Masa, Lalu

2540 Words
(Pov Rara) Setelah hampir mengelingi sekolah, akhirnya aku menemukan keberadaan Irsyad. Aku berjalan pelan ke arah Irsyad, takut mengangguk tidurnya kali ini. Cowok bermata tajam itu, rupanya sedang tidur di kursi taman dengan posisi wajah yang langsung menantang sinar terik matahari. “Apa gak panas ya?” bingungku, yang refleks menengadah ke atas. “Ih panas.” “Kasihan Ilsyad. Pasti dia kepanasan.” Aku meraih dua lembar tisu yang sejak tadi aku bawa mengelilingi sekolah, kemudian aku membentangkan tisu itu di atas kepala Irsyad lalu memenangi dua sudut tisu agar bisa berfungsi sebagai payung dadakan. “Ngapain lo?” Aku tersentak saat tiba-tiba Irsyad membuka matanya. “Kamu gak tidur ?” tanyaku sedikit takut. “Aku pikil kamu tidul.” Irsyad tidak langsung menjawab pertanyaanku. Matanya malah memicing menatap sinis tisu yang aku ubah menjadi tabir penghalang wajahnya dari sinar matahari. “Lo masih belum puas ganggu gue?” “Eh?” Aku cemberut. Memangnya sejak tadi aku mengganggu dia? Padahal aku sama sekali tidak bersuara sejak tadi. Tapi aku memilih diam dan tidak protes, terserah Irsyad mau menganggap aku apa, yang penting tujuanku datang, terpenuhi. “Ini loti isi selai kacang buat kamu.” Irsyad kembali menampilkan wajah seramnya itu. Aku spontan mundur dua langkah. “Emang gue keliatan kayak gizi buruk ya di mata lo?” ketusnya. Aku spontan menggeleng kuat. “G-gak gitu.” “Terus kenapa lo dari tadi pengen banget gue makan ? Hari ini gue lagi gak makan. Gue puasa bayar hutang. Bulan Ramadan kemarin gue sakit, makanya sekarang gue puasa,” jelas Irsyad panjang lebar. “Oh gitu ...” “Jadi thank buat rotinya. Lo makan aja sendiri. Gue tahu lo juga belum makan, kan.” “Eh, kok kamu tahu—“ “Apa sekarang lo bisa tinggalin gue di sini ? Gue mau tidur bentar lagi, sebelum jam istirahat selesai.” “Hem ...” Aku bergumam pelan. Ada yang ingin aku katakan, tapi aku takut. Aku ragu untuk terus melangkah pergi, setelah kupikir ulang, aku buru-buru berbalik. “Aku minta maaf untuk semuanya. Dan soal uang jajan, aku akan usahain, insyallah bawa bekal makanan buat kamu, sebagai pelmintaan maaf dan penyesalan aku,” kataku cepat. Irsyad mengibas tangannya ke atas. “Terserah lo,” ujarnya dengan nada tajam. “Aku anggap oke,” sahutku. Baru hendak pergi dari sana, ada segerombolan siswi yang lewat, menyapaku. “Kak Eer ....” sapa mereka tersenyum dengan sangat lebar. Aku balik tersenyum, tapi keningku mengernyit sesaat, bingung. Sejak kapan namaku berubah? Apa mumy sudah melakukan potong kambing untuk merubah namaku? Atau jangan-jangan bang Gino yang udah potong kambing? Tapi itu mustahil, bang Gino mana ada uang untuk beli kambing, uang bang Gino hanya ada jika edisi berbi terbaru keluar. Lagian itu tidak penting, yang terpenting semua terlihat senang. “Hay juga. Mau balik ke kelas ya?” “Iya nih, kak EEEEERRR ....” Mereka kembali tertawa. “Senang ya bisa liat olang ketawa sebahagia itu,” kataku tanpa sadar mengajak bicara Irsyad yang sekarang sudah mengubah posisinya menjadi duduk. Aku tersadar begitu menoleh kembali dan mendapati ekspresi kesal Irsyad. “Lo benaran senang apa pura-pura senang?” katanya tiba-tiba. “Lo gak marah?” “Ha?” bingungku. “Memangnya aku halus malah kenapa ? “Karena ....” Irsyad menghentikan kalimatnya. Ia menghela napas dalam lalu bangkit dari kursinya. “Biar lo gak nyesel kayak gue.” (POV Penulis) Sehari di sekolah terasa begitu panjang bagi Irsyad. Bukan lantaran hari ini dia berpuasa di tengah cuaca panasnya yang sangat menyengat. Irsyad merasa lelah lantaran seluruh ingatannya terus di sita akan setiap peristiwa di masa lalu. Irsyad yang begitu ambisi, yang selalu ingin menjadi si nomor satu dalam segala bidang, sibuk sana-sini hingga mendapat banyak perhatian semua orang. Irsyad sang bintang. Dia terlalu bersinar, matanya hanya tertuju pada ambisi dan kemenangan, hingga tidak sadar kalo di sekelilingnya meredup. Saat Irsyad sadar, semua sudah tak lagi sama. Semua sudah berbeda. Bintang itu telah kehilangan cahayanya. Irsyad sang bintang utama tidak mampu membagi barang secuil pun cahaya besar yang ia miliki. “Semuanya gak berguna!” Irsyad meringgis, membiarkan rasa tidak berdaya ini memeluknya erat, menyadarkan dirinya kalo selama ini dia terlalu hidup dengan sombong, merasa semua kemenangan berasal dari usahanya. “Ya Allah ....” Irsyad menengadah ke atas. Ada banyak yang ingin Irsyad katakan, tapi lidahnya terlalu keluh, bingung harus mengatakan apa atas semua kesedihannya ini. “Mama, Aaris kenapa?” Irsyad langsung berhambur masuk ke dalam rumah, bertepatan dengan ranjang dorong yang membawa Aaris di dorong keluar. Dengan air mata berurai Rita mengelus kepala Irsyad, agar membiarkan Aaris untuk keluar dan di masukkan ke dalam mobil ambulans. “Ris, lo kenapa? Kenapa lo diam aja?” Irsyad spontan menggoyang-goyangkan tubuh Aaris yang sama sekali tidak bergerak. “Ris, buka mata lo!” “Irsyad ....” Rita meraih bahu Irsyad, memeluk Irsyad yang mulai hilang kendali. “Biarkan Aaris pergi. Kamu harus ikhlas. Mungkin ini jalan terbaik untuk Aaris. Mama tahu ini berat untuk kamu, bahkan mama juga. Tapi yakinlah di sana, Aaris pasti akan lebih bahagia, dia tidak perlu lagi merasa takut dan gelisah.” “Dia tidak akan pernah merasa sebagai manusia aneh, lagi.” Irsyad menggeleng kuat. Melepas pelukan Rita dari bahunya. Dia tidak ingin menjadi lemah, dia harus kuat untuk bisa berdiri di sebelah Aaris. “Aaris memang bukan orang aneh, Ma! Dulu, sekarang dan nanti, Aaris tetap bukan orang aneh,” seru Irsyad lantang. “Aaris, ayo buruan bangun. Lo belum berjuang. Kita belum berjuang. Lo gak boleh tidur nyenyak di sini. Lo harus bangun!” “Aaris! Lo harus bangun sekarang! Lo tahukan gue gak suka kalo lo terus-terusan kayak gini! Selama ini gue selalu ikutin apa yang lo katakan, gue gak pernah maksa lo buat ngomong sama gue. Tapi sekarang, lo harus dengerin gue! Lo harus bangun!” “Irsyad !” Rapi menghentak bahu Irsyad yang sudah tidak kendali. “Kamu harus sadar. Kamu harus terima ini. Kita semua sudah gagal. Perjuangan ini harus berhenti di sini. Aaris telah tiada.” “Papa bohong! Ini semua gak mungkin. Gak ... ini semua gak mungkin. Aaris lo harus bangun. Aaris lo harus bangun !” “ Maafin gue, maafin gue ....” “Ra, kenapa?” tanya Leni dari bangkunya, menatap bingung Rara yang malah mematung di depan meja Irsyad. “Buruan bangunin Irsyad. kelas mau di kunci.” “Tapi, Len, si Ilsyad kenapa ya? Kok dia minta maaf gitu?” “Gak tahu. Paling ngigau. Buruan bangunin. Lagian tuh anak kayak gak punya rumah aja. Di kelas malah tidur muluk,” gerutu Leni. “Apa dia sakit ya?” “Sakit? Perasaan tuh anak baik-baik aja tadi.” Rara langsung menarik tangan Leni ke bangku Irsyad. “Tuh, liat ... banyak banget peluhnya. Tadi dia ngigau juga, kata mumy itu cili-cili aku kalo lagi demam.” “Kepanasan kali. Udah biar gue bangunin ...” “Eh, tunggu dulu. Masa kepanasan sih, kan kelas kita pake AC ? Gak pelnah ada yang kepanasan di kelas ini.” “Ya mungkin AC-nya rusak.” “Len, kamu ada nomor ponsel mama Irsyad, kan? Telepon olang tuanya aja. Takutnya emang benelan dia sakit.” “Buluan Len ....” “Ck! Nyusahin aja jadi sepupu,” gumam Leni ketus. Ya begitulah Leni. Cewek bermata sipit itu memang terkenal dengan jutek dan raut marahnya. Tidak heran, meskipun pintar dan bisa tergolong berparas cantik, Leni sama sekali tidak memiliki teman di sekolah, kecuali Rara. Hanya Rara yang masa bodoh dan tidak pernah marah dengan semua kalimat ketus yang spontan Leni ucapkan. Berteman dengan Rara, membuat Leni bisa menjadi dirinya apa adanya. “Eh, Len, Ilsyad bangun,” teriak Rara yang spontan menghentikan pergerakan tangan Leni yang hendak menekan tombol panggil. “Eh, kamu gak sakit?” tanya Rara pada Irsyad yang masih belum tersadar sepenuhnya. “Akhirnya lo sadar juga,” sapa Leni. Namun Irsyad tidak membalas, ia langsung bangkit dari bangkunya dan berjalan cepat keluar kelas. Rara yang melihat itu spontan mengaruk tengkuk kepalanya yang tertutup hijab. “Emang di depan ada pembagian sembako glatis ya, Len? Kok Ilsyad bulu-bulu banget? Takut kehabisan kali ya ... aku mau bulu-bulu juga deh. Siapa tahu bisa dapat sembako. Lumayan. Glatis.” “Terserah lo, Ra,” sahut Leni, frustasi. “Ilsyad, kalo kamu dapat, ambilin aku juga ya,” pekik Rara. “Cocok nih manusia berdua. Sama-sama nyebelin,” gumam Leni sembari menatap pintu kelas yang baru saja di lewati Irsyad. Irsyad tahu itu hanya mimpi. Namun entah kenapa saat bangun, Irsyad merasa cemas. Irsyad merasa ada sesuatu yang sudah terjadi pada Aaris. Dan benar saja, begitu sampai di rumahnya, hal pertama yang Irsyad lihat adalah mobil berwarna putih bertulis ambulans terparkir di halaman rumahnya. Sama persis seperti mimpinya tadi, hanya berbeda pada bagian, Aaris tidak masuk ke dalam ambulans menggunakan ranjang dorong, melainkan berjalan keluar dari ambulans dengan tongkat di kedua tangannya dan kaki yang di giff. Irsyad masuk mengucap salam yang langsung di balas Rita. “Irsyad, kamu baru pulang ?” sapa Rita, sedikit berbeda dari biasanya. Suara Rita terdengar agak serak dan hidungnya juga merah. “Ma, semua baik-baik aja?” tanya Irsyad seraya menyalimi tangan Rita. Rita tersenyum kecut. “Cukup baik. Hanya tadi ada sedikit masalah saja. Kamu pulang sekolah pasti capek, buruan ganti baju, biar mama buati roti bakar. Maaf ya sayang mama hari ini gak sempat masak.” “Gak perlu, Ma. Mama lupa? Irsyad puasa.” “Oh iya, mama lupa. Kalo gitu, biar mma masak sekarang buat kamu buka.” “Gak usah, Ma. Mama kelihatan gak sehat. Mama istirahat aja. Biar masalah buka, nanti Irsyad pesan online aja.” Rita tersenyum haru, mendapati putranya yang sangat perhatian dengannya. Sepeninggalan Rita, tanpa ba-bu, Irsyad masuk ke kamar Aaris melalui balkon. “Trauma lo kambuh lagi?” tanya Irsyad. Matanya menatap tajam pada giff putih yang melekat di kaki kanan Aaris. “Terus ...” tanya Irsyad lagi. Bayangan akan mimpinya tadi seketika memenuhi benak Irsyad. “Lo jatuh dan kaki lo terkilir lagi ?” Irsyad sengaja menekan kata lagi. “Kaki lo baru sembuh kemarin dan sekarang sakit lagi ....” Irsyad tersenyum kecut. “Kasihan kaki lo.” “Lo gak capek kayak gini terus ?” sambung Irsyad. “Mau sampai kapan lo gini? Terus kalah dengan rasa takut lo? Gue tahu, gue gak sepenuhnya paham apa yang lo rasakan, tapi jujur, gue ngerasa lo sama sekali gak mau berjuang!” “Lo betah dengan keadaan lo ini? Lo gak mikirin kita, keluarga lo? Lo pernah gak mikirin gimana perasaan mama, papa atau gue liat lo kayak gini? Lo pikir hidup lo hanya sebatas buat lo? Lo gak bisa gini, Ris!” “Lo pikir cuma lo yang sedih di sini? Lo pikir—“Irsyad mendadak kehilangan kata-kata, matanya menyapu seluruh kamar Aaris yang di d******i warna hitam dan berhenti pada layar televisi yang tidak dinyalakan, lalu pada semua perabot yang ada di dalam kamar Aaris. “Apa sekarang ini dunia lo? Kamar ini yang buat lo betah dan gak mau berjuang lagi?” tanya Irsyad tajam, kali ini sangat berharap Aaris menjawab meski hanya sepatah saja. Tapi tidak! Aaris masih terus berada di titik nyamannya. Perasaan Irsyad tidak karuan sekarang, penyesalan, cemas dan marah memenuhi benaknya. “Lo setuju atau gak, televisi dan semua perabotan sial ini bakal gue ambil besok !” Irsyad bangkit hendak pergi melalui balkon, tapi sebelum itu Irsyad menoleh pada Aaris yang masih tetap pada posisinya yang hanya diam duduk di kursi belajarnya. “Maaf.” Irsyad menghentikan pergerakan kakinya. “Gue harap setelah itu lo akan bosen di sini dan mau kembali ke dunia luar.” “Lalu apa?” Aaris mengangkat kepalanya, menatap Irsyad yang kembali berbalik menatapnya. “Apa dengan begitu gue gak akan di sebut orang yang aneh?” . . (Pov Aaris) Flashback : “Eeer ... er ... er ....” Aku tersenyum sumringah saat pelafazan huruf paling susah itu mampu sedikit-demi sedikit membaik. Suara R-ku mulai terdengar jelas. “Ris, lo ngapain sih?” Kemunculan Irsyad yang tiba-tiba di ambang pintuku, membuatku cepat-cepat langsung menyembunyikan alat perekam yang aku beli di toko antik bulan kemarin, di dalam laci belajarku. “Gak ... gue gak ngapa-ngapain kok. Lo mau belangkat sekalang ?” tanyaku cepat menutupi rasa kagetku. “Iya nih buruan, lo lupa ya, kalo hari ini gue hari jadi pemimpin upacara.” “Ah iya ...” Aku spontan menepuk pelan jidatku, lantaran lupa akan hal itu. “Gue berangkat duluan ya, gue takut telat. Semua orang pasti udah nungguin gue, buat siap-siap sebelum upacara.” “Ah, iya, hem, lo duluan aja.” Aku spontan menunduk. Bagaimana aku bisa lupa akan fakta penting ini, Irsyad merupakan bintang. Sedangkan dia ... dia hanya bayangan dari sinar yang Irsyad pantulkan. Semua orang menanti kehadiran Irsyad, sedangkan aku .... siapa yang peduli aku ada atau tiada? Bahkan meski aku hilang seharian dari kelas, tidak akan ada yang sadar hal itu. “Sip kalo gitu. Gue duluan. Bye!” Setelah kalimat itu, Irsyad sudah tidak lagi terlihat. Dia benar-benar sudah pergi. “It’s okay Aalis ... “ Aku tersenyum menatap diriku di cermin, lalu dengan semangat hari senin yang cerah, aku menghampiri mama yang sedang sibuk menyiapkan Sandrina yang rewel minta disuapkan cokelat tanpa roti. “Sandlina sayang ....” Aku terkekeh geli melihat cokelat belepotan di sekitar mulutnya. “Kakak ....” Sandrina membentakan tangannya ke arahku, seperti biasa memintaku untuk mengendongnya, tapi mama menahan Sandrina lantaran tangannya penuh dengan cokelat. Gadis kecil itu mulai merengek karena permintaannya tidak di penuhi. “Sandlina sayang, kakak mau sekolah. Nanti kita mainnya pas udah pulang sekolah okey,” bujukku. Sandrina awalnya tidak mau kompromi dan masih kekeh pada permintaannya, tapi setelah dibujuk terus-menerus Sandrina akhirnya bisa mengerti. Setelah drama itu, aku langsung berangkat sekolah. Di sekolah, anak kelas yang bertugas menjadi petugas upacara sudah sibuk menyiapkan diri mereka. Mereka juga sudah lengkap dengan atribut yang digunakan seperti selendang tugas, topi hitam khusus petugas dan juga sarung tangan putih. Di tengah lapangan aku melihat Irsyad yang makin bersinar dengan seragam yang hampir di inginkan semua murid, mereka rela ikut seleksi untuk mendapatkan posisi itu. Tapi, itu sia-sia, mereka tidak akan bisa mengalahkan Irsyad. Irsyad, si nomor satu dalam semua bidang. “Gue masih gak nyangka kalo lo sama Irsyad bersaudara ... “ ejek seseorang dari belakangku. Tanpa menoleh pun aku tahu siapa pemilik suara itu. Siapa lagi kalo bukan rombongan anak yang sering mengejekku. Gang Merah. “Yap! Nih ya, ibarat kaya bumi dan pluto. Irsyad yang wow dan lo yang ... ck, aneh.” “Lo pasti lagi bayangin seandainya lo jadi Irsyad. Jadi pemimpin upacara yang berdiri di depan semua orang.” “Tapi mana mungkin Aalis kita ini bisa jadi pemimpin upacara. Bisa-bisa bukannya ngomong siap gerak, dia malah bilang siap gelak.” “Ya, gak Aalis? Eh mulai besok gue manggil lo Alis kanan-kiri aja ya. Soalnya lebih cocok buat Aalis.” “Nama gue Aa-eer-is . Bukan alis!” sahutku cepat. “Apa, nama lo Aaerris?” Mereka semua tertawa. “Ngomong yang bener dong, nyebut nama sendiri aja gak benar. Dasar aneh ...” **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD