Omelan Seorang Shania

1231 Words
Suasana pagi perlahan kembali menyembulkan cahaya matahari di atas langit, tapi sayangnya cahaya itu tidak dapat menyelinap ke dalam sebuah kamar yang di isi oleh dua gadis yang memakai piyama bermotif yang sama, Dora*mon. Kebetulan dua piyama tersebut adalah barang milik Shania, Fika hanya meminjam saja dari sahabatnya itu. Shania sendiri menyukai kartun kucing biru tersebut, dan dia juga gemar mengoleksi barang-barang yang ada kaitannya dengan Dora*mon. Itu sudah berlangsung sedari ia kecil dulu. Baik itu mainan, maupun barang pakai semuanya hampir berwarna biru. Setelah dirinya mulai beranjak dewasa barulah Shania mulai mengurangi konsumsinya terhadap kartun kucing biru itu. Ia juga sudah mulai menahan diri untuk tidak membeli barang-barang yang berkaitan langsung dengan Dora*mon, karena malu juga saat baru memasuki bangku perkuliahan ia dulu pernah dikatai bocil oleh beberapa orang yang baru mengenalnya. Sekarang hanya barang bermotif Dora*mon tertentu saja yang akan dibeli oleh Shania, seperti piyama ini misalanya. Dan bagaimana Fika bisa berakhir memakai piyama yang sama dan itu ada milik Shania, sebenarnya ada alasan yang cukup jelas yang tidak bisa gadis itu bantah. Saat Fika mengatakan bahwa dia ingin menginap dengan Shania, itu adalah rencana yang baru ia pikirkan setelah bersama dengan sahabatnya itu. Dia sengaja tidak kembali ke rumahnya sendiri untuk sekedar mengambil pakaian ganti. Saat minta ijin pada ibunya pun melalui telepon, karena mengatakan bahwa dirinya bersama dengan Shania makanya Fika berhasil mendapatkan ijin dari ibunya yang notabenenya adalah emak-emak yang cerewet. Walaupun begitu, Fika masih sempat komplain pada Shania karena diberi pakaian bermotif kucing biru itu, ya ... ibaratkan saja dengan sebuah pepatah yang mengatakan sudah diberi hati tapi masih minta jantung, begitulah Fika. Tapi, karena tidak ada pilihan lain lagi dan ia juga sudah menerima pelototan ganas dari Shania, makanya Fika berakhir mengalah dan memakai piyama itu terus menerus selama dua malam berturut-turut. Setelah Shania pikirkan lagi, ia jadi merasa tidak terlalu masalah dengan piyama yang diberikan oleh Shania padanya itu. Piyama tersebut dominan berwarna biru, dan secara kebetulan warna biru itu adalah ciri khas dari salah satu kartu si kembar yang botak. Ya, sebut saja itu adalah Up*n dan Ip*n. Sama dengan Shania, ternyata Fika juga memiliki film kartun favoritnya, yaitu Up*n dan Ip*n, yang menjadikannya menyukai dua warna yaitu kuning dan biru. Bedanya, sampai sekarang Fika masih sering menonton kartun itu walaupun sekarang ini ia sudah menjabat sebagai seorang mahasiswa di sebuah universitas swasta yang cukup bergengsi, sama seperti Shania. Hampir setiap episode terbaru dari penayangan kartun tersebut tidak ketinggalan untuk Fika tonton, sudah seperti seorang fanatik saja. Shania sering dibuat geleng-geleng kepala oleh sahabatnya itu karena ia sering mendapati Fika melalaikan tugasnya sebagai seorang mahasiswa hanya karena terus mengurusi hobinya. Kembali lagi ke pembahasan di awal, di mana salah satu dari gadis itu sekarang ini sudah terlihat sedang menggeliat dan meregangkan semua anggota badannya, setelah sepuluh detik setelah ia terbangun dari tidur sepanjang malamnya. Sembari mengusap, gadis itu menggoyang-goyangkan tubuh gadis lain yang semalam tidur di sampingnya. "Fik, bangun," katanya. "Lima menit lagi," jawab gadis itu, terdengar malas dan tanpa membuka matanya terlebih dahulu. "Fika bangun, hari ini hari senin. Katanya Lo ada kelas. Nanti terlambat lohh ...," ujar Shania yang tidak ingin menyerah untuk membuat gadis yang malas itu segera memelekkan kedua matanya agar setelah ini bisa melanjutkan aktivitas yang seharusnya dilakukan. "Biarin aja, gua masih belum puas tidur. Masalah kelas, gua bisa ijin cuti. Sekarang ini ada mimpi yang harus gua tuntasin sampai tamat," ucap Fika masih dengan suara malasnya yang khas dengan seseorang yang sama sekali tidak ingin bangun. Shania yang geram karena ternyata Fika belum juga jera atas kejadian kemarin dan malah mengingkari janjinya semalam, maka Shania segera mencubit bagian b****g Fika yang kebetulan di hadapkan ke arah Shania. "Akhhh ... Awwwww?!" Sontak, aksi yang dilakukan oleh Shania itu membuahkan hasil yang cukup memuaskan karena gadis itu langsung saja terduduk dengan raut di wajah menunjukkan rasa sakit yang kentara sekali. "Hahahaha ... rasain. Lanjutin aja nontonin mimpinya, biar gua bisa cubit Lo lagi," ujar Shania dengan tawa kemenangan, sungguh ia tidak menduga sebelumnya akan mendapatkan reaksi seperti itu dari Fika dan reaksi itu sangat memuaskan diri Shania yang padahal tidak memiliki hobi menertawakan penderitaan orang lain. "Shania, Lo apa-apaan sih. Udah mulai jadi kriminal ya Lo sekarang," gerutu Fika, meskipun wajahnya masih kelihatan bantal banget tapi raut kekesalan juga terlihat di sana. "Biarin ... Wlehhhh ...," ujar Shania sembari menjulurkan lidahnya, mengejek Fika. "Makanya, gua 'kan udah peringatin Lo dari tadi," tambah Shania yang sekarang juga sudah bersiap-siap untuk beranjak dari kasurnya itu. Namun, ketika ia sudah mengambil ancang-ancang untuk menciptakan langkah kali, ia mendadak menyadari kalau ternyata Fika telah menjatuhkan kembali bobot kepalanya di atas bantal, Shania jadi terpaksa mengurungkan niatnya untuk beranjak dari sana karena ternyata urusannya dengan Fika ternyata belum selesai. Ia harus memutar urusan itu sampai ke akar-akarnya. Kik ... Kik ... Kik ... "Bangun gak, bangun gua bilang?!" ucapnya dengan seruan Dengan cepat, Shania berhasil menghujani Fika dengan banyak cubitan. Berbeda dengan cubitan pertama, cubitan kali ini sengaja tidak Shania bubuhi dengan tenaga, alhasil bukannya merasa kesakitan tapi Fika malah mendapati kalau dirinya benar-benar merasa geli, ditambah lagi Shania juga sempat tanpa sengaja mencubitnya di area yang cukup sensitif apabila di sentuh. "Hahaha ... Stop! ... Iya-iya hahah ... gua bakalan bangun ... sekarang. Please ... Berhenti ...," ujarnya sedikit kepayahan karena ia harus menahan rasa geli yang menjalar di seluruh sekujur tubuhnya akibat dari tangan Shania yang tidak berhenti menjangkau tubuhnya sampai ia benar-benar terbangun. Melihat Fika yang akhirnya mau bangun, barulah Shania menghentikan aksinya itu. Namun, pelototan tajam belum juga ia turunkan. "Makanya, udah gua bilangin bangun sekarang. Gua gak mau ya kalau sampai Lo gak ikut kelas kuliah Lo, ntar malah gua yang disalahin sama emak Lo," ujarnya. Meskipun tahu kalau sebenarnya ibu Fika tidak akan mungkin memarahi dirinya karena ulah Fika. Namun, Shania tetap ingin mewanti-wanti agar hal itu tidak sampai terjadi. Fika menarik napasnya berat. "Iya-iya, tahu. Lagian kelasnya juga 'kan ntaran siang. Jadi siap-siap ntaran juga gak bakalan jadi masalah," ucap Fika, masih mencoba untuk ngeles. "Masalahnya Lo 'kan harus balik ke rumah Lo buat ngambil segala perlengkapan kuliah Lo. Mau Lo ke kampus cuma make baju tidur kayak gitu, enggak 'kan?" Ujar Shania. "Udah, ahh ... pokoknya Lo harus bangun ya! Gua gak mau marah-marah lagi ntar gua dikiranya kayak emak-emak," ucap Shania yang sekarang perlahan menghalus, ia kemudian bangkit dari posisinya di atas kasur. "Gak ngomel lagi, Lo juga udah kayak emak-emak bahkan emak gua sendiri udah kalah," cibir Fika, mengatai Shania saat sahabatnya sedang membelakangi dirinya. "Telinga gua masih bagus ya buat dengerin omongan Lo barusan?!" Shania menoleh kembali pada Fika yang sekarang kelihatan mati kutu. "Ehhh ... Emangnya gua ngomong apa tadi?" tanya Fika berlagak seperti orang bodoh. Menyaksikan itu, Shania memutar bola matanya. Alasan seperti itu memang sudah bisa terbaca jika berurusan dengan Fika. "Kalau Lo masih gak mau bangun, siap-siap aja air cebokan datang?!" peringatnya dengan menggunakan tatapan mematikan. Seketika itu Fika dengan gesit beranjak dari tempat tidur, meskipun ada rasa keterpaksaan di hatinya. Jujur saja, diperlakukan seperti itu oleh Shania, tidak pernah membuat Fika merasa sakit hati. Malahan ia merasa cukup bersyukur karena meskipun Shania itu hanyalah sahabatnya yang tidak terikat hubungan darah, tapi gadis itu dengan rela hati meluangkan waktu untuk membimbing dirinya menuju ke jalan yang benar. Itu adalah salah satu nilai plus yang ia dapatkan dari pertemanannya dengan Shania. Nilai minusnya? Fika rasa itu tidak pernah ada.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD