Ketika mobil yang menaungi Shania, Fika dan juga Andi sudah terparkir di tempat yang memang menjadi tujuan mereka, ketiganya segera bersiap-siap untuk turun setelah sabuk pengaman yang mereka kenakan sudah terlepas.
Shania mencoba untuk mengendong Andi yang tertidur sepanjang perjalanan. Namun, belum juga gadis itu menyentuh tubuh anak itu, Andi ternyata sudah terjaga dari tidurnya. Mungkin ia merasakan kalau mereka sudah tiba di rumah. Alhasil Shania tidak jadi mengendong anak itu melainkan cuma membantuku turun dari mobil bersamaan dengan tas sekolah anak itu.
Tidak Shania sangka ternyata mereka berakhir bermain sampai sore hari, untung saja tadi Fika membawa mereka ke sebuah restoran yang cukup mahal untuk makan siang mereka. Jadinya Shania tidak perlu merasa khawatir kalau Andi kelaparan, lagian juga di tempat wahana tadi mereka sesekali mampir ke sebuah stan yang menjual berbagai jajanan yang cukup mengenyangkan. Malahan bisa dikatakan Shania lebih menikmati makanan yang tidak terlalu menguras kantong itu dibandingkan dengan makanan restoran yang menjadi menu makan siangnya juga.
"Lo seriusan mau nginep sini, Fik. Kamar gua sempit lohh, ntar nyesel," ujar Shania yang sudah keberapa kalinya.
Saat masih di dalam mobil tadi Fika memang meminta kepada Shania agar mengijinkannya untuk tidur menginap di kamar gadis itu. Seperti yang sering mereka lakukan dulu. Fika merindukan kebiasaan mereka dulu, makanya ia merengek kepada Shania untuk memberikannya ijin tersebut.
Shania bukan merasa masalah atau tidak suka dengan ide Fika tersebut, malahan sebaliknya ia ikut senang jika ia bisa menghabiskan malam bersama dengan sahabatnya itu untuk berbagi cerita tentang banyak hal. Namun, hanya saja Shania takutnya Fika tidak terbiasa berada di kamar sekelas pembantu yang pastinya sangat jauh berbeda dari kamarnya dulu ataupun kamar sahabatnya itu sendiri. Shania saja awalnya tidak nyaman dengan itu dan membutuhkan beberapa hari untuk menyesuaikan diri, bagaimana dengan Fika nanti.
"Udah tenang aja, gua gak bakal ngerepotin Lo kok nanti. 'kan gak masalah, anggap aja cari pengalaman," ujar Fika meminta agar Shania tidak lagi khawatir. Ia sangat mengerti kalau yang dikhawatirkan Shania itu adalah dirinya.
Shania kemudian terlihat manggut-manggut. "Oh ... Ya udah," ujarnya yang sudah mulai menerima dengan lapang d**a keputusan Fika itu.
Shania kemudian berjalan cepat lantaran melihat Andi yang menguap, artinya anak itu pasti kelelahan dan butuh untuk tidur lagi. Ia harus segera mengantar Andi mandi dan kemudian anak itu bisa melanjutkan tidurnya yang sempat terjeda tadi.
Saat ketiga orang itu akan mendorong pintu utama untuk masuk ke dalam rumah, mendadak saja pintu itu terbuka dari dalam. Kemudian muncul seorang pria yang nampak tergesa-gesa.
"Papa."
"Kak Jean."
"Tuan Jean."
Sapa ketiganya dengan panggilan yang berbeda. Jean seketika berhenti berjalan dan merespons keberadaan mereka yang tadi siang sudah meminta ijin padanya untuk jalan-jalan.
"Oh kalian sudah pulang ya?"
"Iya," sahut Fika. "Ngomong-ngomong kakak buru-buru kayak gini emangnya mau ke mana? Apa ada masalah di kantor Kakak?" lanjut Fika, mengajukan pertanyaan.
Jean terlihat terdiam sejenak, sedang merangkai kata-kata untuk menjawab pertanyaan dari adik sepupunya itu. Sebelum benar-benar menjawab, ia melirik pada Andi sebentar.
"Salah satu pelaku penculik Andi sudah tertangkap. Sekarang saya akan ke kantor polisi untuk memeriksanya secara langsung," ujar Jean.
Sontak penuturan dari laki-laki di hadapan mereka itu menarik perhatian semua orang.
"Apa? Bella sudah tertangkap!" respons Fika dengan suara yang sedikit keras akibat dari rasa keterkejutannya tadi.
"Apa pelaku yang dimaksud Tuan itu benaran Bella?" Berbanding terbalik dengan Fika, Shania bertanya kepada Jean dengan nada yang bersahabat.
Pertanyaan dari kedua gadis di hadapannya itu ternyata memperoleh gelengan dari Jean, "Bukan. Dia adalah laki-laki yang sudah membantu Bella dalam melancarkan aksi penculikan tersebut," ujarnya yang seketika menggunakan raut yang tidak baik, entah apa yang Jean pikirkan tapi Shania ikut merasa sedih.
"Sudah. Kalian bertiga sebaiknya segera masuk ke dalam rumah sekarang, saya akan keluar sebentar untuk mengurus masalah ini," lanjut Jean kemudian.
"Kak aku ikut," kata Fika yang mencoba menghentikan kepergian Jean. "aku juga ingin ngeliat wajah orang berhati iblis itu. Aku bakalan ngasih dia pelajaran," lanjutnya dengan tatapan nyalang sembari melipat baju lengannya seperti seseorang yang sudah siap untuk adu jotos.
"Tidak. Kamu di rumah aja, tolong jagain rumah dan Andi sampai kakak kembali," ucpanya. "Dan, Laras, sebaiknya kamu yang ikut saya," lanjutnya yang langsung mengambil tangan Shania untuk ikut bersamanya, sehingga memperoleh kebingungan di antara orang-orang itu. Shania sendiri juga merasa terkejut dengan aksi yang dilakukan oleh Jean itu kepadanya.
Shania menoleh pada Fika yang sudah ia belakangi, kemudian ia tatapan itu beralih kembali kepada Jean yang berada di sampingnya. "Tuan, tapi—"
Fika yang mulanya ingin mengkomplain mendadak menjadi diam lantaran melihat pemandangan dimana tangan Jean terus terpaut pada lengan Shania. Entah kenapa sebuah senyuman juga ikutan terbit di bibir ranum gadis itu.
"Bika, Andi juga pengen ikut," ujar anak itu sembari menoleh pada Fika yang berada di dekatnya.
Pandangan Fika turun kepada Andi yang bahu anak itu dipegang olehnya. "Gak usah, kita di rumah aja, Bika bakalan jadi teman main kamu untuk sementara dan kita berdua pasti akan bersenang-senang nantinya," ujar Fika.
"Tapi 'kan An—"
Dengan sengaja Fika menyela And. "Dahh ... Kakak Jean, Laras. Hati-hati di jalan ya." Gadis itu terlihat aktif melambai lambaikan tangannya dengan senyuman yang masih mengambang.
*****
Hening dan gugup, dua kata yang berbeda yang dapat mendeskripsikan suasana Shania di dalam mobil bersama dengan Jean yang fokus mengendalikan stir yang ia pegang. Gadis itu masih belum bisa menyerap semua yang terjadi padanya saat ini dengan benar.
Shania ingin tahu kenapa Jean memilih dirinya, alih-alih Fika sudah terlebih dahulu mengajukan diri. Namun, sayangnya lidah Shania terasa teramat kelu untuk mengeluarkan barang sepatah katapun kepada laki-laki tersebut.
Melalui ekor matanya, Shania sesekali melirik Jean dari samping. Tidak butuh waktu lama baginya untuk meresapi apa yang mungkin dirasakan oleh laki-laki tersebut. Shania melihat raut wajah Jean yang tampak sengaja dikerutkan.
Ia tahu apa yang dirasakan oleh Jean sekarang ini, laki-laki itu pastilah masih sulit menerima kenyataan bahwa kekasihnya sendirilah yang telah mencoba untuk menyelakai anaknya. Bisa dibayangkan berapa banyak luka batin yang harus ditanggung oleh laki-laki itu.
Shania rasa, perasaan terluka yang pernah ia alami akibat cinta itu tidak seberapa dengan luka yang dialami oleh Jean. Malahan bisa dikatakan penghianatan cinta pacar Shania itu tidak memiliki dampak yang signifikan dibandingkan penghianatan yang dilakukan oleh Bella kepada Jean. Lantaran orang yang menerima dampak dari ulah Bella itu lebih dari satu orang yang bahkan membuat nyawa seseorang menjadi terancam bahaya.
Jadi kesimpulannya, Shania tidak tahu harus menggunakan kata dan kalimat apa agar bisa membuat laki-laki itu merasa tenang. Harus memakai kata mutiara yang seperti apa agar laki-laki itu bisa melupakan masa lalu yang kelam tersebut. Jujur saja Shania sangat ingin melakukan apa yang tidak ia ketahui caranya itu.
"Udah puas liatin muka saya?" tanya Jean yang seketika membuyarkan lamunan Shania. Gadis itu terlihat kalang kabut karena merasa malu setelah aksi yang dikendalikan oleh alam bawah sadarnya langsung ketahuan oleh Jean.
"Eh ... Tuan?" Shania seperti ketakutan kalau-kalau Jean memarahi dirinya. Namun, sepertinya ia tidak perlu merasa begitu karena terlihat ada sedikit senyuman yang melengkung pada bibir laki-laki itu.
"Kita sudah sampai, ayo turun," lanjut laki-laki itu yang bergegas membuka sabuk pengamannya. Shania yang sudah bisa mengendalikan dirinya segera melakukan apa yang Jean lakukan.