tok, tok, tok
Suara pintu dari luar itu berbunyi bertepatan dengan Shania yang telah selesai memakai seragam babysitter. Gadis itu kemudian berjalan menghampiri pintu untuk membukanya, penasaran siapa yang sepagi ini ingin menemui dirinya.
"Bibi Iyem?" Shania keheranan lantaran kepala pelayan yang bertugas di dapur untuk menyiapkan makanan tiba-tiba bertamu di kamarnya sepagi ini, padahal wanita paruh baya itu seharusnya kan sedang berkutat di dapur mempersiapkan sarapan untuk majikan mereka.
"Salam sapanya nanti aja. Lebih baik kamu beri saya jalan, tangan saya terasa akan meleleh karena panas dari mangkuk ini," ungkap wanita yang sudah memiliki banyak keriput di wajahnya itu.
"Ehh ... Iya." Shania segera memberi jalan agar Bibi Iyem bisa masuk ke dalam. Shania tidak tahu apa alasan wanita tua itu bertamu di kamarnya, tapi yang pasti Bibi Iyem sekarang ini tengah membawa sebuah nampan yang terdapat semangkuk bubur hangat dan segelas s**u. Wanita itu kemudian menaruh barang bawaannya di atas nakas, samping ranjang tidur Shania.
"Ini apa, Bik?" tanya Shania keheranan.
"Ya ampun. Kamu kurang peka ya?" Wanita itu menyinggung Shania dengan sedikit bercanda. "Ini itu sarapan buat kamu. Tuan Jean tadi minta sama Bibi untuk nganter langsung sarapan ke kamar kamu," ucapnya, menjelaskan.
"Bibi, ini terlalu berlebihan. Aku gak sakit dan juga aku bukan tamu di sini. Masa pelayan juga dilayani sih. Intinya aku gak bisa nerima semua ini," ucap Shania menolak.
Bibi Iyem tampak menarik napas panjang. "Oleh karena kamu seorang pelayan lah kamu gak punya hak buat menolak apa yang diperintahkan majikan kamu. Bibi di sini cuma melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Tuan Jean, jadi Bibi mohon kamu harus bantu Bibi buat nyelesain tugas ini dengan cepat, ya?"
"Tapi, Bik. Ini—"
"Kamu sendiri tahu apa konsekuensi dari pemberontak terhadap majikan, bukan? Nanti kalau Tuan Jean tahu, bukan hanya kamu aja yang akan dipecat tapi Bibi juga. Jadi, Bibi mohon sama kamu, buat semua ini jadi mudah. Kamu harus makan, oke?"
Mau tidak mau, Shania pun menaik-turunkan kepalanya. Ketika tubuhnya ditarik oleh wanita yang setengah dari rambut di kepalanya sudah berwana putih itu, Shania sama sekali tidak memberontak.
Bibi Iyem duduk di atas ranjang Shania dan gadis itu duduk di atas kursi yang berhadapan langsung dengan Bibi Iyem. Shania memperhatikan dengan begitu serius tangan Bibi Iyem yang terampil dalam menyatu padukan isi bubur tersebut. Ketika tahu kalau wanita tua itu telah selesai, Shania hendak mengambil alih mangkuk makanan itu dari tangan Bibi Iyem.
Namun, sayangnya hal itu gagal dilakukan Shania karena Bibi Iyem mendadak menyuapi Shania sendiri.
"Kamu itu harus makan yang banyak biar tubuhnya itu gak kurus kayak gini. Boleh kalau kamu mau jadi langsing, tapi jangan kebablasan gini lah. Cuma tinggal tulang sama kulitnya aja," ucap wanita tua itu, menasehati Shania seperti anaknya sendiri.
Mendengar perkataan Bi Iyem barusan, mata Shania langsung saja turun memperhatikan tubuhnya. So what? Tubuh langsing dan ideal seperti ini telah dikatai kurus kerempeng. Selama ini baru Bibi Iyem yang berani mengatakan dirinya kurus selain Shekan. Jika Bibi Iyem adalah abangnya, sudah dari tadi Shania akan mengajak wanita itu untuk adu jotos. Ah sudahlah, gak baik juga mengajak orang tua seperti Bibi Iyem untuk berkelahi, yang ada malah kualat yang Shania dapatkan.
"Aaaaa ... Buka lagi mulutnya," ucap Bi Iyem sembari mengudara makanan yang sudah ia taruh di atas sendok.
Shania menggeleng. "Udah Bi, biar Laras aja," kata Shania sedikit hati-hati. Namun, wanita tua itu tetap memaksa.
Disuapi seperti ini, Shania merasakan kasih sayang yang wanita tua itu curahkan untuknya. Dulu, ia juga selalu ingin disuapi oleh Bik San. Melihat Bibi Iyem, Shania seperti merasakan ada Bik San dalam diri wanita tua itu.
Shania sangat bersyukur, di rumah ini ternyata banyak yang bersikap baik padanya. Baik Tuan rumah maupun para pembantu sepertinya, mereka semua memberikan Shania kasih sayang.
"Bik, kalau boleh tau. Bibi sejak kapan kerja di sini?" tanya Shania, membuka pembicaraan.
Bibi Iyem mendadak menghentikan kegiatan mengaduk buburnya. Ia mendongkak, sembari rautnya mengatakan kalau ia sedang berpikir. "Ummm ... Sekitar lima belas tahunan kali, Bibi lupa. Soalnya udah lama banget," ungkap orang tua itu yang kini melanjutkan kegiatan mengaduk buburnya.
"Ohh ... betah banget ya Bibi kerja di sini," kata Shania setelah Bibi Iyem memasukkan lagi sendok bubur ke dalam mulutnya dan gadis itu juga sudah seleksi mengunyah.
Bibi Iyem mengangguk, menyetujui perkataan Shania barusan. "Iya, malahan Bibi pengen selama-lamanya kerja di sini, soalnya majikannya baik banget," ucap orang tua itu dengan penuh harap.
"Keluarga Bibi gimana, apa mereka setuju dengan keinginan Bibi itu?" tanya Shania.
Bibi Iyem lagi-lagi mendadak menghentikan kegiatan mengaduk bubur itu, tapi kali ini ia berhenti total. Dengan cepat ia menyerahkan mangkuk itu ke tangan Shania.
"Bibi ingat, Bibi tadi ada kerjaan lain yang gak bisa ditinggalkan begitu aja. Jadi kamu lanjutin sendiri ya makannya, setelah itu makan obat yang semalam, ini pesan dari Tuan Jean. Bibi permisi dulu," katanya sangat terburu-buru.
Salah satu alis Shania terangkat. "Ehh ... Bik?" Sayangnya wanita tua itu sudah benar-benar meninggalkan Shania. Tingkah laku Bibi Iyem itu membuat Shania kepikiran, apa ia tadi salah kata atau bagaimana?
Shania menghembuskan napasnya perlahan, kini ia cuma sendiri di sini. Tiba-tiba sebuah lengkungan yang menjorok ke bawah pun terbit di bibir mungil Shania. Jean? Ahhhh ... Dari semalaman nama itu terus berputar-putar di pikirannya. Gadis itu tidak bisa melupakan bagaimana ia ditolong oleh Jean semalam. Wajah khawatir Jean, kata-kata hangatnya yang berusaha untuk menenangkan Shania, dan juga yang paling penting adalah tentang pelukan mereka semalam. Saat Jean sudah berhasil mengamankan ular itu semalam, dengan segera laki-laki itu mendekati Shania dan memberikan pelukan penenang.
Shania kurang mengerti tentang perasaan yang dialaminya saat ini, seperti bubur yang bercampur aduk. Ada senang, ada bahagia, dan suka. Tunggu dulu, apakah dirinya ini sudah memiliki perasaan cinta sebagai wanita dewasa kepada Jean? Entahlah, Shania sendiri juga bingung.
Ditambah lagi bubur yang ada di tangan Shania, ini adalah bubur pemberian Jean. Apakah Jean juga menambahkan cinta di sana? Apakah sebegitu khawatirnya Jean pada dirinya?
Shania hanya mengekspresikan perasaannya dengan cara menyuapi bubur itu sembari tersenyum-senyum sendiri. Beruntung di dalam kamar ini hanya ada dirinya seorang, kalau tidak, orang lain pasti akan mengatainya aneh dan kurang waras.