Dilema

2190 Words
(Pov Rara) “Mumy ....” Begitu sampai ke rumah, aku langsung menghambur ke pelukaan mumy yang sedang duduk santai di sofa. Mumy sedikit kaget dengan tingkahku itu, tapi mumy tidak menghindar dan membiarkan aku semakin erat memeluk mumy begitu air mataku tidak bisa lagi ditampung, baju yang mumy kenakan kini jadi basah. “Sayang, ada apa?” tanya mumy setelah tangisku merendah. Mumy mengelus pucak kepalaku yang masih tertutup kerudung. “Mumy ....” Aku masih kesulitan mengeluarkan kalimat akibat sisa-sia tangis tadi. “Kamu berantem sama bang Gino lagi?” Aku menggeleng. “Terus apa sayang ?” tanya mumy lembut. “Kamu mau cerita ke mumy sekarang? Atau mau nanti aja setelah kamu tenang? ” “Mumy, Lala mau celita sekalang aja.” Mumy mengangguk. Aku menarik napas dalam-dalam. “Mumy, Lala mau ambil uang saku Lala bulan besok sekalang, boleh ?” “Eh?” tatapan mata mumy yang semula lembut mendadak penuh tanda tanya. “Emangnya buat apa?” tanya mumy setelah puas memperhatikan raut wajahku yang sama sekali tidak berubah, penuh beban, memikirkan bagaimana membayar hutang pada Irsyad. “Buat bayar hutang ....” “Hutang ? Sejak kapan anak mumy sudah kenal yang namanya hutang? Memangnya uang saku yang mumy berikan tidak cukup?” “Jadi gini mumy ....” Aku mulai mencerita semua kejadian yang terjadi di mall, mulai dari ke kedai es cream, bertemu Irsyad, masuk restoran yang ternyata sangat mahal, dompetku yang hilang karena aku menitipkannya pada seorang cewek yang baru aku kenal di restoran saat ke toilet. “Jadi semua berawal Rara yang nitipin dompet di cewek yang gak Rara kenal?” Mumy mengerjap. Aku mengangguk pelan, membenarkan kebingungan mumy. Kemudian mulai kembali bercerita. Saat makan sendirian di restoran, aku sangat kebingungan karena pihak restoran tidak memberikan sendok dan hanya memberikan sumpit. Aku berusaha makan menggunakan sumpit, tapi yang terjadi justru aku hampir membuat ke kacauan di meja itu. Tiba-tiba cewek berambut sebahu yang usianya dua tahun di atasku menghampiri mejaku. Dia dengan berani meminta pada pelayan untuk memberikan sendok padaku. Dari situ cewek itu mendekatiku, dia meminta izin untuk duduk semeja denganku. Cewek itu bilang dia tidak nyaman jika harus makan sendirian di meja, di tengah semua pengunjung yang datang membawa keluarga atau pasangan. Tanpa pikir panjang, aku langsung mengizinkan karena aku pikir, cewek yang aku panggil kakak itu, orang yang baik dari caranya berbicara dan senyumnya yang terlihat tulus. Kami pun ngobrol di sela makan. Namun tiba-tiba aku kebelet pipis karena takut dompetku jatuh, aku menitipkan dompet pada gadis itu. Tapi naas, saat aku kembali ia sudah tidak ada. Membawa dompet dan meninggalkan bon makanannya yang super banyak kepadaku. “Lala udah bilang sama pihak lestolan, kalo Lala gak kenal cewek itu, Mumy. Lala juga celitain kalo dompet Lala di ambil cewek itu, tapi ... mereka gak percaya,” ujarku yang seketika kembali teringat peristiwa tadi. “Lala nyesel, Mumy. Lala pikil olang itu baik ....” Mumy menghela napas panjang. Raut wajah mumy tidak lagi dipenuhi tanda tanya. Mumy menatapku seksama. “Mumy sudah sering bilang sama Rara ... Kalo semua orang gak sebaik Rara. Gak semua orang bisa kita ukur dengan bagaimana kita melihat dunia. Gak semua orang bakal tetap duduk menyimpan dompet yang isinya uang sampai orangnya kembali. Gak semua orang sebaik itu Rara ....” “Mumy tahu, Rara gak mau soudzon sama orang, mumy salut sama Rara yang selalu berprasangka baik ke orang, tapi ingat sayang, meski berbaik sangka kita harus tetap waspada dan hati-hati.” “Kamu tahu, kan apa yang mumy maksud? Coba jawab mumy apa alasan kamu kalo ke mall gak pernah bawa ponsel ? Sampai sekarang kamu masih takut, kan ? Apa setelah hari ini, kamu juga bakal takut bawa dompet ke mall ?” “Mumy pikir kejadian ponsel itu, bakal jadi pelajaran buat kamu, supaya gak semudah itu percaya sama orang yang baru dikenal. Tapi rupanya kamu masih belum bisa memetik pelajaran dari musibah kemarin. Jadi untuk kali ini mumy gak akan bantu kamu.” Kalimat terakhir mumy, seketika membuat mataku membulat sempurna. “Tapi mumy ... dali mana Lala punya uang segitu?” “Kamu kan punya tabungan, pake tabungan kamu. Itu fungsinya tabungan, digunakan saat keperluan mendesak.” “Gak bisa mumy ....” Aku refleks memilan baku jariku, teringat utangku mengganti berbi milik bang Gino. “Uang tabungan Lala udah habis. Uang saku Lala juga habis. Satu-satunya halapan Lala cuma uang saku bulan besok.” “Namanya aja uang saku bulan besok, yang dikasih bulan besok dong ...,” sahut mumy. “Iya Lala tahu mumy.” Aku kembali beringsut mencari perhatian mumy. “Tapi Lala butuhnya sekalang, kalo Lala gak punya uang, gimana Lala bayal untak sama Ilsyad ?” “Bulan besok.” “Tapi Ilsyad bilangnya besok mumy. Kalo.Lala gak bayal, ental Ilsyad malah, telus ngaduin Lala ke ayahnya. Telus Lala terancam dikeluali dari sekolah, gimana mumy? “Ya udah ....” Mumy mengangkat dua bahunya ke atas. “Bukannya itu yang Rara mau kemarin?” “Eh, iya, ya mumy ....” Aku mengerjap. Kalimat mumy terdengar benar tapi terdengar juga seperti ada yang salah. “Masa Lala keluar dali sekolah kalena gak mau bayal utang, My? Kan gak boleh lari dali hutang, My. Lala gak mau di akhilat di kejai-kejai Ilsyad.” Aku bergidik saat membayangkan hal itu. Cepat-cepat aku menepis khayalan menakutkan itu. “Lala gak mau ! Lala mau tetap sekolah.” “Oke, gini aja. Berhubung mumy senang banget liat kamu sesemangat ini buat sekolah, mumy bakal kasih uang saku bulan besok ke kamu sekarang ...” Kaimat mumy barusan seketika menjadi angin segar di dalam kepalaku yag rasanya seperti sudah berembun. “Tapi dengan satu syarat ....” Mumy menataku lagi. “Apa syalatnya, Mumy ?” tanyaku tidak sabaran. Mumy lalu mendekat dan mulai membisikanku sebuah kalimat. . . (Pov Penulis) “Eh, tumben lo ada niat mau belajar ....” Leni menatap Rara dengan seksama. Leni takut gadis yang ada di hadapannya ini bukan Rara yang dia kenal. Rara yang dia kenal, biasanya memiliki seribu macam alasan untuk lepas dari yang namanya belajar. Mulai dari kapasitas otak belum memadai, mata minus, hidung tersumbat, bibir pecah-pecah, panas dalam, panas luar dan masih banyak yang lain. “Aku yakin !” sahut Rara terdengar bak pahlawan yang siap tempur. “Kamu mau kan ajarin aku, plis, ini demi hidup dan mati !” Leni memutar bola matanya. Dia sekarang yakin gadis di depannya ini adalah Rara yang dia kenal. Rara yang sangat suka memperbesar masalah, merumitkan masalah yang mudah dan menjadikan semuanya terlihat heboh sendiri. “Yah, sayang banget, tapi gue gak bisa ngajarin lo ...” sahut Leni sembari menutup bukunya. “Lo kan tahu gue akhir-akhir ini super ... super sibuk. Pertama, gue mesti nyiapin buat olimpiade. Kedua, gue juga harus selalu selangkah lebih di depan Irsyad, jadi gue harus belajar doubel.” “Yah, telus gimana dong nasib aku ?” “Kan zaman udah canggih, Ra. Ya, lo belajar aja di Youtube, t****k, atau dimana kek. Atau lo mau pinjam buku saku gue?” Rara memberengut. “Diajarin guru langsung aja aku gak ngelti, apa lagi sendili. Belajalnya dua menit, tepalnya dua tahun.” See ... Rara memang ratunya hiperbola. “Ngomong-ngomong soal Irsyad, kenapa lo gak minta ajarin dia aja. Kan, semua ini juga berhubungan sama dia.” “Ha ? Minta ajalin Ilsyad ?” “Iya ... dia jagonya kalo soal matematika. Pas SD, Irsyad sering banget menang lomba cerdas cermat, Pas SMP dia berapa kali menang olimpiade matematika, terus dia juga pernah menang lomba pidato, lomba debat bahas Inggris, lomba sains, lomba ngaji pun dia pernah menang. Jadi lo bisa minta ajarin dia pelajaran apa aja.” “Len, emang Ilsyad punya buku bioglafi ya?” tanya Rara, terheran-heran dengan semua pengetahuan Leni akan Irsyad. Biasanya Leni mendapatkan banyak pengetahuan dari buku, kan? “Buku biogrofi, kayak belum deh dia menang lomba nulis biografi. Tapi yang gue tahu dia pernah bilang lagi mulai observasi buat belajar nulis biografi tokoh-tokoh hebat.” “Pelnah bilang ?” Kepala Rara sampai miring ke kanan, menanggapi kata Leni barusan. “Iya. Dia pernah bilang gitu,” sahut Leni enteng, sama sekali tidak sadar akan kebingungan di wajah Rara. Rara spontan mengaruk kepalannya yang tertutup kerudung putih. “Len, kamu tahu gak doktel THT yang mulah dan bagus di mana?” “Buat apa? Lo sakit?” “Iya kayaknya ....” “Kayaknya?” “Iya, soalnya dali tadi aku dengel apa yang kamu omongi tentang Ilsyad, tapi aku gak paham. Apa gala-gala hidung aku sakit ya?” Rara spontan mengelus-ngelus hidungnya. Alis Leni bertaut, sebenarnya dia sudah terbiasa dengan tingkah nyeleneh Rara, tapi tetap saja saat gadis itu melakukan hal random, Leni tidak bisa menghentikan pergerakan alisnya yang juga kaget dengan tingkah ajaib Rara. Sejak kapan suara berhubungan dengan hidung ? “Oon lo kayaknya kumat lagi deh ....” “Eh, emang iya?” “Iya!” sahut Leni geram sendiri. “Lo gak ngerti bagian apa sih? Perasaan dari tadi gue ngomomg gak ada tuh kata yang susah buat lo pahami. Semua kata yang gue pake, semuanya sudah terjamin mudah di pahami.” Leni menghela napas lelah. Waktu istirahatnya bisa terbuang sia-sia jika percakapan ini tidak segera di akhiri. “Intinya, Irsyad pintar. Kalo lo mau belajar, minta ajarin dia aja.” Rara mengangguk-gangguk pelan, meski benaknya masih terus bertanya-tanya, dari mana Leni tahu semua informasi tentang Irsyad. Apa jangan-jangan Leni punya sindikat ke pasar gelap buat beli buku biografi Irsyad ? “Sekarang paham?” tanya Leni. Rara sebagai teman yang baik, jelas ingin membahagiakan hati sahabatnya. Ia pun mengangguk meski masih bingung. “Oh gitu. Eh, pelasaan kemalen kamu kesel banget sama Ilsyad, tapi kenapa kamu malah beli buku biografi tentang Ilsyad?” “Ha? Siapa sih yang beli buku biografi Irsyad. Kurang kerjaan banget!” “Telus kamu tahu dali mana semua prestasi Ilsyad. Gak mungkin kamu balu kenal Ilsyad sepekan, tapi udah tahu banyak, kan? Kecuali kamu baca buku, yang melupakan jendela ilmu, kayak kata kamu, makanya kamu bisa tahu semua tentang Ilsyad,” sahut Rara panjang lebar. Meski terkadang Rara suka berpikir random, gak jelas, agak lemot, pelupa, tapi Rara sangat jago dalam memperhatikan hal-hal kecil semacam ini. Ingatannya bisa mendadak setajam silet jika sudah menyusun semua hal-hal random yang ada. “Ngapain gue baca buku buat tahu Irsyad,” dengus Leni, tidak habis pikir dengan kinerja otak Rara. “Telus gimana dong kamu bisa tahu soal Ilsyad? Kamu gak mungkin istrinya, kan? Apalagi saudaranya.” Rara spontan tertawa, merasa geli sendiri dengan pikirannya sendiri. Mana mungkin Leni istrinya Irsyad, mereka saja belum berusia 17 tahun, belum boleh nikah. Ditambah lagi Leni merupakan gadis yang pintar, setelah tamat sekolah dia jelas akan melanjutkan studinya. “Emang kelihatan banget ya?” tanya Leni tiba-tiba, wajah gadis itu mendadak gusar. Rara seketika berhenti tertawa. “Gue sebenernya gak mau ada yang tahu, tapi kalo udah ketahuan ya mau gimana lagi,” tambah Leni. Rahang Rara seketika terasa kaku. Tiba-tiba Rara langsung menangkup wajah Leni, mata Leni yang sipit mendadak melebar karena kaget. “Leni, maafin aku ...” ucap Rara. “Sebagai sahabat aku gak bisa bantu kamu. Aku bahkan gak tahu apa yang sudah teljadi sama kamu.” Leni menepis kedua tangan Rara dari wajahnya. “Lo apa-apaan sih, tangan lo tuh habis makan gorengan, seenak jidat aja pegang wajah orang ! Muka gue nih sensitif, dikit aja salah pake krim, bisa jerawatan. Lo gak tahu aja gimana perjuangan gue buat hilangin semua jerawat yang ada!” desis Leni tajam. Dan lagi-lagi Rara melakukan hal yang membuat Leni kaget. Rara nangis, sambil bilang ... “Maaf, aku gak tahu kalo selama ini hidup kamu belat banget. Aku gak tahu kalo kamu butuh peljuangan untuk telus sekolah. Pasti susah, kan jadi istli di usia semuda ini?” “Ya?” Sepertinya hanya bersama Rara mata Leni bisa terlihat sebulat ini. “Lo ngomongin apa sih, Ra? Istri apa? Siapa yang udah jadi istri?” “Kamu ....” sahut Rara enteng. “Ha? Sejak kapan gue ngomong udah jadi istri?” “Tadi pas aku tanya, gak mungkin kamu istli Ilsyad, telus kamu jawab ya ...” sahut Rara kembali mewek. “Pasti kamu dijodohin sama keluarga kamu, kan. Kamu gak mau tapi dipaksa kalena sudah tladisi kelualga. Aku tahu banget kisah-kisah gini di novel.” Leni menghela napas panjang. Belajar matematika lima jam tanpa istirahat sepertinya bukan hal yang buruk. “Bukan itu maksud gue! Gue bilang iya buat pertanyaan lo yang terakhir.” Leni meraih gelas es cokelatnya yang sudah tinggal seperempat. “Gue sama Irsyad emang saudara, dia sepupu gue.” “Sepupu?” Leni mengangguk santai. “ Waktu itu, dia juga minta nomor ponsel lo ke gue. Terus semalam Irsyad minta alamat rumah Lo, gak tahu buat apa. Mungkin buat jaga-jaga kalo lo kabur gak bayar hutang.” Rara terbengong-bengong, dalam pikirannya memuji Leni sebagai sahabat terbaik yang membuat jantungnya berkerja dua kali lipat. “Lo tenang aja, biar entar gue yang maksa Irsyad biar mau ngajarin lo.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD