Layvi pulang setelah mengantarkan Yesha. Entah mengapa lelaki itu mau saja saat Yesha memintanya membawa mobilnya. Layvi memang selalu berusaha membantu orang lain hingga tuntas. Mungkin itu alasan yang tepat untuk semua perilakunya ke Yesha.
Kini, Ia sudah berbaring di atas dipannya. Angannya kembali saat ia memeluk Yesha, tanpa sadar tadi, Layvi membelai dadanya yang jadi sandaran Yesha dari ruangannya sampai tempat parkiran.
Flashback On.
"Ayok, Bu bangun," ucap Layvi setelah ia cukup yakin kondisi Yesha aman terkendali, tetapi wanita yang masih shock itu hanya bisa menatap tajam ke arah Layvi. Sampai membuat lelaki itu kikuk.
"Ibu bisa pulang sendiri atau mau saya panggilkan orang lain?!" tanyanya perhatian. Tanpa menjawab Yesha lanjut memeluk Layvi erat.
"Kamu saja yang antarkan aku!"
Tak ingin membantah, Layvi langsung membawa Yesha pulang. Ia mulai menyetir mobil wanita itu meski ini pengalaman pertamanya membawa mobil mewah. Layvi menghembuskan nafas mencoba menetralkan perasaan gugupnya.
"Rumah Ibu dimana?" tanya Layvi yang masih mengemudi. Bukannya menjawab Yesha malah memegang tangan Layvi erat.
"Bu," pekik Layvi tak enak.
"Tolong sebentar saja, aku sangat kesepian," ucap Yesha lirih.
Ia seakan hanyut dalam suasana. Malam yang begitu menyedihkan bagi dirinya. Yesha tahu Barry lelaki kurang ajar. Tapi tidak pernah menyangka lelaki berperut gendut itu sampai coba memperkosanya dan Yesha sadar. Jika hal ini ia beritahu ke Mamanya, bisa dipastikan wanita itu tak akan pernah percaya.
Yesha menghembuskan nafasnya pasrah memikirkan reaksi Yolanda saja rasanya begitu perih di hatinya. Ia semakin sadar hidupnya kini begitu menyedihkan, tanpa cinta dan pengertian dari ibu yang sangat ia kasihi.
Layvi memilih diam sesaat, membiarkan bahunya menjadi sandaran kepala Yesha yang menangis rapuh. Meski lelaki itu tak tahu alasan Yesha menangis sepedih ini, ingin sekali ia membelai rambut Yesha kembali, mengungkapkan kalimat bijak yang sering kali ia dengar sebagai penguat seseorang yang merasa sedih, tapi Layvi sadar. Dirinya bukanlah siapa-siapa wanita itu, karena itu Layvi memilih diam, mengamati pilunya isak tangis wanita itu.
Setelah cukup lama Yesha menangis, ia mendongakkan wajahnya mencoba tegar. Ia tersenyum kearah Layvi yang terlihat khawatir, pandangan mereka bertemu. Yesha sadar lelaki di sampingnya mencemaskan dirinya dilihat dari caranya memandang Yesha dengan alis yang mengkerut.
"Makasih!" tulus Yesha. Ia memberikan Layvi beberapa lembar uang sebagai kompensasi karena lelaki itu sudah menolongnya dan menemani malamnya.
"Enggak-enggak.., saya gak mau terima. Saya melakukan hal ini tulus. Saya gak mau terima uang dari Ibu," pekik lelaki itu kuat. Ia bahkan keluar dari mobil Yesha. Yesha ikut keluar, dan berdiri di depan Layvi, sorot mata takut sangat terlihat di wajah tampannya, tapi kenapa?.
"Kenapa kamu gak mau terima uang saya?!" heran Yesha, dengan menyeritkan alisnya, apa uangnya kurang, pikirnya dalam hati.
"Enggak Bu, saya melakukan itu semua karena memang saya harus membantu Ibu saat itu!" jelas Layvi.
"Harus? enggak ada yang memintamu melakukannya?!" desak Yesha.
"Ibu lupa, Ibu berteriak minta tolong.., dan saat itu hanya ada saya. Gak mungkin saya tidak menolong Ibu!"
"Iyah saya tahu itu. Tapi di dunia ini gak ada pertolongan yang gratis, eemm Mas?"
"Layviandi.., namaku Layviandi".
"Oke.., gak ada yang gratis mas Layvi.." ulang Yesha, sesaat Layvi tertegun. Seberapa gemerlapnya hidup wanita ini sampai menganggap dunia hanya berisikan uang.
"Kalau begitu sekarang Ibu tahu, bahwa ada yang gratis yaitu pertolongan saya ke Ibu tadi!" sahutnya mantap ia pergi dari hadapan Yesha. Lelaki itu terlihat menggeleng tak terima dipandang rendah oleh Yesha.
Yesha hanya menatap punggung Layvi dalam, tangannya masih memegangi beberapa lembar uangnya yang bahkan sama sekali tidak disentuh Layvi. Baru kali ini ia merasakan tertantang dengan sikap seorang lelaki.
Flashback Off
Suara gedoran pintu seakan tidak sabaran untuk minta dibukakan. Layvi segera bangun. Ia tak ingin Emma jadi terjaga akibat gedoran pintu itu. Ia bahkan belum sempat mengganti kain sarungnya dengan celana. Karena Layvi tadi baru saja selesai sholat. Layvi membuka pintunya, pemandangan pertama yang ia lihat adalah 3 laki-laki dengan gaya yang sangat menyeramkan, mungkin preman pinggir jalan jauh lebih friendly ketimbang wajah mereka.
"Ada perlu apa?!" sahut Layvi berusaha tenang. Tanpa menjawab seseorang dari mereka memukul perut Layvi dan menyeret paksa lelaki itu untuk ikut masuk ke mobil. Layvi berusaha menolak tapi sayang, kedua tangannya dicekal, bahkan matanya ditutup paksa sampai Layvi tak tahu mau dibawa kemana dirinya kini?.
Sepanjang di dalam mobil. Layvi terus memberontak paksa, tapi lagi-lagi perutnya menjadi sasak tinju oleh kedua orang disampingnya. Curang! Ini curang, tangannya di ikat ke belakang, duduknya dihimpit, matanya tertutup. Dan Layvi hanya bisa pasrah.
Ia sampai di kantor polisi, pertama yang ia temui adalah Barry. Yah.., lelaki licik itu yang telah melaporkan Layvi atas tuduhan perbuatan yang tidak menyenangkan. Barry berjalan kearah Layvi berbisik tepat di telinganya.
"Ikuti saja permainanku, dan jangan coba-coba cerita yang sebenarnya Jika kau tak ingin nama baikmu dan Yesha hancur!" ancamnya, Layvi hanya menatap nyalang ke Barry. Ia sedikit sadar jadi seperti ini permainan kotor orang kaya?
Layvi terduduk di bangku intrograsi. Sepanjang ditanya Layvi sama sekali tak membahas tentang Yesha. Bukannya ia takut dengan ancaman Barry. Tapi ia tak ingin membuat Yesha semakin susah. Ia ingat betapa menyedihkannya wanita itu. Setelah ditanya-tanya Layvi langsung di masukkan kedalam sel tahanan. Malam ini ia hanya bisa pasrah tertidur disel yang dingin. Meski ia sama sekali tak bisa memejamkan matanya karena ia begitu kepikiran dengan ketiga adiknya.
***
Pagi hari Yesha bangun dengan senyum ceria, entah mengapa wanita itu merasa hatinya begitu lega. Tanpa sadar ia teringat sorot mata Layvi saat menatapnya. Ia tersenyum jahil. kali ini ia akan berterima kasih dengan cara yang lain. Eemmm.., mungkin sekedar mengecup pipi laki-laki itu. Ide Yesha nakal.
Ia sudah sampai di kantornya lagi.
"Ngapa lo senyam-senyum ajah, jadin lo yah sama Barry?!" tanya Letta usil.
"Berapa kali sih gue bilang jangan bahas banci kaleng itu, lo ngrusak mood gue tahu gak?!"
"Yah.., terus siapa dong yang bikin seorang Yesha jadi cengar-cengir gak jelas, gigi lo kering tuh!" tunjuk Letta ke wajah Yesha, spontan wanita itu membungkam mulutnya.
"Ada deh mau tahu ajah lo!" sahut Yesha seraya berlalu pergi masuk ke dalam ruangannya. Ia langsung mendial nomor service AC, berharap kali ini Layvi yang mengangkatnya.
"Halo dengan layanan service AC disini!" sapa Morgan lembut, ia memang bertugas jaga pagi.
"Selamat pagi, saya ingin bicara dengan karyawan disana yang bernama Layviandi" sekuat tenaga Yesha menormalkan rasa gugupnya. Sebenarnya ia juga tidak tahu untuk apa ia menelpon lelaki itu, apa yang akan ia utarakan jika panggilannya diterima Layvi.
"Maaf Bu.., kalau pagi Layvi belum kerja disini, biasanya jam segini dia masih kuliah. Kalau mau ngomong masalah komplain sama saya saja, Bu!" sahut Morgan, lelaki itu terlalu peka dengan telepon yang berisi komplain'an. Sementara Yesha hanya mengangguk paham, sekarang ia tahu, Layvi juga kuliah sambil bekerja, ia cukup bangga mendengarnya.
"Kalau gitu nanti siang saya telepon lagi!"
"Waah.., kalau siang dia juga belum ada, Layvi siang ngajar, sore kerja di restoran, nah pas malem baru dia kerja disini" jelas Morgan. Yesha hanya bisa membelalakan matanya saat tahu kegiatan lelaki yang sudah berhasil menyentuh hatinya.
"Istirahatnya kapan?!" gumamnya seorang diri.