Kini, Naomi dan Bayu sudah di rumah Bunda Nel, yang merupakan Ibunda dari Bayu, malam ini akan di adakan pertemuan keluarga dari keluarga kekasih Arbella, adiknya Bayu.
Bayu merasa jika sang Bunda tak memahami pemikirannya, ia membiarkan anak gadisnya memilih jodohnya sendiri, sedangkan anak lelakinya ia pilihkan jodohnya, seakan Bunda Nel berpikiran, bahwa Bayu akan memilih jodoh yang salah.
Sejak tadi, Bayu diam saja, semenjak Jihan memberi kabar akan kembali ke Jakarta pekan depan, Bayu jadi banyak diam. Dia selalu berkutat dengan pikirannya, saling berlawanan, bagaimana reaksi Jihan jika melihat semua ini? Sedangkan, sejak awal Bayu berniat jujur. Namun, ia terlalu takut jika Jihan menyakiti diri sendiri ketika mereka sedang berjauhan.
"Nak, ada apa? Kenapa kamu diam saja?" tanya Bunda Nel, menyentuh pundak putranya, Naomi menoleh melihat suaminya yang sejak kemarin lebih banyak diam.
"Nggak ada apa-apa, Bun," jawab Bayu, sebenarnya dia ingin protes atas perbedaan dirinya dan Arbella adiknya. Namun, Bayu tahan karena keluarga sedang berkumpul bahagia menyambut kedatangan calon suami Arbella dan keluarganya. Meski harus protes sepertinya sudah tidak berguna, karena semuanya sudah terlanjur.
"Kalau nggak ada apa-apa, ayahmu memanggilmu," kata Bunda.
"Ayahmu ada di pojokan sana." Tunjuk sang Bunda.
"Baiklah, Bunda," jawab Bayu, seraya beranjak dari duduknya dan menghampiri sang Ayah. Naomi sekilas menoleh menatap punggung suaminya.
"Ada apa, Yah?" tanya Bayu. Hartono menoleh seraya tersenyum menatap putranya.
"Temani Ayah menyambut calon keluarga baru kita," kata Hartono. "Mereka sudah di jalan," tambahnya.
Bayu mengangguk.
"Bagaimana pernikahanmu, Nak? Baik-baik saja, 'kan? Kamu memperlakukan istrimu dengan baik,' kan?" tanya sang Ayah, membuat Bayu menoleh melihat sekilas ke arah Naomi yang sedang tertawa lepas bersama adik dan tantenya.
"Baik, alhamdulillah."
"Perlakukan Naomi dengan baik, Nak. Kita sekeluarga berutang budi pada keluarga Naomi," kata sang Ayah, Bayu heran karena baru mendengar hal ini.
"Dulu, Ayah dan Bundamu kekurangan uang, bahkan tak ada uang sama sekali, kami harus membawamu pindah-pindah tempat tinggal karena selalu di usir dari kontrakkan, karena Ayah tak mampu membayar uang sewa, Ibram adalah sahabat Ayah, dia sahabat yang baik hatinya, sangat baik dan terlalu baik, mendengar kabar perusahaan Ayah bangkrut, Ibram rela pindah ke Jakarta membawa Sinta, istrinya dan Naomi yang masih berumur 2 tahun dan kakaknya yang berumur 7 tahun. Ibram mencari Ayah dan Bundamu, sampai Ibram menyebar selebaran untuk mencari kami, Ayah memberanikan diri menghubunginya, meski sangat malu dengan keadaan dan pakaian yang seadanya. Setelah kami bertemu, Ibram membangkitkan kembali perusahaan Ayah sampai kita sebesar sekarang." Hartono menjelaskan, ternyata ada tangan sang Papa mertua dalam usaha keluarganya.
"Karena itu, Ayah menyuruhmu memperlakukan Naomi dengan baik, dia sudah Ayah anggap seperti anak sendiri, mengingat bagaimana papanya membesarkan nama kita dan bagaimana persahabatan Ayah dan Papa mertuamu," tambahnya.
Penjelasan sang Ayah mengingatkannya kepada kesepakatan yang harus di ikuti oleh Naomi, mereka memang telah menikah. Meski kesepakatan tidak tertulis dalam hitam di atas putih. Namun, Naomi melaksanakan kesepakatan itu dengan baik. Ingatannya kembali kepada sosok Jihan yang akan kembali ke Jakarta pekan depan, dia tidak mungkin menyakiti hati Jihan, karena sakitnya Jihan adalah sakitnya juga, seakan mereka di takdirkan tak harus bersama.
****
Pertemuan dua keluarga akhirnya selesai, Naomi membantu Bi Arni membereskan semua yang berantakan di ruang tamu dan membawanya ke dapur, Bunda Nel mendapati menantunya itu sedang membantu Bi Arni.
"Naomi, sini, Nak, biarkan Bi Arni mengerjakan tugasnya, kamu ke sini saja." Bunda Nel memanggil.
"Tanggung, Bun."
Meski ia sudah melihat istrinya tengah mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, itu tidak membuat Bayu melarang istrinya.
"Ayo sini, Nak." Panggilan kedua dari Ayah mertua.
Naomi dengan terpaksa duduk di samping Bayu dan bergabung dengan cerita seru keluarga.
"Pernikahan adik iparmu ini akan di gelar secepatnya, keluarga calon suaminya yang meminta," kata Bunda Nel.
"Iya, Bun, lebih cepat, kan, lebih baik," kata Naomi.
"Benar kata Naomi, Ayah juga berpikiran yang sama dengan Naomi. Lebih cepat lebih baik, di dalam agama kita memang di haruskan untuk menikah, tanpa menjalani hubungan yang di haramkan," timpal Hartono.
Bayu merasa tersindir atas ucapan sang Ayah.
"Tapi, ngomong-ngomong, Arbayu pasti senang, ya, sekarang sudah ada yang layanin dan sudah ada yang masakkin." kata sang Bibi, Ningsih. Yang merupakan adik kandung dari sang Ayah.
Bibi Ningsih ada di rumah Hartono karena suaminya, Hamin sedang berpergian keluar kota, jadi Bibi Ningsih di titipkan Hamin di sini.
"Benar kata bibimu, bagaimana pernikahan kalian? Masakan Naomi pasti enak, 'kan?" tanya Bunda Nel, membuat Bayu menoleh sekilas ke istrinya. Berusaha meminta bantuan agar Naomi yang mengambil alih menjawabnya.
"Mas Bayu kata, enak, Bun, dia suka muji masakan saya." Kekeh Naomi, berusaha berakting sebaik mungkin, Naomi tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya tentang pernikahan yang tengah ia jalani.
"Alhamdulillah, kata Mama kamu, masakkan kamu memang enak, Nak," seru Bunda Nel, membuat Bayu menoleh karena baru tahu, jika Naomi bisa memasak.
"Tidak salah, Ayah menjodohkan kamu dengan Arbayu," timpal Hartono.
"Alhamdulillah, ya, Bang," sambung Ningsih.
"Ya sudah, ini sudah larut, kalian istirahat saja di kamar," kata Bunda Nel, membuat Bayu melupakan satu hal, dia dan Naomi tidak sekamar, jika malam ini mereka sekamar, itu hanya akan menyakiti Jihan meski tidak melihatnya.
"Maafkan kami, Bunda, Ayah, Bibi, dan Arbella, kami harus kembali, besok pagi banget kami ada rencana," kata Bayu, memberi kode kepada Naomi agar membenarkan perkataannya. Namun, Naomi tak paham.
"Kalian menginap saja, besok subuh setelah salat baru pulang, kan nggak jauh juga," kata Bunda Nel.
"Benar kata Bunda, kalian istirahat saja dulu, jangan mengecewakan kami, kami sudah bahagia sekali jika kalian menginap," timpal sang Ayah, membuat Naomi memberi kode, pada suaminya agar kali ini mendengarkan kata orangtua.
"Oke." jawab Bayu, tidak ikhlas. "Kalau begitu aku ke kamar dulu," tambahnya, lalu berjalan meninggalkan keluarganya yang tengah tertegun.
****
Naomi masuk ke kamar dimana suaminya sudah berada di kamar lebih dulu, Naomi merasa degdegan karena harus sekamar dengan Bayu, ini untuk kedua kalinya mereka tidur di satu kamar meski tak berdekatan. Namun, kali ini rasanya beda saja.
"Kamu tidur di sofa," pintah Bayu.
Naomi mengangguk. "Oke."
Bayu ternyata belum tidur, padahal ia masuk ke kamar sudah tiga jam yang lalu, berarti benar dugaan Naomi, Bayu hanya mencoba menghindari pertanyaan yang akan di lontarkan keluarganya tentang pernikahan yang ia jalani.
"Sebenarnya, apa yang kamu pikirkan? Kenapa menghindari keluargamu sendiri?" tanya Naomi, ia berusaha mencari jawaban atas pertanyaan yang mengganggu kepalanya sejak tadi.
Bayu mendengkus, dia tidak berniat menceritakan pada Naomi tentang kepulangan Jihan minggu depan. Namun, tak ada salahnya mengatakannya, karena dia pun butuh teman cerita. "Jihan akan pulang ke Indonesia."
Naomi sejenak berpikir, mengingat siapa Jihan, ketika mengingatnya, Naomi mengangguk. "Seharusnya kamu senang," kata Naomi. "Kekasihmu akan kembali."
"Aku senang, bahagia malah, tapi dia nggak tahu kalau aku sudah menikah," dengkus Bayu, seraya memijat pelipis matanya.
Naomi menghela napas. Dia tidak cemburu, apalagi menggerutu, karena dia pun merasakan hal yang sama, dia juga akan sangat bahagia jika Fandi kembali ke Jakarta. Namun, bedanya, Fandi sudah mengetahui tentang pernikahannya. Fandi pun hadir saat ijab qabul untuk ikut menyaksikan.
"Katakan saja sejujurnya, bahwa kamu sudah menikah."
"Aku nggak mungkin mengatakan hal itu, itu hanya akan menyakiti Jihan." Bayu memberi jeda beberapa detik, lalu melanjutkan. "Aku terlalu mencintainya untuk mengatakan hal yang akan menyakitinya."
Naomi merasa ia akan kalah pada perempuan itu, perempuan yang di cintai suaminya.
"Tapi, menyembunyikannya pun nggak mungkin. Karena, pasti perempuan itu akan mengetahuinya juga," kata Naomi.
"Perempuan yang kamu maksud memiliki nama."
"Aku memilih nggak menyebut namanya."
Alis Bayu bertaut. "Kenapa?"
Naomi mengangkat kedua bahunya. "Nggak tahu."