Bencana Baru

2239 Words
“Ra, lo ngapain sih?” Leni menghela napas panjang, gadis berwajah oriental dengan mata sipit dan hidung mancung sedang, menggeleng-geleng pelan. Leni lupa kalo sahabatnya ini bukan jenis spesies biasa. Setiap hari ada saja kelakuan anehnya yang buat Leni menggeleng kepala atau mengelus d**a, tak habis pikir dengan gadis berkerudung putih yang kini sibuk mondar-mandir bagai setrika di depan kelas. “Aku lagi mantau kondisi, Len ....” sahut Rara dengan suara menggelegar. Leni kembali menghela napas berat, selain suka bertingkah aneh, Rara juga kadang lupa fakta kalo dunia ini bukan hanya diisi oleh dirinya sendiri. Kelakuan Rara ini sangat tidak sinkron dengan tipe wajahnya yang lembut, mata besar dengan bulu mata lentik, bibir berwarna merah muda dan hidung mancung pas. “Anak new itu katanya bakal datang hali ini ...” sambung Rara dengan nada cemas yang terlalu di dramatisasi. Mata besarnya mengerjap cepat dengan mulut komat-kamit. Leni memutar bola matanya, malas. Topik ini hampir seharian mengiang di telinganya. Rara terus-terusan mengusiknya dengan masalah ini. “Emang apa sih bahayanya tuh orang?” “Bahaya banget !” Rara nyaris teriak disertai dengan mata melotot dramatis saat mengatakan kalimat itu. Lagi-lagi hal itu membuat seisi kelas langsung melempar tatapan protes ke arah Leni karena sudah mengusik ketenangan mereka yang sedang khidmat membaca buku karena akan ada ulangan setelah istirahat. Semua orang bisa maklum jika berisik itu berasal dari Rara. Rara ... apa yang bisa diharapkan dari gadis yang teramat polos itu, atau nyaris sedikit bodoh, meski wajahnya sangat cantik, tapi tanpa ‘otak’ buat apa? Mereka bisa memaklumi Rara dan menganggap itu hal wajar untuk Rara, tapi Leni tidak bisa. Dia terusik dengan kegiatan Rara yang terus mondar-mandir di hadapannya. “Ra, lo mending duduk deh ....” perintah Leni. “Gak bisa sekalang, Len. Aku halus waspada.” “Huft ... tapi lo ganggu gue!” kesal Leni. Namun akhirnya Leni memilih memutar tubuhnya ke belakang agar tidak perlu repot mengurusi Rara dan bisa fokus dengan buku bacaannya. “Le, aku halus apa?” tanya Rara kembali mengusik ketenangan Leni. Leni tidak bergeming dari posisinya, berusaha sekuat tenaga untuk fokus meski Rara terus berceloteh panjang lebar. “Apa sebaiknya aku ke luang kepala sekolah ya? celitain semuanya bial anak balu itu gak masuk kelas ini?” Rara mulai berceloteh panjang. “Aku halus nyelametin anak kelas dali tuh olang.” “Tapi gimana ngomong awalnya, ya, Len?” Rara menyolek lengan Leni, yang dibalas dengusan kesal dari Leni, berharap Rara sadar kalo dia sangat kesal. Tapi bukan Rara jika paham maksud dari suara yang diadopsi dari dengusan sapi itu. Yang terjadi Rara malah tertawa girang seolah yang Leni lakukan adalah bentuk baik hati Leni yang berusaha menghibur Rara. “Lucu banget sih kamu ....” katanya tanpa rasa bersalah. Leni menghela napas panjang, percuma jika dia marah. Rara memang memiliki jenis otak lain dari manusia lain, itulah fakta yang Leni yakini. Ketimbang marah, Leni memilih untuk tetap menjaga kewarasannya dengan ikut tertawa bersama Rara. “Len, kenapa ya akhil-akhil ini aku banyak masalah ? Tepatnya setelah ketemu olang itu, dia kayaknya yang buat aku sial telus.” “Dosa lo mikir gitu. Selama di dunia ya emang ada aja cobaan hidup. Bukan tergantung atau karena orang,” sahut Leni akhirnya. Rara tersenyum malu. “Oh iya, lupa pelajaran agama kemalin. Ampunin hamba ya Allah ....” “Udah lo tenang aja. Tuh anak gak bakal berani ngapa-ngapain secara dia anak dari pemilik yayasan. Anak pemilik yayasan yang bebas ngelakuin apa aja itu cuma ada di novel.” Rara mangut-mangut. Sebenarnya dibenaknya, setengah setuju dengan perkataan Leni dan setengahnya lagi, Rara masih percaya kalo dia mesti melakukan sesuatu untuk menyelamatkan dirinya. “Len ....” panggil Rara. “Hem! Apa lagi ?” Leni memutar posisi duduknya kembali ke depan. “Kayanya aku mau duduk di belakang deh.” “Eh?” Itu ide yang bagus, pikir Leni. Dengan kepindahan Rara dia jadi bisa belanja dengan tenang tanpa terusik makhluk bernama Rara. Ide sebagus ini kenapa baru terpikir ....? “Sayang sekali ....” gumam Leni. “Buat hali ini aja. Aku halus menyelamatkan dili.” Rara langsung beranjak dari kursinya membawa serta merta perintilan tas dan buku di tangannya. Gadis itu jadi manusia paling heboh dan repot di kelas. Leni menghela napas panjang. Kali ini benar-benar no comment akan keabsurdan pikiran Rara. Memangnya dengan duduk di belakang tubuhnya bahkan transparan? Dasar aneh .... Meski sudah duduk di kursi paling belakang di sudut ujung kanan, tetap saja Rara masih gelisah. Memang benar hanya mengingat Allah hati menjadi tenang. Berbekalkan ilmu itu Rara menutup matanya, mulai melafazkan dzikir-dzikir yang mampu menenangkan hatinya, sayangnya Rara kebablasan, bukannya dzikir Rara malah ketiduran pules sambil sedikit mengeluarkan suara-suara estetik yang mengganggu indra pendengaran “Rara, bangun !” teriak bu Tania menggelegar. Satu kelas sudah merinding disko mendengar teriakan bu Tania yang biasanya terkenal lemah lembut dan jarang sekali marah. Bukan satu kali, bu Tania sering sekali naik pitam dengan kelakuan Rara yang selalu berhasil membuat kelas menjadi gaduh, seperti hari ini, semua orang menertawakan suara ngorok Rara yang sama sekali gak ada jaim-jaimnya. Pekan kemarin, Rara Membuat kelas gaduh saat sedang praktik di laboratorium dengan mengatakan kalimat. “Nah dali situ kita bisa langsung ke lawutan. “ Memancing tawa semua murid, alhasil praktik jadi kacau, para murid jadi tidak fokus degan apa yang bu Tania jelaskan. Tidak hanya itu, Rara juga pernah memanggil bu Tania menjadi bu Ta ... Ya, bu Tania tahu, apa yang Rara lakukan sama sekali tidak bermaksud membuat onar, tapi tetap saja, bu Tania kesal dengan semua tingkah polos Rara. “Rara !” bentak bu Tania sekali lagi, melampiaskan rasa kesalnya lantaran Rara malah makin nyenyak dan kembali memancing desak-desus tawa para murid. Di sebelah Rara, Leni sudah menyerah menggoyang-goyangkan bahu Rara, mulai dari pelan, sedang bahkan keras, tapi Rara masih tetap tidak bangun juga. “Nih anak tidur apa koma sih,” dengus Leni, yang tidak lagi berdaya menyelamatkan Rara dari kemarahan bu Tania. “Rara, ibu hitung sampai tiga, kalo kamu gak bangun juga selama satu semester kamu gak boleh masuk kelas ibu lagi ....” “Ck! Nih anak emang nyari masalah,” dumel Leni. Meski dia kesal dengan kelakuan Rara, Leni tetap tidak bisa mengabaikan sahabatnya itu. “Satu ...” “Ra, bangun !” bisik Leni gereget. “Nih, anak kalo gempa kayaknya masih tetap tidur deh. Tahu-tahu dah jadi mayat aja.” Bu Tania terus menghitung. Leni segera memutar otak. “Dua ...” “Duh gimana sih caranya bangunin nih anak ....” Leni tersenyum miring, teringat sebuah ide yang akan membuat Rara bukan hanya bangun, tapi langsung berjingkrak heboh. “Anak pemilik yayasan.” “Apa?!” Mata Rara langsung terbuka lebar. Leni tersenyum puas. Rencananya berhasil. “Rara!” “Astagfirullah, ada Bu Ta ...” sahut Rara spontan. Suara tawa langsung mengudara. Bu Tania langsung melotot. Rara langsung membekap mulutnya, panik. “Semuanya diam !” titah bu Tania, sengit. “Maaf bu ... kebiasaan,” cicit Rara mencoba memperbaiki segalanya. Bu Tania menghela napas panjang, tidak tega melihat Rara yang merasa bersalah macam kucing yang polos. “Untuk kali ini, ibu maafkan. Besok-besok kalo kamu tidur lagi di kelas, ibu gak akan segan-segan keluarin kamu dari kelas. Kamu paham?” Rara mengangguk pelan, sedikit lega telah dimaafkan. “Telima kasih bu Ta—“ Rara refleks mengigit lidahnya sendiri, hampir keceplosan lagi. “Bu Tania ....” sambungnya. “Ya udah, sebelum mengikuti pelajaran lebih baik kamu cuci muka dulu ke kamar mandi, biar gak ngantuk lagi,” saran bu Tania. Rara segera bangkit, berjalan ke kamar mandi lalu membasuh wajahnya. Dinginnya air keran di kamar mandi asa kantuk seketika hilang dari wajahnya. “Kayaknya tuh olang belubah pikilan deh ... dia mungkin gak jadi sekolah di sini ....” Rara tersenyum sumringah. “Bagus deh kalo gitu. Belalti aku aman ... ah senangnya ....” Rara bergegas kembali ke kelas, tidak ingin membuat bu Tania marah lagi gara-gara kelamaan di kamar mandi. Namun hal tidak terduga terjadi, sepatu Rara tidak sengaja menginjak permen karet saat berjalan di koridor. “Ya sepatunya jadi kotol ....” Rara berjongkok membersihkan sepatunya, tidak sadar ada guru dan seorang siswa melewatinya. “Ini kelas kamu ...” “Terima kasih, Bu ....” Suara berat seorang cowok mengundang Rara untuk mendongka melihat siapa pemilik suara itu. Berdiri seorang cowok di ambang pintu 11 Bahasa 4 dengan seragam sekolah, kemeja putih dan celana dasar bermotif kota-kota berwarna abu-abu, persis seragam Rara. “Dia ....” Rara berpikir sejenak. Merasa asing dan tidak asing dengan wajah cowok itu. “Jangan-jangan dia murid baru ...” gumam Rara, laku kembali membersihkan sepatunya. Rara yakin betul cowok dengan hidung mancung, berkulit kuning langsat dan mata tajam itu murid baru, secara dia terlihat asing di mata Rara. Tapi ... Rara kembali menoleh ke cowok itu yang kini sudah berjalan masuk ke kelasnya. “Astagfirullah! Cowok itu ....” Tepat di saat Rara sudah menyadari siapa cowok itu, cowok itu menoleh. Jantung Rara seketika berdegup kencang, bukan jatuh cinta, tapi nyaris copot, beruntung dalam situasi seperti ini pergerakan kepalanya lebih lincah dari pergerakan mata tajam cowok itu. Cowok bermata tajam itu mengernyit melihat tingkah aneh Rara yang bangkit dengan gelagat seolah dia maling yang sedang berusaha kabur. Gadis itu berjalan mengendap-endap dan lari kencang saat sudah sampai di ujung koridor. “Kok gue kayak kenal ya?” gumam Irsyad tanpa sadar. Lamunan Irsyad terhenti saat bu Tania memintanya untuk memperkenalkan dirinya. “Saya Irsyad. Pindahan dari sekolah Bakti. Salam kenal semuanya.” “Salam kenal ....” sahut semuanya serempak, sesi selanjutnya di penuhi dengan pertanyaan-pertanyaan biasa saat perkenalan, mulai dari yang biasa saja, normal dan mulai merambat ke hal yang gak penting, seperti status Irsyad yang jomblo atau terikat, tentang makanan favorit dan hal yang hanya Irsyad jawab seadanya. Sebenarnya Irsyad tidak masalah dengan situasi semacam ini, Irsyad tidak suka, tapi juga tidak benci, tapi sekarang situasinya sedikit berbeda. Pikiran Irsyad terbagi menjadi dua, menunggu saudaranya yang tidak kunjung terlihat. “Dia lam banget di kamar mandi. Tadi katanya bentar doang ...,” gumam Irsyad cemas. Saudaranya itu sedang tidak baik-baik saja, itulah faktanya. “Irsyad, kamu boleh duduk di bangku yang masih kosong ...,” kata bu Tania. Irsyad yang malas mengedarkan pandangnya, hanya berfokus pada satu bangku kosong yang berada di depan. “Lo gak boleh duduk di sini.” Tahan Leni saat Irsyad hendak duduk. Kening Irsyad berkerut. “Bangku ini punya Rara. Orangnya lagi ke belakang.” “Rara ...?” Mendengar nama itu seketika Irsyad tersenyum miring. Rara .... ? Sekarang aku tahu siapa gadis tadi. . . (POV Aaris) “Gue harus berani !” Aku menatap cermin dengan rahang mengeras dan tangan terkepal keras. Aku tidak nau selamanya menjadi pecundang? Mau sampai kapan aku bersembunyi seperti ini terus? Mau sampai kapan aku berada di sini? Di tempat yang tidak seharusnya aku berlama-lama. Aku harus berani ... kalimat itu terus aku gaungkan di batinku, sedikit memberiku keberanian meski langkahku masih teramat kaku untuk melangkah keluar dari kamar mandi ,bertemu dengan banyak orang dan memulai hidup seperti biasanya. Ya, seperti layaknya orang normal lainnya. “Aaris, lo harus ingat, ketakutan itu hanya ada di kepala lo aja ....” ucapku lagi, begitu langkahku kembali ragu. “Lo sudah siap ....” Aku kembali memperhatikan penampilanku yang sekarang sudah rapi dengan seragam sekolah baru. Aku juga membenarkan kacamata hitam yang bertengger di hidung mancungku, membiarkan warna gelapnya menyelimuti kedua mataku. “Ya, lo sudah siap ....” Bissmilllah .... “Satu ...” Aku menarik napas dalam, menyiapkan diri yang mulai terlempar rasa takut akan banyaknya orang. “Dua ...” Aku ingin hidup normal. Aku harus mengambil langkah ini. Aku tidak boleh takut. “Tiga ....” Aku melangkah lebar, berjalan dengan cepat keluar dari kamar mandi. Deg ! Waktu seolah berputar cepat di benakku, aku menatap sekitar .... sepi. Sejauh ini aku masih aman. Aku hanya perlu berjalan lambat agar tidak terlihat mencolok dan sampai di kelas. “Terus melangkah Aaris ...” “Jangan takut .... Lo pasti bisa ...” “Ayo Aaris, teruslah melangkah ...” Ini merupakan saran yang diberikan dokter Dian, di sesi terakhir bulan lalu. Kalimat-kalimat itu cukup mujarab untuk menenangkan sisi lain hatiku yang terus memberontak untuk kabur, lari, dan sembunyi. Semua tidak seburuk yang ada di kepalaku. Aku menarik nafas dalam. Finally .... Aku telah berhasil menaklukkan ketakutanku. Aku berhasil keluar dari kamar mandi. Sedikit lagi, aku akan berhasil sampai di kelas. Namun tiba-tiba ... “Kabul .... “ Teriakan gadis yang melintas di sebelahku, tangannya yang bergerak cepat, menyenggol sedikit gagang kacamataku, membuat benda itu mengudar lali jatuh ke lantai. Aku mengerjap, menatap nanar kacamata yang kini sudah tidak lagi bertengger di hidungku. Satu menit, seolah berjalan dengan sangat lambat, aku mencoba mencerna semuanya dengan cepat. “Itu kacamata kamu?” Gadis itu sama kagetnya. Matanya terangkat, nyaris bertemu dengan mataku yang tidak lagi terlindungi. Ketakutanku merespon cepat, memalingkan wajah dengan d**a yang terasa hilang oksigen. Sekarang semua terlihat mengerikan. Semua kata-kata positif itu, luluh lantah tak bersisa, kegelapan dan ketakutan mengambil alih. Menggerakkan tubuh dengan kalimat-kalimat penuh ancaman, seolah jika aku tidak menurut maka aku akan segera binasa. “Lari Aaris! Lari !!!” Aku sepenuhnya hilang kendali. Aku langsung berbalik, berlari bak anjing hilang arah, bebas, kencang, liar ke arah tangga dan ... ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD