Di sebuah kafe, terlihat seorang gadis yang duduk sendiri. Gadis itu tengah menunggu kedatangan seseorang yang sudah membuat janji temu dengannya. Selang beberapa menit kemudian, minuman yang dipesannya pun datang. Gadis bergigi kelinci itu menyambut minuman es boba nya itu dengan senang hati.
Hatinya bertambah lebih senang lagi ketika tidak lama kemudian seseorang yang ia tunggu sedari tadi sudah tiba di sini. Gadis itupun mempersilahkan orang itu untuk duduk di kursi yang berada di hadapannya.
Ia pun menduduki kursi tersebut. "Lama ya Lo nunggunya, Sha? Maaf ya, soalnya tadi gua sempat kejebak macet," ucap seorang gadis yang tidak lain dan tidak bukan adalah Fika itu.
Shania menggelangkan kepalanya. "Gak juga, ini aja pesanan gua baru aja dateng," kata gadis bergigi ginsul itu sesuai dengan fakta yang ada.
Wajah Fika seketika terlihat kecewa. "Lo kok gak mesenin buat gua sih?" tanyanya karena hanya melihat hanya ada satu saja minuman di atas meja mereka berdua.
"Gua sih mau-mau aja pesenin buat Lo, tapi sayangnya di sini gak nyediain minuman kesukaan Lo," ujar Shania. Hampir semua orang yang berteman dekat dengan Fika pasti tahu minuman kesukaan gadis itu, yaitu jus strawberry. Alasan kenapa Shania tidak memesan minuman yang lain adalah karena ia sangat tahu bahwa minuman itu pasti hanya akan diabaikan oleh Fika nantinya.
Fika terlihat menghela napas panjang karena gusar. "Giliran minuman kesukaan Lo ada, minuman kesukaan gua kok gak ada," ujar gadis itu. "kayaknya kafe ini perlu gua ajarin tentang cara berbisnis deh. Dia gak tahu apa kalau menu jus strawberry itu pantang gak disediain di daftar menunya. Ntar gua sumpahin bangkrut aja nih kafe," ujar Fika, tapi diakhir kalimat ia buat suaranya sekecil mungkin karena ia masih menyayangi nyawanya.
Sementara Fika menggerutu, Shania sendiri terlihat terkekeh kecil di tempatnya. Lucu saja melihat tingkah sahabatnya itu, benar-benar tidak ada takut-takutnya. Shania sempat berpikir, ternyata dirinya ini adalah seorang sahabat yang sangat sabar karena bisa bertahan menjalan hubungan persahabatan dengan Fika yang notabenenya memiliki sifat barbar itu, selama lebih dari separuh usianya.
Saat tawanya sudah mereda. "Jadi, gimana? Lo udah dapet kabar tentang bokap gua?" tanya Shania. Ia tidak ingin membuang-buang waktu lagi karena sebentar lagi jam pulang sekolah Andi akan tiba, makanya ia berbicara kepada Fika langsung pada alasan dari pertemuan mereka sekarang ini.
"Bokap Lo gak kenapa-kenapa kok. Gua liat dia sehat-sehat aja," ujar Fika, menjawab pertanyaan Shania.
Sebenarnya sewaktu mereka berdua pertama kali bertemu kemarin, Shania secara khusus meminta tolong kepada Fika agar mengunjungi rumahnya untuk memeriksa bagaimana keadaan Bimo yang katanya sedang sakit. Jujur saja, selama beberapa hari terakhir ini Shania masih merasa sangat menghawatirkan kesehatan ayahnya itu, tapi ia tidak melakukan apapun karena ia takut untuk kembali ke rumah. Ia belum siap melihat wajah ayahnya yang pastinya akan murka karena dirinya sudah melangkah sangat jauh.
Bukan hanya itu saja, ia juga takut perjodohan itu akan dilanjutkan jika ia kembali. Ini memang terdengar egois, tapi ketahuilah Shania itu bukan seseorang pemberani seperti tokoh utama di n****+-n****+ romance kebanyakan.
"Tapi, kata Kak Vanya—"
"Kak Vanya emang gak bohong sama Lo. Bokap Lo itu memang sempat sakit sebelumnya, tapi udah sembuh dari kemarin-kemarin hari. Malahan sekarang dia juga udah mulai kerja lagi," ucap Fika, membeberkan semua yang ia ketahui sewaktu ia mengunjungi rumah sahabatnya itu kemarin. Sudah lama bersahabatan dengan Shania, menjadikan dirinya sangat dekat dengan keluarga gadis itu, Shania pun sama ia juga dekat dengan keluarga Fika.
Ibarat kata hubungan mereka berdua itu bukan terbentuk oleh karena adanya aliran darah yang sama, melainkan terbentuk karena adanya rasa ikatan yang selalu ingin menyatu.
"Benarkah?" tanyanya Shania.
"Iya," sahut Fika dengan anggukan kepala.
Shania terlihat terdiam. Meskipun ia merasa lega ketika mendengar informasi tentang kesembuhan ayahnya, tapi ada sedikit keganjalan di hatinya. Ia merasa sangat bersalah karena tahu yang telah membuat ayahnya menjadi jatuh sakit adalah dirinya sendiri. Karena sifat pembangkangannya ini ia telah menyusahkan banyak orang. Ayahnya itu selalu memanjakan dan menuruti apa yang ia minta, tapi saat ayahnya memintanya untuk menerima perjodohan itu ia langsung menolaknya dengan tegas. Shania sekarang jadi merasa bimbang, apakah ia harus kembali ke jalan yang ayahnya inginkan ataukah tetap berdiri teguh pada sikap egonya ini.
"Shania." Sentuhan pelan yang diberikan Fika pada punggung telapak tangannya itu berhasil menarik Shania dari lamunannya. Gadis itu seketika mendongkak menatap Fika dengan tanda tanya.
"Lo gak papa?" lanjut Fika, bertanya.
"Ehh ... Enggak," jawab Shania dengan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Fika tahu betul kalau sahabatnya itu sebenarnya sedang tidak baik-baik saja. Ia sangat kenal dengan Shania yang sering kali menutupi kesedihannya dari orang lain hanya karena tidak ingin dikasihani.
"Shania, kalau Lo memang khawatir sama bokap Lo. Sebaiknya Lo temuin dia karena biar bagaimanapun dia itu orang tua Lo, dia pasti sangat senang dan gak akan mungkin ngulangin kesalahan sama yang buat Lo pergi lagi dari rumah. Gak hanya itu aja, kekhawatiran di hati Lo pasti hilang setelah melihat langsung kondisi bokap Lo itu," ucap Fika.
"Entahlah, Fik. Gua gak tahu harus berbuat apa sekarang. Gua bener-bener ngerasa hidup di antara tali yang menggantung. Di mana semua langkah yang gua ambil pasti punya resikonya sendiri. Gua gak tahu langkah mana yang seharusnya gua ambil. Tetap berdiri di sini dengan perasaan khawatir atau kembali ke rumah dengan perasaan takut," ucap Shania yang akhirnya mau menjujurkan perasaannya kepada Fika.
"Apapun keputusannya, itu ada di tangan Lo dan Lo sendiri yang memutuskannya. Tugas gua di sini adalah menjadi pendukung keputusan Lo dan tetap berada di sisi Lo tanpa dipengaruhi oleh keputusan yang Lo ambil itu," ucap Fika. "Jadi, Lo harus percaya sama diri Lo sendiri. Terlalu fokus terhadap kebimbangan di hati Lo itu hanya akan buat Lo stuck di tempat itu itu aja tanpa melakukan sedikitpun perubahan. Gua aja percaya sama Lo, masa Lo nya gak sih," lanjut gadis itu.
Fika berusaha menghibur sahabatnya itu. Jujur saja, melihat kesedihan Shania ia jadi ikutan merasa sedih juga. Mungkin inilah yang dinamakan telepati antar sahabat, yang artinya hubungan mereka ini benar-benar sudah sangat dekat. Sedari dulu mereka berdua memang saling menjaga satu sama lain, dan tanpa disadari hal itulah yang telah menjadi pupuk penumbuh hubungan mereka berdua sehingga semakin erat dan awet bahkan sulit untuk memutuskannya.
Shania sekarang termenung lagi, merenungkan apa yang Fika telah katakan padanya barusan.