POP!
Teleportasi Zora kali ini agak kacau, sehingga begitu sampai, baik Dery maupun Zora seperti terpental dan langsung terperosok ke lantai. Parahnya lagi, Zora membawa mereka berteleportasi ke sebuah kamar mandi yang ukurannya tidak bisa dibilang luas. Wajah Dery nyaris menghantam bak mandi ketika dirinya oleng. Untung saja, ia bisa mengelak sehingga wajahnya tidak jadi dihiasi memar atau benjol.
Di situasi seperti sekarang, memiliki tambahan luka di wajahnya bukan lah sesuatu yang Dery inginkan. Sudah cukup hatinya sakit karena harus meninggalkan Mbah Sugeng yang terluka untuk menghadapi Javon dan anak buahnya sendirian. Sungguh, satu-satunya yang mampu dipikirkan Dery akan menjadi akhir dari pertemuan Mbah Sugeng dan Javon adalah sesuatu yang buruk. Sesakti-saktinya Mbah Sugeng, rasanya tetap mustahil jika Mbah Sugeng bisa menang melawan monster itu. Terlebih lagi, Javon sepertinya tidak sendirian.
Tanpa sadar, airmata Dery sudah turun membasahi wajahnya. Hatinya begitu sakit membayangkan jika setelah ini, dirinya tidak akan bisa bertemu dengan Mbah Sugeng. Mungkin, Dery juga tidak bisa bertemu dengan semua orang. Baik itu Engkong, teman-temannya, bahkan arwah Sharon sekali pun. Javon sedang memburu mereka sekarang. Mungkin saat ini Dery memang belum mati, tapi besok atau nanti? Siapa yang tahu?
Dery agak tersentak ketika Zora tiba-tiba menyentuh pundaknya. Ia baru sadar jika sejak mereka sampai di dalam kamar mandi, Dery langsung tenggelam dalam pikirannya sendiri, sehingga ia belum bereaksi apa-apa.
"Kamu tidak apa-apa?" Zora bertanya khawatir pada Dery ketika Dery menoleh padanya.
Zora yang sebelumnya ikut terjerembab di lantai, kini sudah bangun dan ia mengulurkan tangan pada Dery agar ikut bangun. Dery menerima uluran tangan tersebut dan berdiri dengan bantuan Zora.
"Ada yang sakit?" Tanya Zora lagi.
Dery menggelengkan kepala. Ia sadar jika pertanyaan yang diajukan oleh Zora itu dimaksudkan untuk menanyakan kondisi Dery setelah teleportasi mereka yang tidak mulus. Biasanya, setelah berteleportasi Dery memang merasa pusing dan mual, bahkan bisa sampai muntah.
Kali ini, Dery tidak merasakan efek samping itu. Mungkin karena hatinya terlalu sakit, sehingga pusing dan mual terkesan sangat sepele, dan tidak terasa lagi untuknya.
Andai Zora menanyakan kondisi Dery secara keseluruhan apakah dia baik-baik saja, jawabannya tentu Dery tidak baik-baik saja. Jauh daripada itu. Dan ia rasa, Zora pun sama tidak baik-baik saja dengannya. Siapa juga yang bisa merasa baik-baik saja di saat hampir bertemu dengan monster kejam dan harus menyaksikan orang lain mempertaruhkan nyawa demi melindungi mereka?
Melihat Zora yang menyadari kalau dirinya menangis, Dery pun segera menghapus airmata dari wajahnya. Ia tidak boleh terlihat lemah di saat seperti ini, meski sesungguhnya Dery amat sedih dan ketakutan.
Dery terlebih dahulu berdeham sebelum ia bertanya, "Lo bawa kita ke mana?"
Zora menggelengkan kepala. "Aku tidak tau, yang kupikirkan tadi hanya lah tempat terjauh dari pondok Mbah Sugeng."
Dery mengangguk paham. Lantas, ia memakai sepatu yang diberikan oleh Zora untuknya, dan mengambil alih tas gunung miliknya yang ada di bahu Zora. Ketika di pondok Mbah Sugeng tadi, Dery terlalu panik sehingga Zora lah yang menyiapkan semua barang-barang Dery, termasuk sepatunya. Andai Zora tidak terpikir untuk melakukan itu, Dery pasti sudah tidak punya apa-apa lagi.
Lalu, Dery membuka perlahan pintu kamar mandi untuk mengintip keadaan sekitar. Dery belum bisa memastikan mereka ada dimana sekarang, karena yang terlihat di depan kamar mandi ini adalah tembok. Tapi, dari hiruk pikuk yang terdengar di luar, sepertinya mereka berada di tempat yang ramai sekarang.
Dery memastikan area di sekitar kamar mandi untuk melihat apakah ada orang yang sekiranya akan menjadi saksi jika mereka keluar secara bersamaan dari sana. Dery jelas tidak mau ada yang melihatnya dan Zora. Bisa-bisa, mereka justru berpikir keduanya habis melakukan sesuatu yang m***m di dalam kamar mandi, dan hal itu dapat menimbulkan masalah. Dalam keadaan genting seperti ini, mereka tidak butuh masalah konyol seperti itu.
Usai memastikan tidak ada orang di area kamar mandi, Dery pun mengajak Zora untuk cepat-cepat keluar, dan berjalan meninggalkan area kamar mandi. Beruntungnya, meskipun ada kotak yang harus diisi uang oleh pemakai kamar mandi umum itu, tidak ada penjaga di sana. Sehingga tidak ada yang akan mempertanyakan keberadaan Dery dan Zora.
Begitu keluar dari area kamar mandi, Dery dan Zora langsung disambut oleh suasana ramai dari tempat mereka berada sekarang.
"Ternyata kita di terminal," ujar Dery, setelah melihat banyak bus yang terparkir, orang-orang yang berlalu lalang karena baru mau pergi, atau baru saja tiba, serta berbagai macam orang yang berjualan.
Berbeda dengan malam ketika mereka sampai kemarin ketika terminal sudah sepi, berhubung sekarang masih siang hari, maka kondisinya masih ramai.
"Bagus lah jika ternyata kita ada di sini," jawab Zora. "Memang sebaiknya kita membaur di tempat yang ramai, Dery."
Dery mengangguk setuju. Setidaknya jika mereka berada di tempat ramai seperti sekarang, Javon tidak akan berani menyerang mereka. Dan sejujurnya, Dery agak berharap jika ia bisa melihat manusia serigala di sini. Walau tidak ada jaminan jika mereka akan menyambut mereka dengan ramah, namun jika ada mereka, Javon dan pasukannya tidak akan bisa menginjakkan kaki di terminal ini.
"Kamu benar. Sebaiknya kita berkeliling dulu untuk memastikan apakah di sini ada para werewolf atau tidak."
Mendengar Zora bicara begitu, Dery mendelik padanya. Kesal. "Udah gue bilang, kan? Jangan sesukanya baca pikiran gue," ujar Dery marah. "Gue nggak suka."
Setelah mengatakan itu, Dery berjalan mendahului Zora untuk berkeliling terminal ini dan memastikan keadaan mereka. Dery tahu, tidak seharusnya ia terlalu kasar seperti tadi pada Zora. Hanya saja, perasaannya sedang kacau sekarang. Meski tidak bilang apa-apa pada Zora, namun Dery sungguh terguncang dengan apa yang terjadi pada Mbah Sugeng.
Atas bahaya yang dibawanya pada Mbah Sugeng, Dery tidak bisa untuk tidak menyalahkan dirinya sendiri.
***
Setelah berkeliling terminal, mereka tidak menemukan adanya manusia serigala maupun vampire di sana. Bahkan, Dery juga tidak melihat orang-orang dengan selubung aura warna lain seperti yang dilihatnya di terminal Pasar Minggu tempo hari. Hanya ada dua orang dengan selubung aura berwarna emas dan biru. Dery tidak tahu mereka apa atau siapa, namun ia memilih mengabaikannya karena mereka pun tidak terlihat peduli sama sekali pada Dery atau Zora.
Usai berkeliling, Dery dan Zora memilih tempat yang paling ramai di terminal itu, agar mereka bisa membaur dengan baik di antara manusia-manusia lain yang ada di sana. Tentu saja yang paling ramai adalah area kantin, jadi mereka ke sana dan memilih untuk di salah satu kios makanan yang paling ramai.
Dery sama sekali sedang tidak nafsu makan, jadi ia hanya memesan segelas kopi, yang bahkan tidak sanggup untuk ia minum. Sejak sekian menit yang lalu, Dery sama sekali belum menyentuh kopinya hingga kopi tersebut sudah mulai mendingin.
Pikiran Dery sekarang benar-benar disesaki oleh banyak hal, dan ia tahu jika Zora kemungkinan besar mendengar semua yang ada di pikiran Dery. Mulai dari rasa bersalahnya pada Mbah Sugeng, rasa takutnya pada Javon, hingga rasa penasarannya atas apa yang terjadi di Jakarta sekarang.
Dery tidak bisa menghubungi Engkong karena ponselnya mati total akibat kehabisan daya baterai. Ia juga tidak bisa mengisi daya baterai ponselnya karena di sini tidak ada stop kontak yang tersedia. Namun, tadi Dery sempat mendengar ada yang mengobrol perihal kasus kematian misterius di Jakarta. Dan katanya, korban yang ditemukan setiap harinya semakin banyak.
Selain itu, Dery juga memikirkan 'jawaban dari alam' yang disampaikan oleh Mbah Sugeng. Dan saat ini, jawaban itu lah yang terpenting untuk mereka pecahkan.
Gunung Lawu...Pasar Setan...keris Upas Ala...
Mbah Sugeng hanya mengatakan itu tanpa menjelaskan apapun kepada mereka. Yang mana artinya, mereka harus memecahkan hal itu sendiri. Dan untuk sekarang, hanya satu hal yang Dery rasa pasti.
"Gue rasa, kita harus ke gunung Lawu."
Zora menoleh pada Dery ketika tiba-tiba saja ia bicara lagi setelah cukup lama keduanya saling diam.
"Jauh?" Tanya Zora.
"Nggak juga. Paling cuma butuh tiga jam dari sini, tapi gue rasa nggak bisa pakai teleportasi."
Zora mengangguk paham.
"Dari jawaban yang dikasih Mbah Sugeng kemarin, cuma itu yang gue rasa pasti. Kita harus ke gunung Lawu, karena memang itu yang pertama kali disebut."
"Terus, Pasar Setan dan Upas Ala itu apa?"
Dery menggelengkan kepala. "Entahlah, gue nggak tau. Gue belum pernah ke gunung Lawu. Tapi, gue rasa Pasar Setan itu ada di sana."
"Pasar Setan emang ada di gunung Lawu, Mas."
Dery agak tersentak ketika orang di sebelahnya tiba-tiba saja nyeletuk, menanggapi omongan Dery tadi. Dery menoleh pada laki-laki yang ia rasa, usianya tidak jauh berbeda dari Dery. Dan dari penampilannya sih, Dery rasa orang ini mau mendaki gunung Sumbing.
Sejujurnya, Dery tidak terlalu senang ada orang yang menguping pembicaraannya dan Zora. Bisa saja, orang yang menguping ini akan jadi masalah buat mereka. Namun, Dery agak bersyukur karena laki-laki itu memberinya jawaban yang tidak ia ketahui.
Dery tersenyum padanya, mencoba bersikap ramah karena ia ingin menggali informasi lain.
"Itu ada di bagian mana gunung Lawu ya, Mas? Terus bentuknya pasar gitu? Serem amat namanya Pasar Setan."
Laki-laki itu tertawa. "Pasar gaib itu, Mas! Urban legend terkenal dari gunung Lawu. Katanya itu pasar yang isinya ya bukan manusia. Biasanya sih kalau ada pendaki yang lewat sana suka dengar suara bising kayak di pasar, banyak orang jualan gitu, tapi pas diliat nggak ada. Dan kalau mau lewat Pasar Setan, harus lewat jalur pendakian Candi Cetho. Pokoknya tempatnya tuh di lereng gunung yang banyak ilalangnya."
Dery menelan ludah. Jawaban itu jelas bukan jawaban yang ingin didengarnya. Semula ia pikir jika Pasar Setan hanya lah pasar biasa yang letaknya di dekat gunung Lawu, bukannya pasar gaib yang tak terlihat di mata orang awam. Di mata Dery, ia pasti bisa melihat semuanya. Dan membayangkan harus berada di sebuah pasar berisikan para penunggu gunung sudah berhasil membuat Dery sakit perut karena gugup.
"Makasih informasinya, Mas." Akhirnya hanya itu yang bisa dikatakan Dery pada laki-laki yang entah namanya siapa itu.
Dery sudah mau melengos, namun laki-laki itu tiba-tiba berujar lagi. Katanya, "Hati-hati aja, Mas, kalau mau ke sana. Kalau kita di Pasar Setan, katanya sih harus ninggalin atau ngebuang sesuatu di sana supaya bisa keluar."
Dery hanya menanggapinya dengan senyuman, lantas ia berdiri, dan mengajak Zora untuk pergi menjauh dari sana.
Informasi yang didapatnya tadi sudah cukup, dan ia tidak mau mengobrol dengan Zora di dekat orang-orang yang bisa mendengar percakapan mereka. Entah apa yang dipikirkan oleh laki-laki tadi tentang obrolannya dan Zora, namun laki-laki itu tidak terlihat merasa aneh maupun keheranan. Ia juga tidak banyak tanya dan hanya memberikan Dery informasi seperlunya. Entah karena orang itu memang bukan orang yang terlalu ingin tahu urusan orang, atau entah karena sesuatu yang lain.
"Kita mau ke mana?" Zora bertanya setelah mereka sudah berjalan agak jauh dari kantin.
"Beli tiket ke bus ke Magetan. Kita harus ke gunung Lawu, ke Pasar Setan, kayak yang dibilang sama Mbah Sugeng. Kayaknya, Upas Ala itu ada di sana, dan itu alat untuk mengalahkan Javon," jelas Dery sembari masih berjalan cepat menuju tempat pembelian tiket.
Ketika sadar Zora sudah berhenti berjalan mengikutinya, Dery pun ikut berhenti dan berbalik untuk menoleh pada perempuan itu.
"Kenapa?" Tanya Dery bingung.
Sejenak Zora hanya diam. Lalu, ketika dirinya kembali mendekat pada Dery, ia bergumam, "Aku rasa, sudah saatnya kita berpisah, Dery."
"Hah?"
"Sebaiknya kamu kembali ke kotamu, dan aku akan pergi sendiri ke Pasar Setan. Kesepakatan kita sudah berakhir karena kamu sudah membantuku mencari cara untuk mengalahkan Javon. Jadi, sekarang sudah saatnya kita berpisah."
Dery tertegun di tempat. Sungguh, ia tahu apa yang dikatakan oleh Zora itu benar. Tapi entah kenapa, terdengar begitu salah di telinganya.