Jean kemudian terlihat berjalan menghampiri Andi dan Shania. Karena takut kalau Andi akan dimarahi, Shania segera berpindah posisi dengan menyembunyikan Andi di belakangnya.
"Andi, kenapa main hujan?" tanyanya lagi ketika sudah berada tidak jauh dari mereka berdua. Laki-laki itu tampak masih mengenakan pakaian kantor yang artinya ia baru saja pulang kerja. "Cepat masuk," ucap Jean, menambahkan.
Dengan mengumpulkan semua keberaniannya, Shania pun berkata, "T-tuan, ini bukan salah Tuan Muda. Saya yang ajak dia ke sini, jadi Tuan marah saja pada saya," ucap Shania ingin membela Andi.
Namun, seperti Shania, Andi tampaknya juga tidak mau kalau gadis itu yang disalahkan. "Gak, Pa. Kak Laras sama sekali gak salah, Andi yang maksa dia buat nemenin Andi main hujan," ujar anak itu sembari keluar dari balik punggung Shania. Andi merasa menjadikan orang lain sebagai kambing hitam atas kesalahannya sendiri adalah sikap yang sangat pengecut. Andi tidak bisa mentolerir dirinya sendiri apabila ia melakukan itu.
"Tuan Muda, apa yang—"
"Kakak tenang aja," ucap Andi menyela. Kemudian anak itu kembali menatap ayahnya yang berdiri dengan masih bergeming.
"Hujan itu ada berkah dari Tuhan. Jadi gak ada salahnya 'kan kalau Andi nikmatin berkah itu. Apa Papa lupa, Andi itu anak laki-laki yang sangat kuat, jadi gak mungkinlah Andi sakit hanya karena bermain hujan," ucap Andi dengan membusungkan dadanya, anak itu berusaha meyakinkan Jean agar tidak melarangnya untuk melanjutkan permainan hujan yang belum ia selesaikan bersama dengan Shania plus anak itu juga tidak ingin ayahnya memarahi Shania karena memang gadis itu tidak bersalah.
Jean menarik Andi, menggesernya sedikit ke tepian yang tidak terkena hujan. Kemudian laki-laki itu sedikit menunduk agar bisa berbicara dengan Andi dengan tinggi yang sama rata. "Andi, kamu tahu 'kan kalau Papa itu sangat menyayangi kamu?" tanyanya sembari menangkup kedua bahu Andi, dan anak itu mengangguk.
"Memang gak ada salahnya menikmati berkah Tuhan berupa hujan, tapi yang salah itu cara kamu menikmatinya. Bermain hujan itu salah karena bisa buat kamu jadi jatuh sakit. Papa bersikap tegas ke kamu itu karena tidak ingin kamu jatuh sakit. Ya, Papa tahu kalau kamu anak yang kuat, tapi tetap saja Papa gak mau kamu lakuin sesuatu yang dapat menimbulkan penyakit. Sekecil apapun itu," ujar Jean dengan menatap Andi lamat-lamat.
"Kamu mengerti?" tanyanya lagi yang seketika dibalas anggukan oleh Andi.
Jean tersenyum, merasa bangga karena Andi tidak pernah membantah apa yang ia katakan. Shania yang hanya menjadi saksi bisu atas interaksi yang dilakukan sepasang ayah dan anak itu juga menjadi tersenyum. Ia tersenyum melihat kehangatan di antara hubungan mereka. Di mana kehangatan itu adalah kehangatan yang sering ia rasakan dari ayahnya dulu.
Jean kemudian kembali berdiri. "Karena kamu sudah mengerti, sekarang ayo kita ma—"
Sebelum Jean berhasil merampungkan kalimatnya, Andi dengan segera mendorong ayahnya ke tempat di mana hujan turun dengan masih deras.
Brakkk
Mendadak dunia jadi terasa berhenti kala sepasang bibir dari dua orang individu berbeda gender saling bersentuhan. Dorongan yang Andi berikan tadi malah membuat Jean menimpa tubuh Shania tanpa disengaja. Posisi keduanya sekarang ini adalah tubuh Shania di timpa oleh Jean, beruntung sekali Jean masih bisa refleks menahan kepala Shania sehingga gadis itu jadi aman karena tidak sampai berbenturan.
Akan tetapi bukan hal itu yang menjadi masalah utama di antara keduanya, melainkan sekarang ini bibir mereka saling bersentuhan. Mata Shania membola sempurna, begitu pula Jean. Andi yang adalah pelaku utama yang menyebabkan hal itu terjadi, langsung saja memalingkan mukanya ke arah lain tapi diam-diam ia tengah terkekeh geli karena sempat melihat apa yang tengah terjadi.
Beberapa detik berlalu, mereka berdua masih bergeming lantaran otak mereka masih belum menerima sepenuhnya semua itu. Sampai pada akhirnya, suara yang ditimbulkan oleh Andi berhasil memisahkan keduanya.
"uhuk... uhuk... papa, Kak Laras. Andi masuk duluan ya," ujar anak itu yang diawali dengan batuk yang dibuat-buat.
*****
Kejadian di tengah hujan tadi sore masih terngiang-ngiang di kepala Shania. Hampir berjam-jam lamanya ia belum keluar dari kamar karena terlalu untuk bertemu dengan orang lain. Shania sangat ingin melupakan kejadian itu, tapi nyatanya sulit sekali untuk mewujudkannya. Jika bisa, mungkin saja Shania akan mencuci otaknya agar scene di mana ia berciuman dengan Jean di tengah hujan tadi tidak akan ia ingat lagi.
Meskipun itu adalah ha yang tidak disengajai, tetap saja Shania merasa malu. Kedepannya nanti ia pasti akan merasa sangat canggung ketika berhadapan dengan Jean. Please! Shania bingung, ia tidak biasa menghadapi permasalahan seperti ini dalam hidupnya karena ini adalah hal yang baru bagi Shania. Berciuman? OMG, itu adalah ciuman pertama Shania dan orang yang telah mengambil ciuman itu adalah Jean, bosnya sendiri.
Shania tahu tidak ada seorangpun di antara mereka berdua menginginkan kejadian itu, tetapi Shania juga mengetahui kalau ciuman pertama adalah ciuman yang memiliki kesan dalam dan akan sangat sulit untuk melupakannya. Shania takut, bagaimana kalau ia menjadi stress karena terus-terusan memikirkan ini.
Shania kini terlihat duduk di atas kasurnya, tentu pakaiannya saat bermain hujan tadi sudah ia ganti dengan pakaian tidur. Ia duduk melamun, matanya menatap dinding ruangan tersebut tapi pikirannya menjelajah ke mana-mana, bahkan mungkin sudah sampai ke benua Antartika.
Tangan gadis itu terangkat untuk menyentuh bibir pusatnya karena tidak ia beri polesan make up sedikitpun. "Shania, Lo gak bisa hidup lagi," gumamnya pada dirinya sendiri. Setelahnya ia langsung menghempaskan tubuh ke atas kasur.
*****
Di lain tempat, tapi masih di gedung yang sama. Tampak seorang laki-laki berbadan kekar yang baru saja menyelesaikan ritual mandinya.
Laki-laki yang adalah Jean itu juga telah selesai memasangkan pakaiannya ke badannya. Saat ini ia tengah berdiri di depan cermin yang memanjang secara vertikal.
Pandangannya kini fokus ke salah satu titik di cermin yang memantulkan seluruh tubuhnya. Lebih spesifiknya lagi, Jean tengah memandangi bibirnya.
Ia tersenyum dan tersipu sendiri mengingat kejadian beberapa jam yang lalu yang menimpanya dan pengasuh anaknya. Entah kenapa, perasaan yang dirasakan oleh Jean ini seperti bunga-bunga yang baru saja bermekaran. Harusnya ia juga merasakan apa yang Shania rasakan bukan?
Tidak ingin stuck di situ terus, Jean kemudian berjalan ke luar menuju ruang kerjanya. Saat sudah sampai, laki-laki itu membuka kunci salah satu laci kecil di sana.
Setelahnya, terlihatlah sebuah buku notes yang sedikit usang berada di tumpukan buku-buku lainnya. Jean tersenyum, segeralah ia mengambil buku bersampul biru tua itu. Dalam hati, laki-laki itu berbicara sesuatu yang tidak ingin diketahui oleh orang lain.
"My Angel," gumamnya samar-samar terdengar