Dipecat

1023 Words
Alis Shania terangkat, ia sungguh bingung akan maksud dari ucapan terima kasih yang Jean utarakan padanya. Jean terlihat menghela napasnya, dalam. "Saya sangat senang sekali, karena semenjak kedatangan kamu di sini, Andi jadi lebih sering ceria dan banyak tertawa. Terima kasih karena telah mengurus Andi dengan baik," ucap Jean dari lubuk hati terdalam. "Ehhh ... Tuan, bukankah itu memang sudah menjadi kewajiban saya," balas Shania, merasa kalau tidak seharusnya Jean mengucapkan terima kasih untuknya karena terlepas dari itu semua, dirinya sendiri juga diuntungkan di sini. Jean tersenyum. "Andi itu sebenarnya anaknya pendiam, biasanya sulit bagi dia buat menyukai orang lain terlebih lagi kalau orang itu adalah orang yang baru ia kenali. Jadi, saya biasanya kesulitan buat nyari orang yang tepat dan cocok untuk menjadi pengasuhnya. Tapi, tanpa diduga tidak butuh waktu lama dia sudah akrab sama kamu dan nampaknya dia sangat menyukai kamu," ucap Jean. Tidak aneh bukan kalau sekarang Shania menjadi tersipu mendengar pujian yang ia dengarkan langsung keluar dari mulut Jean. Gadis itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, sembari tersenyum malu-malu. Ia tidak membalas perkataan Jean, akan tetap jujur saja manik mata Jean yang memandangi Shania terlihat hangat. Namun, Shania tidak menyadarinya. "Mie nya udah mateng, Tuan. Ayo kita makan" kata Shania, memberitahu. Gadis itu menepuk tangannya, terlihat bersemangat membuka penutup cup mie miliknya. "Kamu pasti sangat lapar, ya?" ucap Jean, sedikit menggoda. Shania mengangguk cepat kepalanya, ia rasa tidak perlu lagi berbohong. "Makan malam-malam gini, gak takut gemuk?" tanya Jean yang sudah mulai mengaduk-aduk mie miliknya. Shania menggeleng. Sebelum menjawab, ia kunyah terlebih dahulu semua mie yang berada di dalam mulut. "Saya itu sebenarnya sama kayak cewek-cewek lain yang selalu berusaha buat jaga penampilan, tapi kalau udah lapar kayak gini, saya kadang sengaja gak mentingin penampilan saya karena kesehatan saya lebih berharga dibanding penilaian orang lain. Kalau emang bakalan jadi gemuk, simpel aja, jadikan diet solusinya. Tapi, kalau mau diet, tetap harus jadikan kesehatan sebagai prioritas, jangan karena pengen langsung dapet hasil jadinya main bablas aja," ucap gadis itu, menjelaskan dengan sungguh-sungguh. "Benar itu, jangan karena mau berpenampilan bagus aja. Kesehatan sendiri jadi gak terurus," respons Jean. "Tuan sendiri bagaimana? Tuan juga gak takut gemuk makan bareng saya?" tanya Shania. "Kamu gak tahu ya, saya 'kan rajin olahraga. Jadi si gemuk itu gak bisa ketempelan sama saya," ucap Jean sedikit dibumbui dengan candaan. Shania terkekeh pelan, sedikit lucu mendengar Jean yang mengatakan candaan seperti itu, karena tidak seperti Jean yang biasa ia kenal sebelumnya. Shania sendiri tahu kalau Jean itu memang rajin berolahraga, tidak hanya dibuktikan dari ruangan khusus menyimpan berbagai macam alat olahraga yang terdapat di rumah ini saja, hampir setiap dini hari Shania juga tanpa sengaja mendapati laki-laki itu sedang joging dan melakukan aktifitas olahraga lainnya di luar rumah. Kemudian Shania lanjut memakan kembali makanannya. Saking fokusnya makan, gadis itu sampai tidak merasa terganggu dengan rambut terurai yang menutupi wajahnya. "Ehh?" Shania terkejut dengan apa yang Jean lakukan padanya. Bagaimana tidak? Tanpa izin ataupun permisi, laki-laki itu mengulurkan tangannya untuk menyeret rambut Shania dan mempatkan nya di balik telinga gadis itu. "Kalau sedang makan, sebaiknya rambut kamu diikat aja. Takutnya jadi ikut kemakan sama kamu," ujar laki-laki itu, menjelaskan. Mendengar omelan Jean, gadis itu langsung mengambil ikat rambut yang selalu ia simpan di pergelangan tangan kirinya. Sesuai perintah Jean, ia segera mengikat rambutnya di tempat. ***** Salah satu organ terpenting dalam tubuh Shania bermain ritme tidak beraturan, ia merasa gugup dan takut. Jari-jemarinya yang saling bertaut menandakan seberapa besar kekhawatirannya. Apakah nanti ia akan dipecat? Pertanyaan itulah yang terus terngiang-ngiang di kepala Shania. Pasalnya melalui Pak Orman, Jean tiba-tiba memintanya untuk datang ke ruang kerja laki-laki itu dan Shania sendiri tidak tahu pasti alasannya kenapa. "Bertahun-tahun bekerja di sini, belum pernah saya menemui tuan Jean mau bertindak sendiri dalam mengurus seseorang yang berkerja di rumahnya, tanpa melalui saya. Apakah kamu sebelumnya sudah membuat kesalahan yang sangat besar sehingga membuat Tuan Jean menjadi keluar dari barisannya?" Begitulah kalimat yang pak Orman ajaukan padanya. Mendengar pertanyaan itu tadi, otomatis membuat Shania menjadi bingung sendiri dan kemudian berpikir negatif terhadap dirinya sendiri. Selama bekerja, Shania rasa ia tidak pernah barang sekalipun melakukan kesalahan buktinya saja Jean sendiri sampai-sampai memujinya semalam. Namun, si pak tua kepala pelayan itu mengatakan sesuatu yang membuat Shania takut. Shania tidak punya gambaran lagi akan pergi ke mana setelah ia dipecat dan diusir dari rumah ini karena Jean lah satu-satunya orang yang bisa menolong Shania lantaran laki-laki itu tidak terhubung ataupun kenal dengan ayahnya, Bimo. Jika bisa, sudah sedari dulu Shania menerima uluran tangan yang ditawarkan oleh sahabat karibnya, tapi karena tidak ingin sahabatnya itu terkena masalah Shania terpaksa menolak uluran tangan tersebut. Hidup Shania benar-benar tidak ada habisnya. Diketuknya pintu ruang kerja Jean, setelah mendapatkan respons dari orang yang berada di dalam Shania pun masuk. Tentunya raut khawatir belum ia hilangkan terlebih dahulu. Dengan langkah pelan, gadis itu pun berkata. "Tuan," panggilannya pelan, dengan sedikit menunduk. Jean yang tadinya fokus memerhatikan sebuah buku dokumen di tangannya, mendongkak menatap Shania. Laki-laki itu menyunggingkan senyumnya. Ia bangkit, kemudian mengiring Shania agar duduk di sofa. "Duduk lah," katanya dengan lembut. Alis Shania terangkat, berpikir apakah sebenarnya Jean memang akan memecatnya? Tapi, kalau iya seharusnya laki-laki itu langsung mengatakan intinya saja. Sikap ramah tamah bukan tahapan seorang majikan akan memecat bawahannya. Shania tidak langsung duduk, sampai akhirnya Jean berkata lagi barulah ia bereaksi. "Laras," panggil pria itu yang sudah terlebih dahulu menduduki sofa yang berada di seberang Shania. "Ehh ... Iya." Meski kelihatannya ling-lung, gadis itu tetap bisa mengontrol dirinya. "Kamu terlihat tidak baik, apakah kamu sedang sakit?" tanya Jean, merasa bingung karena Shania hari ini terlihat banyak terdiam, tidak se-enerjik seperti biasanya. Shania menggeleng, "Tidak." Sesimpel itulah jawabannya, lalu kembali menunduk dengan tangan yang masih bertautan. Meski masih merasa janggal, tapi Jean tetap akan melanjutkan niatnya sedari awal meminta Shania untuk datang langsung ke ruang kerjanya. "Baik, saya langsung ke intinya saja. Maksud saya memanggil kamu ke sini itu karena saya ingin bertanya, apakah kamu mau lanjutin kuliah kamu yang sempat tertunda itu?" Tanya Jean dengan nada serius. "Ehh?" Seketika Shania langsung mengangkat kepalanya, menatap Jean dengan penuh tanda tanya. Bukankah kata pak Orman, laki-laki ini hendak ingin memecatnya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD