Fika sepertinya hendak mengejar, tapi malah keduluan karena Andi dan seorang gadis yang ia lihat bersama dengan anak itu sudah naik ke lantai atas. Namun, Fika tetap mengikuti. Ia juga ikut naik ke lantai atas, melewati Jean yang hanya menatap dirinya yang berlalu. Ada rasa penasaran yang mengerubungi diri Fika lantaran ia seperti mengenali punggung gadis yang bersama dengan Andi tadi.
Fika terus mengikuti dan ia sangat tahu kalau Andi barusan pasti hendak menuju ke kamarnya. Entah cuma perasaannya saja atau bukan, tapi Fika benar-benar merasa kalau gadis itu adalah orang yang sangat dikenali olehnya.
Saat tiba di kamar Andi, pintu tersebut sudah tertutup karena sang pemilik telah berada di dalam. Fika tidak langsung membuka ataupun sekedar mengetuk pintu tersebut, ia menempelkan telinganya pada dataran dinding pintu bermaksud menguping pembicaraan di dalam. Dirasanya tidak mendengar apa-apa, gadis itu hendak mengetuk pintu.
Crekkk
Bersamaan dengan apa yang hendak ia lakukan, pintu tersebut ternyata juga sedang dibuka dari dalam.
"Lohh ... Shania?" panggil Fika yang lumayan terkejut, melihat sosok Shania lah yang telah membukakan pintu itu.
"Fi-Fika?" Shania tidak kalah terkejut, ia Seketika membulatkan bola matanya lebar-lebar, tidak pernah menduga akan bertemu dengan sahabat terbaiknya di sini, di rumah Jean? OMG siapa yang akan tahu coba?
"Shania," kata Fika lagi tapi kali ini ia langsung menghamburkan pelukannya kepada gadis itu. Ia teramat rindu pada sahabatnya yang sudah beberapa minggu ini kehilangan kabar. Butiran bening tidak luput menyertai tangis harunya. Sementara itu, Shania langsung menutup pintu kamar Andi agar anak itu tidak mendengarkan pembicaraan mereka berdua.
"Gimana Lo bisa ada di sini?" tanya Shania kemudian, tidak lupa ia juga membalas pelukan Fika dengan mengelus lembut punggung belakang gadis itu.
"Seharusnya gua yang nanya kayak gitu," ujar Fika. Ia sama sekali tidak mau melepaskan pelukannya itu, malahan ia semakin mempereratnya sampai membuat Shania hampir kehabisan napas.
"Fik, Fik. Le-lepasin," ujar Shania. Elusan lembut yang ia beri pada punggung Fika tadi, seketika berubah menjadi tepukan beberapa kali, berupaya agar sahabatnya itu mau melepaskan dirinya.
"Gak mau, gua kangen banget tahu sama Lo," tolaknya dengan masih mempertahankan kekuatan pelukan yang ia berikan pada Shania tadi.
"L-lo b-beneran m-mau b-bunuh g-gua y-ya."
Kalimat yang Shania lontarkan berhasil menyadarkan Fika dari perbuatan yang ia lakukan kepada sahabatnya itu. Segeralah gadis itu melepaskan pelukan yang ia berikan. Karena saking rindunya tadi, ia hampir tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Kehilangan kabar tentang Shania membuat gadis itu benar-benar merasa frustasi.
Setelahnya, Shania langsung menarik tangan Fika untuk membawanya menjauh dari sana. Ia tahu kalau mereka berdua perlu berbicara secara pribadi, tapi Shania tidak ingin ada orang rumah yang mendengar tentang pembicaraannya dengan Fika nanti. Shania memilih menuju tempat yang sepi, yaitu taman yang berada di samping rumah ini. Beruntung saja Fika sama sekali tidak menolaknya.
Setelah mereka berdua sampai di bangku taman tersebut, Fika terlebih dahulu membuka suara. "Gimana bisa Lo ada di rumah Kakak Sepupu gua? Dan juga, ngapain Lo pake baju pelayan segala?" tanyanya sedikit dibumbui dengan kekehan kecil. Bagi Fika, sangat lucu melihat penampilan Shania sekarang ini. Shania yang adalah seorang putri dari keluarga kaya dan dikenalnya sangat manja, menjadi terlihat sangat sederhana dengan tubuh dibaluti oleh pakaian yang seragam dengan pakaian para pelayan di rumah ini.
Mendengar penuturan Fika barusan membuat salah satu alis mata Shania terangkat. "Jadi, Tuan Jean itu sepupu Lo?" ujar Shania sedikit heboh.
"Iya," jawab Fika yang lagi-lagi terkekeh. Tuan Jean? Ahh lucunya.
Shania kemudian mengangguk mengerti, sedikit tidak menyangka kalau ternyata orang yang telah menolongnya itu adalah keluarga dari sahabat dekatnya sendiri.
"Sekarang itu gua rasa gak penting lagi kak Jean itu siapanya gua, yang penting itu gimana bisa Lo ada di sini. Pokoknya Lo harus kasih tahu ke gua ceritanya dari a sampe z, jangan ada yang kelewatan barang secuilpun," Pinta Fika, gadis itu juga sudah memposisikan dirinya senyaman mungkin agar bisa mendengarkan penjelasan Shania dengan baik.
Shania menuruti apa yang diminta oleh Fika, tanpa sedikitpun ada rasa paksaan. Meskipun ia menceritakan semuanya kepada Fika, tapi ada satu kejadian yang sengaja Shania tutup-tutupi dari Fika yaitu tentang kejadian di bawah untaian hujan kemarin. Alasannya sudah jelas, karena akan sangat berbahaya kalau sampai Fika mengetahuinya, ditambah lagi dia adalah sepupu Jean. Bisa-bisa usaha Shania untuk melupakan kejadian itu menjadi sia-sia, karena dapat dipastikan kedepannya Fika pasti akan terus membuatnya ingat.
Fika sendiri mendengar cerita Shania dengan seksama, setiap detail kata-kata yang Shania keluarkan ia cerna dengan baik. Ada rasa iba, sedih, dan penyesalan yang bertumpuk dalam hati Fika ketika ia tahu seberapa menderitanya sahabatnya itu selama ini. Fika sudah menjalin hubungan persahabatan dengan Shania sangat lama, dan selama itu tidak pernah sekalipun mereka berpisah seperti ini.
Awalnya Shania memang sempat menceritakan kepadanya tentang masalah perjodohan itu. Namun, tidak pernah sekalipun ia menduga kalau setelah menceritakan itu Shania akan memilih untuk minggat secara diam-diam dari rumahnya.
Memikirkan ini membuat Fika menjadi merasa bersalah, ia merasa gagal menjadi sahabat yang baik untuk Shania. Seharusnya ia bisa membantu sahabatnya itu dalam keadaan sesulit apapun, tidak peduli dengan adanya penolakan dari Shania sendiri.
"Lo kenapa gak pergi ke tempat gua? kenapa Lo gak minta bantuan sama gua? kenapa Lo lebih milih orang yang sebenarnya asing bagi Lo dibanding sahabat Lo sendiri? Lo tahu, Lo udah buat gua berasa gagal jadi sahabat Lo. Apa sebenernya Lo gak pernah sekalipun nganggap gua itu sebagai sahabat Lo," ucap Fika dengan emosional. Ia sungguhan sedih atas semua yang dialami oleh Shania, tapi yang lebih menyedihkan lagi ia sama sekali tidak bisa berbuat apapun untuk sahabatnya itu.
Shania juga terlihat terbawa suasana, "Maafin gua. Gua bukannya gak mau minta tolong sama Lo, gua hanya takut Lo nantinya bakalan terseret ke dalam masalah gua juga. Gua bener-bener minta maaf, Fika. Gua mohon, Lo jangan berpikiran kalau gua gak pernah nganggep Lo sahabat gua. Lo itu lebih berharga dari sekedar sahabat," ujar gadis itu dengan menunduk dalam, yang artinya dirinya sangat bersalah.
Melihat Shania yang meminta maaf padanya membuat Fika menjadi berpikir, tidak seharusnya ia memarahi Shania terlepas dari apa yang sudah gadis itu alami selama ini. Dalam keadaan seperti ini, sebagai seorang sahabat seharusnya ia menemani, membantu, dan menguatkan Shania.
Tanpa mengungkapkan apa yang tengah ia pikirkan, Fika langsung saja menghamburkan pelukannya kepada Shania.
"Gak, Lo jangan minta maaf sama gua karena kata itu pantasnya gua yang ngucapin. Pokoknya gua minta maaf sama Lo, setelah ini gua janji akan terus bersama Lo dalam keadaan apapun. Tapi, Lo harus janji juga sama gua buat selalu terbuka dalam segala hal yang Lo alami. Kalau Lo gak ngomong apapun, gua gak akan tahu apa yang Lo rasain, karena gua itu bukan peramal yang bisa tahu tanpa perlu dikasih tahu," ucap Fika dengan hangatnya.
"Iya, gua janji."
Kesedihan mereka berdua langsung saja berubah jadi tangis bahagia. Baik Shania maupun Laras sama-sama bersyukur karena mereka berdua telah dipertemukan walaupun dalam kondisi yang sedikit ambigu seperti ini.