Fandi masih di kamarnya, meratapi sedih yang tak berujung, penyesalan karena mengikhlaskan Naomi bersama pria lain membuatnya tak bisa berbuat apa-apa, Fandi berusaha tegar, karena ia tahu jika dirinya adalah seorang pria. Namun, perasaan cintanya mengalahkan dirinya. Terlalu sakit, apalagi ia berjuang meninggalkan Jakarta dan bekerja di Bandung demi masa depan yang ia impikan bersama belahan jiwanya.
Sesekali, Fandi menoleh menatap foto-foto bahagianya bersama Naomi, semua ia tempel rapi di dekat ranjangnya, karena ia tahu, menahan rindu itu sangat lah berat. Dengan melihat foto Naomi setidaknya rindunya berkurang.
Pintu kamarnya terbuka, Manda melihat Fandi tengah duduk di sofa dengan wajah yang sedih, Manda menggelengkan kepala karena begitu ibah pada sahabatnya ini.
"Gue takut banget, Fan, lo itu bunuh diri," kata Manda, khawatir, sekaligus mencoba bercanda agar mencairkan suasana yang membeku ini.
"Rencananya, sih, begitu, gue emang pengen bunuh diri," jawab Fandi, tanpa ba-bi-bu.
Manda duduk di samping sahabatnya, "Lo gila apa? Bunuh diri? Lo, kan, paling tahu apa yang di benci Tuhan, kenapa lo jadi pengen ngelakuin?"
"Gue sepertinya nggak bisa hidup tanpa Naomi."
"Kalau lo nggak bisa hidup tanpa Naomi, terus kenapa lo mengikhlaskan dia? Lo emang taunya hanya omong doang, pas kayak gini, lo juga yang susah, 'kan?" sindir Manda, membuat Fandi merutuki dirinya dalam hati, ia memang bodoh dan tak berguna.
"Gue nggak mau lah sampai Naomi menjauh dari orangtuanya, gue kepengen nikahin dia itu dengan cara meminta restu orangtuanya, bukan malah kawin lari seperti yang di inginkan Naomi, apalagi Naomi anak satu-satunya perempuan, yang menjadi harapan kedua orangtuanya," kata Fandi, menjelaskan, membuat Manda mengangguk, sahabatnya itu memang selalu seperti ini. Ia tidak memikirkan bagaimana perasaannya sendiri.
"Terus, kenapa sekarang lo seperti menyesalinya?"
"Gue sangat mencintai Naomi, Manda!" tekan Fandi.
"Baiklah, apa yang harus gue lakuin agar lo bisa lebih baik?" tanya Manda.
"Gue ingin sendiri," jawab Fandi.
"Lo udah seperti ini beberapa hari, Fan, Bos juga nanyain lo terus menerus, gue nggak mungkin mengatakan kalau lo lagi patah hati. Itu bukan alasan yang masuk akal loh."
"Gue udah nggak ada semangat kerja lagi, Man, lo kan tahu, gue kerja demi menghalalkan Naomi, jika Naomi bersama pria lain, gue nggak ada gunanya lagi kerja banting tulang tanpa tidur," keluh Fandi, membuat Manda mendengkus. Manda ingin sekali menampar Fandi.
"Fan, lo gila atau gimana, sih? Gue yakin deh, lo nggak sampai gila juga, lo kerja bukan hanya untuk Naomi, tapi juga buat diri lo sendiri, persiapkan segalanya sampai waktunya lo ketemu sama jodoh lo, nggak usah ngerengek, lagian lo yang mutusin, 'kan?"
"Menyesal memang udah nggak ada gunanya. Namun, gue butuh waktu sendiri, Man," pintah Fandi.
"Terserah lo deh, gue pergi. Males banget gue liat lo kayak gini, kayak bukan cowok tulen aja lo." Manda dengan wajah kesal beranjak dari duduknya dan meninggalkan Fandi yang tengah menyesali perkataannya.
****
Waktunya telah tiba, beberapa menit lagi Naomi akan sah menjadi seorang istri dari pria yang tak di kenalinya dan tidak di temuinya sebelum pernikahan di gelar, Naomi terlalu patah hati pada yang namanya cinta untuk mempermasalahkan bagaimana wajah suaminya. Terlalu misterius.
Gaun pengantin yang membelit tubuhnya saat ini adalah rancangan khusus yang di pesan Weni untuknya, rancangan seorang designer ternama, Naomi kagum pada gaun ini, andaikan saja gaun ini di pakai untuk acara pernikahannya dengan Fandi, itu akan lebih baik dan lebih membahagiakan, bahagia di atasnya bahagia akan di rasakan seorang Naomi, wanita cantik yang memiliki banyak beban dan mimpi di pundaknya.
Weni masuk ke kamar ketika ia di beritahukan agar membawa Naomi ke samping pengantin pria, karena ijab qabul sudah selesai. Weni sejak tadi sudah galau, ia takut jika saja Naomi kabur lagi. Namun, kenyataannya Naomi tetap di kamar dan menatapi dirinya lewat cermin yang tengah terbelit gaun pengantin berwarna putih yang begitu mewah dan elegant.
"Syukurlah," gumam Weni.
"Mi, sekarang waktunya keluar, ijab qabul sudah selesai," kata Weni, berdiri di belakang tubuh Naomi.
Naomi menganggukkan kepala.
Weni membantu Naomi keluar dari kamar, rambut Naomi tidak di sanggul karena ia menolaknya dan hanya ikatan rapi yang membuat rambut Naomi lebih teratur tidak seperti tadi berhamburan dan hanya di ikat asal.
"Lo nggak usah khawatir, suami lo itu keren pake banget, dia tampan, manis, dia memiliki karisma yang mematikan, karena gue aja sempet jatuh hati, haha... tubuhnya ideal, warna kulitnya putih, bola matanya berwarna coklat, senyumnya manis banget sepertinya dia penjual permen kali, ya, soalnya manis banget." Kekeh Weni, mencoba menghibur sahabatnya.
"Gue nggak pernah perduli dengan tampangnya. Meski jelek atau ganteng sekalipun, gue udah nggak perduli," kata Naomi.
Naomi mengedarkan pandangannya, ketika ia sedang berjalan menuruni tangga, tamu undangan dan keluarga mempelai prianya lumayan banyak, Naomi membulatkan matanya penuh ketika salah satu tamunya saat ini, ada sosok pria yang di cintainya, Fandi.
Fandi menatap Naomi dengan keterpanaan, sungguh persis apa yang di harapkannya, Naomi terlihat sangat cantik dengan gaun membalut tubuh indahnya, Fandi menyeka air matanya, berusaha mengatur perasaannya, ia tak ingin sampai membawa Naomi kabur. Naomi berhenti sejenak, membuat keluarga keheranan dengan tatapan Naomi pada salah satu tamu di sini.
Weni berusaha menyadarkan Naomi agar melanjutkan langkah kakinya karena keluarga sudah mulai saling berbisik. Naomi menitikkan air mata, ia merasa seluruh tubuhnya hancur berkeping-keping termaksud hatinya, pria yang ia cintai dan ia inginkan datang sebagai tamu undangan di pernikahannya, bukan sebagai mempelai.
"Mi, sadar, tamu sudah pada mulai berbisik," bisik Weni, membuat Naomi menyeka air matanya dan berusaha memalingkan wajah dari tatapan cinta dari Fandi.
"Lo mengundangnya?" tanya Naomi.
"Dia yang ingin datang, gue sih nggak masalah," jawab Weni. "Ayo, penghulu sudah menunggu."
Naomi melanjutkan langkah kakinya menuruni tangga, berusaha tak menatap Fandi yang kini tengah menangisi dirinya, ia harus kuat melihat pria yang di cintainya, ia harus menahan perasaan ingin kabur dan menghentikan semua ini, meski ia sudah sah menjadi istri dari orang lain.
"Sabar, Fan, gue kata apa coba? Lo nggak akan kuat," bisik Manda.
"Gue balik duluan, Man."
"Lo nggak nyaksiin sampai selesai?"
"Gue takut, jika saja gue terpancing membawa Naomi kabur dari sini," jawab Fandi, beranjak dari duduknya dan memunggungi Naomi yang tengah berusaha tak menatapnya.
Sekeras apa pun Naomi coba untuk tidak menatap Fandi, sekuat itu juga perasaan Naomi ingin menatap Fandi.
Weni membantu Naomi untuk duduk di samping pria yang kini sudah sah menjadi suaminya, pria dengan tatapan yang datar dan tak ada senyum sama sekali. Sedangkan pandangan Naomi mengarah kepada Fandi yang kini tengah memunggunginya. Fandi sejenak berbalik menatap Naomi, lalu melemparkan senyum sedihnya yang mewakili perasaannya. Sesaat kemudian, Fandi berjalan meninggalkan tempat, membuat Naomi merasakan sepi menyeruak hebat.
"Silahkan tanda tangani, Neng," kata penghulu.
Naomi lalu menandatangani akta nikah yang sudah di tandatangani pria yang kini sudah menjadi suaminya. Babak baru dalam hidupnya pun di mulai.
"Sekarang, waktunya tukaran cincin," kata penghulu.
Naomi lalu menatap pria yang sudah menghalalkannya, menghancurkan segala harapan bahagianya bersama Fandi, kini Fandi pergi dan memberi bekas sepi yang mendalam.
Pria itu menyematkan cincin pernikahan di jari manis tangan kanan Naomi, begitu pun sebaliknya, Naomi tak mengenal suaminya ini, namanya pun ia tak tahu.
"Sekarang kalian sah menjadi suami istri, ini buku nikah kalian," kata penghulu, di sambut hangat oleh sorakan tepuk tangan para tamu undangan dan dua keluarga.
Fandi mendengar sorakan tepuk tangan dari dalam sana, ia terduduk di lantai dan menangis sejadi-jadinya. Menangisi kekasih yang telah menjadi milik orang lain.