Pagi-pagi sekali Shania sudah bangun dari tidurnya. Gadis itu harus mempersiapkan Andi yang akan berangkat ke sekolah dan juga harus menemani anak itu saat berada di sekolah nantinya. Saat perlengkapan sekolah Andi sudah rampung dipersiapkan, Shania berlanjut membawa anak itu ke meja makan.
Hari ini ada yang lain dari diri Andi. Anak itu tidak serewel seperti kemarin, dan juga mau menuruti apa kata Shania tanpa sekalipun menolak. Shania merasa senang karena ia pun jadi tidak terlalu repot saat mengurusi anak kelas dua SD itu. Mereka berdua berinteraksi dengan akrab. Kadang-kadang Shania yang melempar candaan, kadang juga Andi. Mereka tertawa bersama.
Ternyata di balik kejadian di meja makan semalam banyak hikmahnya juga, tak hanya berhasil membuat Andi menghabiskan makanannya, anak itu juga jadi menyukai Shania. Malahan saat hendak tidur malam, Andi meminta Shania supaya membacakannya sebuah dongeng untuk mengantarkannya ke bunga tidur. Shania banyak-banyak bersyukur, dengan begini ia pasti akan betah bekerja di rumah Jean.
Turun dari lantai atas menuju meja makan, anak itu berlarian dengan lincah. Menarik-narik tangan Shania, agar gadis penyandang status pengasuh itu mau mengejarnya.
Saat sudah sampai. "Kakak gak ikut makan?" Tanya Andi, menoleh pada Shania yang ternyata tidak ikutan duduk bergabung dengannya di meja makan.
Shania menggeleng, "enggak," katanya sembari menyunggingkan sebuah senyuman.
"Kenapa? Kakak udah makan?" Alis tebal anak itu terangkat.
Shania menggeleng lagi. "Belum sih. Mungkin nanti," katanya. Memang benar adanya kalau Shania sama sekali belum mencicipi makanan apapun sedari awal ia bangun dari tidur. Ia berencana akan sarapan di kantin sekolah Andi saja karena dengan begitu pasti tidak akan keburu. Meskipun begitu, sebenarnya Shania merasa sedikit lapar karena semalam ia tidak menghabiskan makanannya lantara tidak terlalu berselera, mungkin hal itu karena menu makanan yang diberikan untuk seorang pelayan sepertinya bisa dikatakan terlalu sederhana. Padahal Shania tidak terbiasa memakan makanan seperti itu.
"Nantinya kapan?" Tanya Andi lagi, karena sangat ingin tahu. Sifat anak-anak memang selalu begitu, akan selalu bertanya sampai dirinya merasa puas dengan jawaban yang diberikan.
Shania terdiam sejenak, mencari kalimat yang tepat dan tentunya tidak akan membuat Andi mengajukan pertanyaan lagi. Karena Shania pikir, Andi pasti sedang ingin mengajaknya untuk makan bersama, mengingat posisinya sekarang ini membuat Shania tidak berniat untuk membuat apa yang diinginkan oleh Andi sampai terjadi.
Belum juga gadis itu selesai berpikir, pak Orman terlebih dahulu mendahului dirinya.
"Tuan muda, sebaiknya tuan segeralah makan. Karena jika terus diulur seperti ini bisa berisiko Tuan Muda akan terlambat untuk ke sekolah," kata orang tua itu, memberi saran yang seratus persen tanpa celah.
Mengabaikan kepala pelayan, Andi meminta Shania untuk makan bersamanya. "Ayo, Kak. Kita makan bareng," kata anak itu sembari menepuk kursi di sampingnya, bermaksud menyuruh Shania menempati kursi tersebut.
Shania menggeleng, "Gak us—" sayangannya, lagi-lagi Pak Orman menginterupsi Shania.
"Tuan Muda, tempat makan antara seorang pelayan dengan majikan itu berbeda. Dia gak bisa makan bersama Tuan Muda di tempat yang sama," kata pak Orman, menjelaskan.
"Tapi 'kan—" Belum juga Andi selesai berkata, Shania langsung menghentikan anak itu dengan cara menduduki kursi yang ditunjukkan untuknya tadi.
"Gimana kalau Saya yang suapin aja, ya," tawar Shania karena merasa kalau ia tidak mengambil tindakan, Andi pasti akan terus-menerus seperti ini. Tangan gadis itu sekarang sudah terulur dan hampir berhasil meraih piring makanan Andi. Namun, anak itu malah menahan pergerakan tangan Shania.
Anak itu lalu memandangi Pak Orman, dengan masih menahan tangan Shania ia pun berkata, "Kak Laras itu babysitter nya Andi, jadi terserah Andi dong. Kalau tetap gak mau ngijinin, Andi bakalan gak makan ke sekolah," ucapnya, mengancam pria tua itu.
Mendengar ancaman Andi, pak Orman tidak bisa mengeluarkan kata-kata lagi. Sebaliknya ia menghela nafas, kemudian perlahan mengangguk seolah tidak lagi ingin melarang pinta anak majikannya dan hal itu spontan membuat Andi jadi bersorak kesenangan.
"Gak perlu begitu, Tuan Muda." Meskipun sudah mendapatkan izin, tapi tetap saja Shania merasa tidak enak hati.
Sorakan yang semula terdengar, menjadi terhenti karena perkataan yang dilontarkan Shania barusan. Anak itu menatap Shania.
"Ya udah ... Kalau Kakak gak mau ikut makan, mending Andi gak makan juga," katanya yang kali ini melempar ancaman pada Shania. Mendengar itu, Shania jadi tidak bisa melakukan apa-apa selain hanya bisa menerima begitu saja maunya Andi.
******
Setelah mobil yang mengantar mereka berdua sudah sampai di tempat tujuan serta sudah terparkir rapi di tempat parkiran yang disediakan oleh sekolah, Shania bergegas turun bersama Andi.
Tidak dulu melangkah, Shania memantau gedung bertingkat yang menjadi tempat Andi menimba ilmu. Lumayan besar dan mewah sehingga pantas untuk disebut sekolah elite yang juga menduduki peringkat teratas dari sekolah-sekolah lainnya. Bagi Shania wajar-wajar saja kalau Andi bersekolah di tempat seperti ini secarakan anak itu adalah seorang penerus dari keluarga kaya. Sama seperti dirinya dan kakaknya dulu.
BDW, Shania bisa tahu segala hal tentang sekolah ini sebenarnya karena ia dan kakaknya dulu adalah alumni di sekolah ini. Shania masih mengingat dengan jelas banyaknya kenangan yang ia buat saat masih bersekolah di tempat ini dulu. Di taman bermain itu, ia bersama dengan sahabat terbaiknya sering bermain seluncuran, ayunan dan lain-lainnya.
Pernah suatu ketika saat ia diganggu oleh kakak kelas mereka yang nakal sehingga menyebabkan Shania dan sahabatnya, Fika sampai menangis sesenggukan. Mengetahui apa yang terjadi pada adik kesayangannya membuat Shekan yang sudah menduduki bangku kelas 6 SD waktu itu menjadi sangat marah. Ia pun membalas perbuatan para anak laki-laki nakal itu dengan cara mengajak mereka berkelahi. Meski dirinya terluka dan harus mendapatkan hukuman dari pihak sekolah termasuk hukuman dari ayahnya, Shekan sama sekali tidak merasa menyesal karena telah melakukan itu. Malahan ia sangat bersyukur bisa menjadi perisai dan tombak bagi Shania, adik kesayangannya.
Ingin rasanya Shania kembali ke masa-masa itu, di mana yang ia lakukan hanyalah bermain, bersenang-senang, dan juga merasakan dengan puas kasih sayang dari kakaknya. Di mana ia tidak perlu repot-repot memikirkan jalan keluar dari suatu masalah yang diciptakan oleh dirinya yang sudah dewasa, dan di mana ia juga tidak perlu menghadapi perjodohan yang ayahnya rencanakan.
"Ayo, Kak." Andi menarik tangan Shania, membuat gadis itu tersadar dari lamunannya.
"Ahh ... Iya," kata Shania.
Mereka berdua kemudian berjalan beriringan masuk ke dalam gedung sekolah itu. Setelah selesai mengantar Andi ke kelasnya sendiri, Shania kemudian beranjak pergi dari sana hendak menuju kantin sekolah. Di sana, ia berencana akan menunggu sampai kelas pelajaran Andi berakhir, sekalian juga ingin bernostalgia dengan jajanan kantin di sekolah Garuda ini, apakah masih sama seperti yang dulu atau sudah tidak lagi.
"Lohh ... aunty?"
Langkah Shania langsung tercekat ketika seorang gadis kecil berdiri di hadapannya sambil menatap Shania keheranan. Raut di wajah Shania berubah, bibirnya bergetar serta degup jantungnya berdetak tidak sesuai irama karena saking terkejutnya tadi. Tidak berselang lama, anak kecil berkepang dua itu berpaling muka ke arah belakangnya seperti akan memanggil seseorang.