Teka Teki

1833 Words
Daffa yang tengah duduk di kantin bersama kedua temannya tengah menunggu pesanan mereka datang. Sambil menunggu, Daffa memainkan ponselnya. Tak lama Ara, perempuan yang menjadi sahabatnya menghampiri dirinya. Ia tahu Ara kaget dan ingin menanyakan mengapa dirinya ada di gudang pagi tadi, tapi ia jauh lebih kaget melihat Ara ada di gudang belakang bersama Revan si cowok kebanggaan sekolah. Sambil memainkan ponselnya, ia mendengarkan obrolan Ara dan ketiga temannya karena meja mereka yang tidak terlalu jauh. Entah mengapa ada perasaan aneh yang hinggap di hati Daffa membuat ia menjadi kesal sendiri mendengar cerita perempuan itu. Saat tengah berperang dengan hatinya tiba tiba Elisa adik kelas yang selama ini mengejar dirinya menghampiri. “Kak Daffa, ini aku bawain nasi goreng buatan aku.” Sambil menyodorkan kota bekal yang dibawanya. Daffa hanya melirik tanpa niat sedikitpun untuk menerima bekal tersebut. Hingga Bagas yang terus menendang kakinya dari bawah meja sambil mengisyaratkan matanya ke arah Elisa, tapi Daffa tetap cuek saja dan Bagas hanya mampu mengelengkan kepalanya. “Kak ayo dong terima.. aku sudah bangun pagi-pagi lohh untuk buatin sarapan buat kak Daffa.” Bujuk Elisa kembali. Akhirnya Daffa melirik Elisa dan Elisa yang melihat Daffa meliriknya tersenyum senang karna akhirnya penantiannya selama ini membuahkan hasil. “Gua enggak pernah nyuruh lo buat bikin sarapan!” Desis Daffa dengan nada datar sambil melirik Elisa. Dan kembali memainkan ponselnya kembali. “Aku tahu kakak emang enggak nyuruh, tapi bisa nggak hargai dikit aja usaha aku.” Lirih Elisa sambil menatap tubuh Daffa. Detik berikutnya Daffa tiba tiba berdiri dan mengambil kotak bekal yang dibawa Elisa. Seketika senyum terbit di bibir Elisa, ia berpikir usahanya selama ini memiliki kemajuan. Namun.. “Makasih, lain kali nggak perlu. Gua masih bisa beli sendiri!” Dengan wajah datarnya Daffa melempar kotak bekal yang diberikan Elisa. Pranggg!! Elisa yang terkejut dengan perbuatan Daffa hanya mampu membungkam mulutnya dengan tangan untuk menahan tangisannya. Elisa terus menundukan kepalanya ia sangat sedih, kecewa dan malu. Malu karena seisi kantin sekarang tengah memandang dirinya dengan berbagai ekspresi. “Lo…” “Daffa!!” Ucapan Daffa terpotong karena teriakan Ara, Ara yang memang duduk tidak jauh dari mejanya langsung menghampiri dirinya dan menariknya menjauh dari Elisa. “Bagas tolong urusin ya, makasih.” Ucap Ara kepada Bagas sambil melirik Elisa sebelum membawa Daffa pergi dari kantin. Bagas yang mengerti apa maksud Ara hanya mampu menganggukkan kepalanya. *** Ara membawa Daffa ke taman belakang sekolah, tempat mereka biasanya melepas penat setelah sepulang sekolah. Taman belakang sekolah ini masih berada di area sekolah hanya saja lokasinya berada di belakang sekolah, didekat gudang. Taman yang memiliki rumput yang hijau dan pohon-pohon yang rindang serta ada danau buatan menambah kesejukan tempat itu. “Lo keterlaluan Daf.” Ucap Ara sambil menghela nafas saat sudah sampai di taman belakang kemudian duduk diatas rerumputan diikuti oleh Daffa disebelahnya. “Gua nggak pernah nyuruh dia, Ara.” Balas Daffa sambil menatap Ara yang memandang ke depan danau. “Tapi setidaknya hargain dia Daf, lo bisa ambil dulu setelah dia pergi lo bisa kasih itu bekal ke Bagas atau Rekha kan? Itu nggak buat kegantengan lo berkurang.” Kesal Ara sambil menatap mata Daffa. “Gua nggak mau jadi munafik.” Balas Daffa sambil memutuskan kontak mata dengan Ara lalu memandang ke arah danau. “Astaga Daffa, itu bukan munafik. Itu namanya menghargai pemberian orang lain.” Ucap Ara tidak habis pikir dengan jalan fikiran Daffa. “Ara kalau tadi gua ambil tuh perempuan akan memberikan lagi dan terus menerus. Dan untuk apa menghargai perempuan, kalau mereka yang sesama perempuan aja kadang nggak bisa saling menghargai.” Ucap Daffa dengan sorot mata tajam dan dingin yang dapat Ara lihat dari samping. “Daf…”lirih Ara. Daffa kemudian membaringkan badannya sambil memejamkan matanya menikmati angin yang menerpa wajahnya. Ara yang melihat Daffa membaringkan badannya melakukan hal yang sama lalu tanpa diduga Daffa memberikan tangannya sebagai bantal untuk kepala Ara. Ara yang diperlakukan demikian hanya mampu tersenyum. “Daf, nggak semua perempuan sama seperti yang lo pikirkan. Contohnya gua, Apakah gua sama seperti perempuan itu?” Tanya Ara sambil memejamkan mata. Daffa menggelengkan kepalanya “Nggak, lo beda.” “Jangan terpaku pada masa lalu Daf, coba untuk melupakan dan lo pasti akan melihat betapa indahnya dunia ini dan betapa baik dan tulusnya seorang perempuan.” “Gua nggak mau bahas masalah ini, Ra.” Ucap Daffa dingin. “Daf… kita sudah sahabatan, sudah lamakan? Tapi sampai sekarang kenapa lo nggak pernah mau cerita masa lalu yang buat lo kaya gini ke gua.” Ucap Ara dengan sedihnya lalu menegakkan badannya kembali duduk. “Dulu saat pertama kali kita bertemu, yang gua tahu lo ada masalah keluarga yang membuat lo melampiaskan dengan berantem dan hampir mau merokok. Tapi, gua nggak pernah tahu saat dan kapan perempuan itu masuk, Daf.” Lirih Ara. Matanya memang memandang ke danau namun fikirannya berkelana kembali kemasa lalu. Daffa menegakkan badannya duduk disebelah Ara yang memandang danau. Didetik berikutnya Daffa hanya mampu menyandarkan kepalanya ke bahu Ara tanpa ada niat menjawab sedikit pun. Ara hanya mampu melirik Daffa yang sedang bersandar di pundaknya. Lagi-lagi lo cuman diam. Seperti apa dia yang membuat lo membenci perempuan Daf. Batin Ara lirih Ara dan Daffa tetap pada posisi seperti itu hingga mereka tidak menyadari ada sosok yang bersembunyi dibalik pohon besar dibelakang mereka dengan tatapan marah dan sedih. *** Di kelas Ara tidak berkonsentrasi pada mata pelajarannya. Ia sedang memikirkan masa lalu apa yang sedang menimpa Daffa. Entah kejadian apa yang membuat Daffa sangat membenci wanita. Namun, mengapa ia mau berteman dengan dirinya?. Asik dengan lamunannya, Ara tidak menyadari bahwa teman sebangkunya kini sedang menatap kearah dirinya. Hingga tepukan di bahunya menyadarkan Ara. Sssttt.. Sssttt.. “Ra, ada apa? Lo mau diusir lagi karena dari tadi melamun aja.” Panggil Stella dan hanya mendapat gelengan kepala dari Ara. “Ra, cerita dong lo kenapa? Lo kaya orang yang kesambet njirr. Bikin takut.” Ucap Stella sambil berbisik agar tidak didengar guru yang sedang mengajar di kelas mereka. Lagi-lagi Ara cuman tersenyum membuat Stella makin bingung. Hingga bel pulang berbunyi Ara tidak benar-benar berkonsentrasi pada mata pelajarannya. Jika teman-temannya mengajaknya berbicara, Ara hanya akan tersenyum atau menjawab dengan singkat. Hingga membuat teman-teman Ara merasa aneh dengan sikap Ara, tetapi mereka hanya memakluminya saja. Mereka rasa Ara butuh waktu untuk sendiri hingga ia sendiri yang akan cerita mengenai apa yang terjadi. Seluruh siswa dikelas Ara sudah meninggalkan kelas, hanya tersisa Ara dan ketiga Sahabatnya. Stella yang hanya menatap Ara dari samping hanya mampu mengedikkan bahu kearah Mita dan Vanessa. “Ra, kelas sudah kosong nih, masih nggak mau balik?” Tanya Mita sudah berdiri di sisi meja Ara diikuti Vanessa. “Ra, ayo kita ke mall, ke pantai, ke monas atau kemana aja deh asal masalah lo bisa hilang, gua temani sampai malam, sampai malam dah.” Ujar Stella yang hanya dijawab Ara dengan senyuman geli melihat temannya yang satu ini. “Emang lo boleh pulang malam, La?” Tanya Ara sambil tersenyum geli. “Boleh Ra boleh, gua bukan anak SMP lagi yang nggak boleh pulang malam kok.” Ucap Ara dengan menganggukkan kepalanya dengan semangat. “Jadi kita mau kemana Ra, kita semua pasti temani lo kok.” Ucap Vanesa dan diangguki yang lainnya. Ara menggelengkan kepalanya “Gua enggak mau kemana mana kok, kalian pulang aja duluan.” Stella, Vanessa dan Mita saling pandang. Mereka berbicara lewat tatapan, yang akhirnya Stella menganggukkan kepala tanda ia setuju dengan perkataan Ara tadi. Mereka akhirnya memutuskan untuk pulang duluan. “Ra, kita pulang duluan yaa, kalau ada apa-apa langsung telfon kita ya, Ra.” Ucap Vanessa. “See you Ra, love you.” Ucap Stella sambil melambaikan tangannya dan berjalan keluar bersama Mita dan Vanessa. Ara pun membalas lambaian tangan sahabat-sahabatnya. Ketika sahabatnya sudah benar benar meninggalkan kelas Ara langsung menjatuhkan badannya untuk bersandar di kursinya. Membayangkan saat pertama kali menjadi teman seorang Daffa. “Aaakkhhhh!” Teriak Ara seketika. “SEBENERNYA GUA INI SAHABAT LO BUKAN SIH? Kenapa lo nggak pernah mau cerita masalah lo ke gua Daf.. kenapa?” Lirih Ara pada dirinya sendiri. “Apa sebenarnya lo nggak pernah percaya sama gua! terus kenapa lo mau jadi sahabat gua Daf…” Ucap Ara kepada dirinya sendiri sambil terisak lalu menengelamkan kepalanya diatas meja. Ara merasa ada seseorang yang mengelus puncak kepalanya dengan lembut. Ara langsung mengangkat wajahnya untuk melihat orang tersebut. “Bagas?” “Gua pikir cewek gila mana yang teriak teriak tadi.” Cengir Bagas. Ara yang memang lagi tidak mood bercanda dan malas meladenin omongan Bagas, memutuskan untuk pulang saja. Ia berpikir sudah terlalu lama di kelas. Mungkin saja Daffa tengah menunggunya diparkiran, walaupun Ara tahu Daffa hari ini sedang ada praktik susulan. Saat akan melewati Bagas, tangan Ara dicekal oleh Bagas. Ara yang bingung hanya menunjukkan tangannya menggunakan matanya. Bagas melepaskan tangannya, tetapi kedua tangannya kini berpindah kepundak Ara. Bagas membawa Ara kembali ke tempat duduknya, sedangkan Bagas menarik kursi dan duduk dihadapan Ara. “Kenapa?” Tanya Ara datar. “Harusnya gua yang nanya, lo kenapa?” Tanya bagas dengan wajah yang serius, hilang sudah wajah konyol yang biasa Bagas tunjukkan. “Nggak ada apa-apa.” “Dih dasar cewek, kalau ditanya pasti jawabnya nggak kenapa-napa. Padahal gua tadi dengar apa yang diomongin.” Ucap Bagas menyindir. “Kalau sudah tahu kenapa masih nanya!” Kesal Ara sambil melipat tangannya. “Oke. Oke.” Ucap Bagas sambil menghela nafasnya. “Ra, lo kenal Daffa bukan sebulan dua bulan kan? Lo kenal sudah lama Ra. Lo satu satunya cewek yang paling dekat sama Daffa.” Ara hanya mampu menganggukkan kepalanya membenarkan ucapan Bagas. “Lo juga yang paling tahu gimana sifatnya Daffa. Kalau Daffa nggak mau kasih tahu, maka lo yang harus cari tahu sendiri Ra.” Ucap Bagas dengan serius. “Gas, lo pasti tahu kan masalah apa yang disembunyi Daffa? kalau lo bilang lo nggak tahu, lo bohong. Kalian sudah berteman dari SD.” Ucap Ara sambil menuntut jawaban Bagas. Bagas hanya diam sambil berpikir. “Please..kasih tahu gua Gas, perempuan seperti apa yang membuat Daffa begitu membenci perempuan yang membuat dia sulit didekati.” Mohon Ara pada Bagas. Bagas hanya menggelengkan kepalanya. “Maaf Ra, gua nggak berhak memberi tahu masalah orang lain, biar yang punya masalah yang akan cerita pada waktunya.” “Tapi kapan?” Lirih Ara. Bagas hanya menggelengkan kepalanya “Maka dari itu, kalau Daffa nggak mau cerita, maka lo yang harus cari tahu. Dan satu lagi masalah Daffa nggak seperti yang lo fikirkan Ra.” “Nggak seperti yang gua pikirkan? maksudnya gimana, Gas.” Ara bingung dengan pernyataan yang diberikan tetapi Bagas hanya menggelengkan kepalanya, menandakan ia tidak bisa berbicara apapun. Ara diam memikirkan kata - kata Bagas barusan. Bagas kemudian berdiri dan memeluk Ara layaknya adik yang tengah bersedih. “Sudah jangan sedih lagi, apalagi sampai teriak-teriak. Ingat pesan gua tadi, gua percaya lo pasti bisa.” Ucap Bagas menyemangati Ara. Selepas kepergian Bagas, Ara kembali duduk di kursinya membayangkan saat pertama menjadi teman dekat Daffa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD