalam menutupi lukanya dan malah bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Padahal Shania sangat yakin kalau Andi pasti masih berusaha untuk keluar dari keterpurukan itu. Shania juga memikirkan tentang Jean. Laki-laki sebaik itu juga ternyata harus memperoleh nasib yang naas. Ditinggal mati oleh pasangan hidup? Ayolah! siapapun Shania yakin tidak ada yang menginginkan nasib malang itu. Sekalipun dalam hubungan tidak ada rasa saling mencintai. "Tuan Muda. Gak baik bagi kita untuk tidak jujur dengan perasaan kita sendiri. Ada kalanya kita harus membagi sesuatu yang kita rasa sulit itu kepada orang terdekat kita, agar kita tahu bahwa kita tidak sendirian," ucap Shania. "Percuma, Kak. Pasti gak akan ada yang bisa ngertiin Andi, sekalipun orang itu Papa," jawab Andi, dengan nada acuh tak acuh. Shania sedikit terkejut dengan respons Andi yang seperti itu, tapi gadis itu kembali memberikan senyuman lembut. "Siapa bilang gak ada, ada Kakak di sini, di depan kamu. Kakak sangat tahu apa yang kamu rasain, karena Kakak sendiri juga pernah kehilangan sosok seorang yang disebut Mama." Bukanya Shania ingin membandingkan penderitaannya dengan penderitaan Andi. Shania menceritakan nasibnya itu hanya ingin membuat Andi tidak merasa sendirian dan agar anak laki-laki itu lebih bisa mengekspresikan dirinya sendiri, tanpa harus berpura-pura terlihat baik-baik saja di hadapan orang lain. Karena percayalah, seseorang akan lupa pada jati dirinya sendiri jika ia terus melakukan apa yang Andi lakukan. "Jadi, Kakak juga gak punya Mama lagi? Sama kayak Andi?" Anak itu dengan polosnya bertanya. Shania menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk perlahan. "Iya. Mama Kakak meninggal pada saat melahirkan Kakak dulu. Kakak pengen banget ngeliat wajahnya secara langsung yang kata Papa sangat mirip dengan wajahnya Kakak. Kakak aja kadang iri dengan orang lain yang masih punya orang tua lengkap, tapi sering gak bisa bersyukur. Andaikan kalau beliau masih hidup, mungkin Kakak gak akan ada di sini jadi pengasuh kamu," ucap Shania, matanya menerawang jauh. "Kakak ...." Shania menarik garis bibirnya ke atas."Yahh ... Jadi kebablasan ya curhatnya, tapi gak papa deh. Karena lega rasanya bisa cerita ini ke kamu." "Kak Laras." Anak itu bangkit dari kursinya, menghampiri dan langsung memeluk erat tubuh Shania. "Aku kangen banget sama Mama, aku pengen ketemu sama Mama. Kenapa Mama ninggalin Andi, Kak?" kata anak itu yang akhirnya bisa jujur pada Shania. Andi menangis dipelukan gadis itu. "Kakak emang gak tahu harus jawab apa atas pertanyaan kamu itu, tapi kalau kamu mau Kakak bisa buat selalu jadi sandaran kamu kalau kamu ingin nangis ataupun ingin ceritain tentang keluh-kesah kamu." Hari ini untuk pertama kalinya bagi Andi menceritakan apa yang ia rasa berat kepada orang yang bukan ayahnya sendiru. Hari ini juga, perasaan nyaman berada di sisi Shania mulai tumbuh di hati Andi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD