Menebalkan Muka

1103 Words
Pagi ini, Andi masih masuk ke sekolah. Beruntung sekali karena semalam Andi akhirnya mau mendengarkan Shania yang terus memaksa untuk tidur, tentunya dengan ancaman bahwa Shania tidak akan mau lagi bermain dengan anak itu. Shania sekarang ini tengah mempersiapkan keperluan sekolah anak itu. Setelah selesai, ia langsung mengantar Andi ke ruang makan untuk sarapan sekaligus mengambil bekal yang akan dibawanya ke sekolah nanti. Gadis itu menunggu Andi makan dengan berdiri di belakang kursi yang Andi duduki dan Andi juga terlihat tidak rewel saat menyantap makanannya karena ia tidak mau merepotkan Shania dalam kondisi seperti ini. Andi memanglah anak yang cukup pengertian. Di pertengahan kegiatan makan yang Andi lakukan, muncul Jean bersama dengan Bella yang hendak sarapan juga. Shania seketika langsung menunduk, takut kalau melihat wajah Jean ia akan mengingat tentang kejadian semalam. "Morning, sayang," sapa Jean sembari mengusap lembut rambut anaknya itu. "Pagi, Papa," balas Andi. Meskipun ia tidak suka disentuh seperti itu, Andi selalu memberikan pengecualian khusus untuk ayahnya. Laki-laki baik hati itu juga tidak lupa menyapa Shania, karena masih malu gadis itu cuma menggagukkan kepalanya sembari menyahut pelan. "Pagi, An—" Saat wanita itu hendak akan menyentuh rambutnya juga, dengan segera Andi langsung mengelak. Alhasil tangan Bella tidak sempat menyentuh Andi, Bella terkejut dan terdiam sesaat. Dari tempatnya berdiri, Shania melihat Bella mengepalkan kedua tangannya dan juga menggertakkan gigi-giginya. Itu menunjukkan kalau wanita itu teramat kesal, tapi ia tidak menunjukkan hal itu pada orang lain, Shania sendiri tidak sengaja melihatnya. Melihat itu, Shania menjadi teringat akan kejadian semalam. Shania jadi semakin percaya kalau apa yang ia lihat adalah kebenaran yang sesungguhnya. Jean menduduki kursi yang berada di ujung dan Bella memilih kursi di samping laki-laki itu sekaligus tepat di hadapan Andi. Wanita bergaun merah marun itu tidak melunturkan senyumnya, ia bahkan membantu mengambilkan makanan untuk Jean. Setelah selesai, "Laras aku barusan dengar kejadian yang menimpa kamu dari Jean, apa kamu tidak apa-apa? Apakah ular itu sempat menyerang kamu?" Entah tulus atau dengan unsur kepura-puraan, wanita itu berkata sembari wajahnya mengukir raut khawatir yang sontak membuat Shania terkagum-kagum melihatnya. "Ahhh ... Saya tidak apa-apa, nyonya. Terima kasih karena sudah repot-repot menghawatirkan saya," ungkap gadis itu. Masih menggunakan raut itu, Bella berlanjut berkata. "Sebagai calon isteri Jean, tentunya saya juga harus peduli terhadap orang-orang yang berkerja di rumah ini, bukan? Kalau saja semalam saya tidak tidur lebih awal, bisa saja saya yang menolong kamu bukan Jean," ucap wanita itu sambil menggenggam tangan Jean yang disandarkan di atas meja sampingnya dan Jean membalas genggaman itu dengan usapan lembut. Sepertinya Jean merasa bangga atas apa yang dikatakan Bella barusan, terbukti dari senyuman manis yang terbit dari bibir laki-laki itu. Shania mengusahakan untuk tersenyum. Untuk membalas ucapan Bella, gadis itu lalu berkata. "Nyonya semalam pasti sangat mengantuk makanya langsung bisa tertidur pulas. Padahal kejadian semalam terjadi tidak lama setelah saya melihat Nyonya keluar dari lorong kamar para pelayan." Entah keberanian dari mana Shania sampai bisa mengatakan itu, tapi yang pastinya Shania hanya ingin mengungkapkan kebenaran yang ia ketahui. Sontak semua orang terdiam dan langsung memandangi Bella, wanita itu sendiri sekarang sudah tidak lagi memasang senyuman di bibir berlipstik merah cerah itu. Hal itu terganti dengan raut ketidakpercayaan. "Ada apa?" Tanya Jean pada Bella, dengan nada lembut. Ia merasa sedikit penasaran karena Bella tidak pernah mengatakan itu padanya. Tubuh Bella terasa menegang, tapi sebisa mungkin ia menyembunyikan itu dari semua orang. Bella kemudian menggeleng pelan, "Ohhh ... Y-yang i-itu ya, A-aku, Aku semalam ke kamar Bik Iyem mau minta dibikinin kopi. Tapi, karena ternyata Bik Iyemnya udah tidur jadinya aku terpaksa balik ke kamar dan langsung tidur," ucap Bella sedikit terbata-bata. Alis Jean terangkat. "Setahu aku, kamu bukannya gak pernah minum kopi Sebelum tidur?" Bella lagi-lagi merasa tegang, namun kali ini ia menuntaskan perasaan itu secara spontan. "Mas, kamu kenapa sih nanya-nanya kayak gini. Ohhh apa jangan-jangan kamu mau nuduh aku yang naroh ular itu di kamar Laras?" ucap wanita itu dengan nada kesal. Kedua alis Jean langsung bertemu, "Bella, kenapa bilang begitu. Aku samasekali gak nuduh kamu. Untuk memikirkan hal semacam itu saja aku tidak pernah," ungkap laki-laki itu sejujur-jujurnya. ***** Masih di kediaman Abirama tepatnya di kamar tamu yang di tempati oleh Bella semalam, wanita itu sekarang terlihat mondar-mandir di sisi kiri ranjang. Bella menggerutu dengan raut yang menunjukkan kekesalan yang tercampur dengan kegelisahan. Banyak kalimat yang ia lontarkan dan ada juga nama Laras yang tersebut di setiap kalimat itu. "Laras, Laras, Laras! Selalu gadis itu yang jadi penyebab aku dan Jean bertengkar," ucap wanita itu sembari menghentak-hentakkan kakinya di lantai. "Sepertinya dia tahu kalau akulah dalang yang memasukkan ular itu di dalam kamarnya. Pokoknya aku harus segera menyingkirkan gadis itu dari sini, karena bisa-bisa posisi aku akan semakin gawat kalau dia tidak segera pergi," lanjut wanita itu. Benar sekali, Bella lah yang telah merekayasa tentang kejadian semalam. Karena kecemburuannya atas kedekatan Shania dengan Andi dan juga Jean lah yang menjadi penyulut Bella untuk berani bertindak jauh. Bella akan selalu berusaha menyingkirkan segala penghalang baginya untuk mendapatkan apa yang terjadi ia inginkan. Dia merasa kalau semenjak kedatangan Shania di sini, ada kekhawatiran yang muncul. Dirinya merasa kalau kehadiran Shania telah membuat mimpinya untuk menjadi istri seorang miliarder seperti Jean semakin jauh. Bella tidak ingin kekhawatirannya itu menjadi kenyataan. Sudah sejak lama ia mendambakan kalau dirinya adalah istri dari orang yang sangat kaya, jadi setiap ada satu hal penghalang baik itu hal kecil atau besar, Bella tidak pernah membiarkannya begitu saja. Di tengah kegiatan berpikirnya, mendadak handphone yang ada di atas nakas berbunyi. Menandakan sebuah panggilan masuk dan Bella harus segera mengangkatnya. "Selalu saja nelpon di saat yang gak tepat," omel Bella ketika melihat nama yang tersemat di layar handphonenya. Meskipun terpaksa, Bella tetap mau mengangkat panggilan tersebut. "Hallo, ada apa?" tanyanya dengan sedikit nada ketus. Mendengar balasan dari lawan bicaranya di telepon, Bella memijit pelipisnya. "Kamu gila ya. Padahal baru aja dua hari yang lalu aku kasih kamu uang, tapi kenapa udah minta lagi?" Kali ini Bella menghela napasnya. "Kurang? Kamu gak pake uang itu untuk macem-macem 'kan. 15 juta itu bukan jumlah uang yang sedikit dan sekarang kamu nyuruh aku minta 10 juta sama Jean?" Lagi-lagi, Bella menghela napasnya. "Iya, iya. Nanti aku usahain. Tapi ingat, ini untuk yang terakhir kalinya. Aku gak mau Jean berpikir kalau aku pacaran sama dia itu cuma karena ngincar hartanya aja, oke?" Setelah panggilan mereka di putuskan, Bella lalu melempar handphone di atas ranjang. Kalau bukan karena alasan untuk kebaikannya di masa depan nanti, Bella tidak akan pernah mau melakukan apa yang lawan bicaranya tadi katakan. Bella membuang bokongnya ke atas ranjang. Memikirkan tentang uang, wanita itu mengingatkan dirinya untuk menebalkan muka saat berbicara dengan Jean nantinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD