“Hai Morgan,“ sapa Layvi ketemannya. Ia langsung duduk di samping Morgan. Terlihat merentangkan tangannya, sedikit mengeliat demi mengurangi rasa pegal yang mendera tubuhnya.
“Lo kesini langsung dari tempat kerja lo yang di restoran?” tanya Morgan yang sudah hafal dengan aktifitas sahabatnya itu. Tapi walaupun begitu ia masih belum mengerti dengan semangat yang dipunya Layvi. Layvi hanya mengangguk-angguk seolah membenarkan perkataan Morgan.
“Ahk, gilak lo. Sehari kerja 3 tempat, kuliah juga sambil ngurus adek-adek lo juga!” ucapnya mulai merentetkan setiap kegiatan Layvi.
“Hahaha.., kalau perlu gue mau nambah side job lagi!” sahut Layvi yang memilih merebahkan tubuhnya di lantai demi meluruskan tulang-tulangnya.
“Eeh.., kerja terus! tahu-tahu tua terus mati. Pacarannya kapan?” ledek Morgan kemudian. Ia tahu seorang Layvi belum pernah terlibat kisah cinta oleh gadis manapun. Padahal jika dibilang Layvi termasuk pemuda yang tampan. Otot ditubuhnya terbentuk alami oleh kerasnya kehidupan. Mata hitam pekat dan kulit secoklat kacang almond juga sangat menarik perhatian. Jangan lupakan alis matanya yang bagaikan busur panah menambah daya tarik diwajah cool-nya.
“hahaha.., enak ajah lo, kali ajah Allah malah lagi nyiapin jodoh buat gue, mungkin sebentar lagi gue ketemu dia” sahut Layvi asal. Netranya menatap langit-langit diatas. Bibirnya tersenyum seolah ia tengah melihat bidadari surga yang dipersiapkan untuk dirinya kelak.
“Mimpi lo! Gitu deh kalau jomblo, kerjaannya nghalu mulu!” kekeh Morgan kemudian.
Dering ponsel berbunyi. "Apa sih orang kaya bisanya komplein aja,” gerutu Morgan saat melihat ponselnya yang menampilkan pemberitahuan komplain masuk.
“Lo kenapa, sih?!” Layvi sampai terbangun dari tidurnya. Ia bingung kenapa Morgan tiba- tiba marah seorang diri.
“Ini lo lihat, masa katanya kemarin gue nyuci AC-nya gak bersih, masih mengeluarkan debu. Duuh.., dipikir dia bakal mati apa kalau kena debu” tambahnya semakin kesal.
“Jangan gitu, coba gue lihat!” sahut Layvi seraya mengambil ponsel di tangan Morgan. Sebenarnya Layvi sendiri tidak mengerti kenapa Morgan seolah anti orang kaya.
“ooowh.., biar nanti gue yang kesana,ya!” ucap Layvi kemudian. Matanya menatap Morgan yang masih marah. lalu ia mengelus punggung Morgan agar lelaki itu jauh lebih semangat.
"Gue tuh bukan gak seneng ada yang komplain, tapi seharusnya mereka bisa punya hati jugalah, gue juga,'kan kerja keras buat semua ini" cerita Morgan, Layvi hanya mengangguk ia memilih membiarkan Morgan menumpahkan semua rasa kesalnya.
"Iyah gue ngerti kok!” balasnya seraya tersenyum. Tanpa diminta Layvi langsung pergi ke rumah customer tersebut, meski jam sudah menunjukkan pukul 6 sore, tapi begitulah Layvi si master side job.
***
“Kok kamu gak mau nemuin Barry, sih Yesha ?” tanya Yolanda, ibu Yesha dari balik telepon. Yesha memang kemarin tidak menemui Barry sama sekali. Ia lebih memilih menghindar dari lelaki itu.
“Oowh.., Barry dateng ?” sahut Yesha berpura-pura.
“Yesha nanti malam temui Barry. Dia ingin mengajukan kerja sama dengan perusahaanmu. Bagus,'kan itu akan menambah omset perusahaan,” titah Yolanda. Wanita itu memang sedikit materialistis, bahkan ia seakan tega 'menjual' anaknya sendiri. Yesha langsung menutup teleponnya hubungannya dengan Yolanda memang bukan hubungan anak dan ibu yang akur. Karena Yesha memilih menjauh dari Yolanda semenjak perceraian kedua orangtuanya. Sesaat telepon ditutup justru Barry yang menelpon gadis itu, Yesha menatap layar ponselnya malas. tapi ia juga gemas ingin memarahi Barry yang bisa-bisanya mengadu ke ibunya.
“Aku peringatkan kamu, jangan pernah sekali-kali lagi menghubungi ibuku!” ucap Yesha setelah mengangkat teleponnya.
“Makanya sayang.., terima aku. Jangan selalu pergi saat aku menemuimu!” balas Barry sok manja, menambah daftar muak di telinga Yesha. Mungkin suara burung gagak yang tak beraturan jauh lebih baik ketimbang suara lelaki itu.
"Oke! besok malam temui aku di kantor pukul 8 malam aku akan membahas bisnis kita, dan ingat ini pertama dan terakhir kalinya. Setelahnya, jangan pernah memaksaku untuk bertemu lagi.” Yesha benar-benar tidak tahu harus melakukan apa ke Barry. Ia hanya ingin semua ini cepat berakhir. Tanpa menunggu jawaban Barry Yesha memutuskan teleponnya. Melempar asal ponselnya di atas meja dan kembali terduduk menyandar di bangku seraya menutup matanya. Tiba-tiba saja kenangan bagaimana bahagianya masa kecilnya dahulu teriang di memorinya, kejadian yang sudah sangat lama sekali saat Yolanda dan Pram, ayahnya masih bersama.
Yesha menghembuskan nafas frustasi, entah mengapa ia kembali merindukan saat itu, padahal ia seakan sudah mengubur semua memorinya. Karena Yesha tahu, itu akan pernah terulang kembali. Semua ini mungkin karena kemarin ia bertemu dengan seorang gadis kecil di warung.Gadis yang bahkan Yesha belum mengenal namanya. Tapi karena gadis itu yang membuat Yesha kembali tersenyum meski hanya sesaat.
"Arletta. Kosongkan jadwal saya besok pukul 8 malam. Saya akan bertemu dengan pak Barry “ ucap Yesha.
“Wiiih.., mau juga lo ketemu sama dia, berdua doang lagi. Ciee.. cciiee..”
“Sekali lagi lo cie-cie'in gue. Gaji lo gue potong!” ancam Yesha
“Iiih.., apa sih lo. Apa-apa yang jadi ancemannya gaji gue. Lo sebenarnya ikhlas gak sih gaji gue?!” sahut Arletta tidak terima. Yesha hanya tersenyum dengan celotehan Arletta.
“Makanya.., jangan pernah lagi nyoba deketin gue sama gentong kosong itu.”
“Iyah. Rapi gue gak bisa nungguin lo, gue ada kencan. lo tahu,'kan gue gak jomblo gak kayak.., lo!” Arletta langsung berlari, karena ia tahu Yesha akan lebih ngomel dengan dirinya.
***
ke esokkan harinya.
"Duh.., mana sih si Barry. Udah jam 8 belum keliatan juga!” gumam Yesha memperhatikan jam tangan bermerk yang bertanggar di lengan kirinya. Bukannya gadis itu sangat menginginkan bertemu Barry. Ia hanya ingin pertemuannya dengan Barry cepat selesai. Tanpa terasa waktu semakin bergulir ke jam 9 malam. Yesha memilih tidak peduli jika memang lelaki itu tidak datang, toh.., ia juga masih sibuk dengan semua dokumen di meja kerjanya. Tapi tiba-tiba saja udara terasa sangat panas. Wanita itu sampai membuka blazernya dan menampilkan dirinya yang hanya memakai tank-top.
Kaca mata yang bertengger di hidung mancungnya juga sudah turun dari tempatnya, kali ini ia benar-benar jengah. Yesha berjalan mengambil remote AC, mengutak-atiknya tapi temperatur udara disana masih sama saja, wanita itu mencibik seraya menggerutu kesal, ia memperkirakan semua ini karena hatinya yang panas, tidak terima bertemu dengan Barry.
Ia mulai mendail nomor security di bawah demi membetulkan remote AC, berkali-kali ia menelpon tapi tak kunjung ada jawaban. Ia lupa hari ini, hari jumat dan biasanya para karyawan termasuk sekuriti di bawah akan pulang lebih cepat saat akhir pekan.Wanita itu mencoba berfikir, ia akhirnya memutuskan menelpon sendiri langganan service ACnya. Yesha tipe wanita yang tidak suka menunda masalah, dan ia berharap bisa memperbaiki AC ruangannya secepatnya.
Ponsel diseberang telepon sudah berdering.
"Duh masih ajah ada orderan, udah malem gini!" gumam Krisna, teman sejawat Layvi dan Morgan. Krisna kembali terduduk seraya menghembuskan nafas pasrah.
"Kenapa?!" tanya Layvi seraya terus memperhatikan Krisna. Padahal ia juga baru pulang dari rumah customer lainnya.
"Hari ini gue padahal mau pulang cepet karena anak gue lagi ulang tahun. Tapi lihat ini!" sahut lelaki itu seraya memperlihatkan orderan yang masuk, Layvi mengambil ponselnya bersamaan dengan kembali bunyi telepon. Segera ia mengangkat telepon,
"Kok lama banget, sih! saya sudah kepanasan ini!" pekik Yesha saat telepon diangkat. Layvi jadi termanggu sesaat otaknya berfikir untuk apa seorang wanita malam-malam di daerah perkantoran dan memaksanya secepatnya service AC. Apa tidak ada hari esok? pikirnya.
"Ooh.., iyah bu saya akan kesana!" Tapi Layvi tak ingin mengecewakan customer. Ia memilih menyetujuinya.
"Lo bener mau kesana?!" tanya Krisna tidak enak.
"Iyah gakpapa ini deket sama pantinya Emma. Lagian juga paling cuma setengah jam kok!"
***
Layvi sudah sampai di depan perusahaan Yesha. Wanita itu sudah berkirim pesan padanya meminta Layvi langsung masuk. Layvi mengetuk pintu ruangan Yesha pelan, terdengar suara Yesha dari dalam yang meminta lelaki itu masuk. Pemandangan pertama yang Layvi tangkap adalah siluet tubuh Yesha yang disinari oleh lampu kecil yang berada di meja kerjanya. Yesha memang mematikan lampu utamanya karena ia tak suka bekerja di tempat yang terang. Cukup lama Layvi terpaku apalagi saat matanya menangkap wajah Yesha yang berseri.
Lelaki itu seakan baru menyadari jika dunia ini banyak disinggahi bidadari surga. Oh tidak! Mungkin yang di depannya itu betul-betul bidadari yang terjatuh dan tidak bisa kembali. Apakah Layvi harus mencari luka bidadari tersebut dan membawanya kembali kekayangan?
"Eehh.., kenapa bengong?!" ucap Yesha ketus. Seakan membuyarkan semua khayalan Layvi.
"Eehh.., eeh.., maaf, Bu!" sahut Layvi salah tingkah. Yesha menatap lelaki itu malas.
"Ya udah tolong benerin AC-nya!" titahnya seraya mengangkat tangannya menunjuk kearah AC, sehingga dengan jelas Layvi bisa mencium aroma tubuh Yesha. Begitu lembut, membuat jantungnya semakin berdebar dengan cepat. Tapi Layvi sadar mengangankan Yesha adalah satu mimpi yang paling mustahil terjadi. Ia hanya menggeleng mencoba menyadarkan posisi dirinya.
Layvi mulai memeriksa AC-nya. Dengan Yesha yang terus menatap lekat lelaki itu, meski hanya lelaki biasa tapi Layvi cukup special di mata Yesha. Terutama sorot mata Layvi saat menatap dirinya, bagai harimau yang tengah kelaparan dan sedang melihat mangsanya. Yesha sadar hal itu, bagaimanapun ia wanita dewasa yang paham dengan gerak-gerik lawan jenis. Bibirnya tersenyum miring.
"Semua lelaki sama saja!" gumamnya kemudian.
"Apa, Bu?!" tanya Layvi saat ia sedikit mendengar gumaman dari bibir Yesha, ruangan yang sepi seakan mengaungkan semua perkataan yang terucap meski sekecil apapun itu.
"Saya bilang, cepet bersihin AC-nya, sekalian periksa mesinnya di depan!" tunjuk Yesha keluar. Ia tak mau Layvi tahu dirinya tengah memikirkan tatapan lelaki itu padanya.
"Baik, Bu" sahut Layvi sopan. Dan memilih untuk keluar ruangan. Barry Masuk, lelaki itu langsung berusaha memeluk Yesha.
"Apa-apaan kamu Barry?!" pekik Yesha tidak terima. Ia mencoba melepaskan pelukkan Barry.
"Ayohlah Yesha.., kau juga menginginkan aku,'kan? kalau tidak, kenapa kamu menyambutku dengan pakaian seperti itu!" seringai lelaki itu tak mau kalah.
"Haaah!" sahut Yesha seraya berbalik badan. Barry kembali memeluknya menciumi tengkuk Yesha. Gadis itu mencoba memberontak paksa. Tapi Barry malah merobek tali tanktopnya membuat bra gadis itu terekspose.
Kali ini Yesha sangat marah, ia merasa harga dirinya diinjak-injak oleh lelaki itu. Apalagi Barry terus menciumi tengkuknya dengan sangat bernafsu.
"Tolong..,tolong!" pekik gadis itu kuat
Layvi yang sedang membersihkan mesin AC di depan sedikit mendengar teriakan Yesha, tapi ia mencoba tak ikut campur.
Barry semakin berani. Ia membalikkan tubuh Yesha menatap buah dadanya dengan tatapan dipenuhi hasrat. Lelaki itu memang gila!
"Tolong.., tolong!" tangan Yesha mendorong kuat wajah Barry yang berharap bisa mencium bibirnya. Kali ini Layvi tidak bisa tinggal diam, ia tidak peduli ke depannya. Yang Layvi tahu, ia harus secepatnya menolong wanita itu.
Layvi masuk keruangan Yesha dengan posisi Yesha yang sudah terkurung di bawah Barry. Tatapan mata Yesha langsung menuju kearah Layvi seakan meminta pertolongan. Sebuah bogem mentah Layvi hunus,'kan kearah Barry. Ia langsung menarik dan menduduki lelaki itu serta memukulnya bertubi-tubi. Ia sangat tidak terima dengan perlakuan Barry ke Yesha.., lelaki itu teringat dengan adiknya, Erin. Membuat amarah Layvi seakan meledak.
"Ampun-ampun" gumam Barry yang sudah babak belur.
"Udah.., udah!" Yesha melerai Layvi menarik lelaki itu untuk bangun dari atas Barry. Barry langsung bangun meski tertatih, ia langsung pergi dengan sorot mata dipenuhi dendam. Setelah Barry pergi, spontan Layvi memeluk Yesha menenangkan gadis itu yang terlihat masih shock.
Ia membelai surai Yesha lembut, membawa gadis itu semakin masuk ke dalam dekapannya. Layvi sedikit meregangkan pelukannya demi mengusap lelehan air mata Yesha, ia tersenyum lembut untuk meyakinkan Yesha semua baik-baik saja.
Tiba-tiba saja kaki wanita itu lunglai, ia serasa ingin terjatuh, beruntung Layvi langsung menangkap tubuhnya. Layvi membawa Yesha duduk. Tangannya membuka jaket yang ia pakai dan memakaikan ke tubuh Yesha.
"Ibu sekarang tenang, gak akan terjadi apa-apa sama Ibu, aku bisa pastikan itu" ucap Layvi dengan sorotan matanya yang serius. Entah mengapa wajah Layvi seakan mengunci tatapan Yesha hanya kepadanya. Bahkan jantung wanita itu begitu berdebar mendapat ketulusan dari lelaki yang baru ia kenal. Spontan ia mengangguk, bagaimanapun Yesha wanita biasa. Sekuat-kuat dirinya ia masih selalu membutuhkan lelaki sejati di sampingnya. seperti Layvi ini.