17. Teritori

1421 Words
Ini namanya mereka berencana mau keluar dari kandang singa, tapi malah terjebak masuk ke kandang buaya. Eh, bukan buaya sih, tapi tepatnya serigala. Zora mematung di tempatnya duduk melihat tujuh orang yang mereka kenali sebagai werewolf itu. Dan salah satunya adalah yang berpapasan dengan mereka di warung makan tadi. Mereka semua berbadan besar, bahkan yang perempuan juga tubuhnya tinggi dan nampak kekar. Otot Dery aja kayaknya kalah deh. Melihat mereka semua yang kini sedang memandang ke arah Dery dan Zora, jelas-jelas memerhatikan mereka dari ujung kaki hingga ujung kepala, rasanya Dery mau terkencing-kencing. Zora saja tegang memikirkan harus melawan mereka semua di saat dirinya cuma sendirian, apalagi Dery yang tidak bisa apa-apa kecuali melihat aura kelabu di tubuh mereka yang kini terkesan suram dan seram. Seumur hidup, mana pernah Dery terpikir bahwa ada sekumpulan manusia serigala di terminal Pasar Minggu, dan terminal ini merupakan teritori mereka! Aneh banget lah mereka tuh, sebetulnya manusia serigala apa kenek bus? Namanya serigala ya harusnya di hutan! Iya, kan? "Sial, kenapa aku bisa tidak sadar sih? Aku pikir ini zona netral. Wajar saja aku tidak menemukan satu vampire pun di sini walau kondisinya ramai." Zora bergumam pelan, nyaris tidak terdengar. Tapi, karena dirinya dan Dery duduk bersebelahan, tentu saja Dery bisa mendengar gumaman itu dengan jelas. Dery juga baru menyadari hal itu. Ia jadi menyesal karena menganggap mereka aman di sini akibat tidak ada vampire lain sejauh mata memandang. Nyatanya, mereka tidak ada di sini karena tempat ini merupakan area yang memang seharusnya tidak didatangi oleh bangsa mereka. "Tau gini mending kita ke terminal Ragunan dah," sungut Dery. Disikutnya pelan Zora. "Ini kita mesti kabur nggak?" Zora diam saja dan terus memandang ke arah para werewolf berperawakan seperti preman yang menguasai terminal Pasar Minggu ini. "Anjir, Zor, kita perlu kabur kaga sih?! Mereka ke sini! Gue takut banget gilakkk!" Dery mulai panik dan semakin menyikut-nyikut Zora ketika dilihatnya para manusia serigala kekar-kekar itu berjalan ke arah mereka. Bahkan, secara refleks Dery meraih tangan Zora dan menggenggamnya erat. Takut kalau Zora tiba-tiba berteleportasi dan lupa mengajaknya. Sementara tangan Dery yang satu lagi menggenggam tas gunung berisi keperluannya dengan sama erat. Bisa kacau juga kalau tasnya itu ikut tertinggal dan jadi sanderaan para manusia serigala di sini. Dery sudah tidak punya uang untuk membeli lagi barang-barang yang ada di dalam tas itu. "Zoraaa!!! Kok lo diem aja, anyinggg, ini mereka udah deketttt?!?!" "Sssttt." Zora menyuruh Dery diam. "Kamu jangan tenang, tidak boleh panik." GIMANA BISA? Rasanya Dery mau teriak begitu di depan wajah Zora, karena bisa-bisanya menyuruh Dery untuk tidak panik di situasi seperti sekarang. Sekarang ini yang menghampiri mereka itu orang-orang dengan perawakan macam preman. Badan kekar dengan otot yang mencuat di bagian lengan, tatapan mata tajam, pakai celana jins robek-robek, dan wajahnya pada sangar semua. Mereka emang kelihatannya nggak tua-tua amat, paling banter tiga puluh tahun lah. Tapi, melihat mereka semua membuat Dery rasanya mau sungkem memohon ampun. Padahal dia juga tidak ada salah apa-apa. Dery hanya bisa duduk tegang di samping Zora, sambil masih menggenggam erat tangan perempuan itu, ketika para werewolf tersebut sampai di hadapan mereka. Berbeda dengan Dery, Zora justru berusaha untuk tetap bersikap tenang. Dari tujuh orang werewolf itu, hanya ada satu perempuan. Menurut Dery, perempuan itu manis walau gayanya tomboy. Tetapi, Dery tidak berani melirik perempuan itu lama-lama karena ia berdiri di sebelah werewolf yang sepertinya adalah ketua mereka. Keduanya berdiri paling belakang dari rombongan, sementara yang lainnya maju mengelilingi Zora dan Dery, termasuk si werewolf mirip biaragawan yang tadi berpapasan dengan mereka di warung makan. Dalam hati, Dery merapalkan doa. Entah akan mempan atau tidak karena mereka bukan hantu, Dery tidak peduli. Yang penting doa saja dulu. Tanpa menyapa dengan sopan apalagi ramah, si Werewolf Biaragawan langsung menuding kepada Zora. "Kamu tidak seharusnya berada di sini. Ini wilayah kami," ujarnya dengan suara berat yang sangat maskulin. Dery sampai minder karena suaranya terbilang cempreng untuk ukuran laki-laki. Zora yang ditunjuk oleh werewolf itu, yang gemetaran justru Dery. "Maaf, saya baru tau kalau ini wilayah kalian." Zora menjawab tenang. "Tapi tenang aja, saya tidak akan lama di sini. Saya dan teman saya cuma mau menunggu bus. Setelah itu, kami akan langsung pergi." Satu werewolf  lain yang bertubuh kurus tinggi tertawa. Tawanya sungguh mengejek, hingga Dery sebal sendiri mendengarnya. "Sejak kapan bangsa kalian butuh naik bus? Apakah kamu melakukan itu untuk menipu orang ini?" Dan lebih sebal lagi saat dirinya ikut ditunjuk seperti orang bodoh. "Dia teman saya, dan kami harus pergi ke suatu tempat yang jauh," jelas Zora. "Saya benar-benar tidak ada maksud untuk mengganggu kalian. Bisa kalian lihat, saya sendirian." "Tetap saja, bukan berarti kamu boleh menginjakkan kaki di teritori kami. Lebih baik kamu pergi, di saat kami masih bicara baik-baik." Zora menggelengkan kepala. "Saya masih harus menunggu bus bersama teman saya. Tolong, biarkan saya di sini sampai busnya tiba. Setelah itu, saya akan pergi." Lima orang werewolf yang mengelilingi Dery dan Zora berbalik untuk melihat ke arah sang ketua yang sedari tadi hanya diam memerhatikan. Jelas sekali kalau mereka sedang menunggu keputusan dari ketua mereka. Selama beberapa saat, perkataan Zora sebelumnya tidak ditanggapi. Semuanya menunggu jawaban dari si bos, atau mungkin lebih tepat dikatakan sebagai alfa dalam sebuah pack werewolf. Jantung Dery kian dag dig dug karena tatapan sang alfa kini tertuju padanya. Tangan Dery yang menggenggam tangan Zora pun sampai berkeringat dingin akibat terlalu gugup dan takut. Sang alfa pun maju mendekati mereka, dan para anggotanya secara otomatis memberi jalan. Di belakang alfa itu, perempuan yang tadi ada di sebelahnya mengikuti dan berhenti di belakangnya. Dilihat dari dekat, si alfa ini justru kelihatannya paling muda dibandingkan rombongannya yang lain. Mungkin usianya juga tidak terlalu berbeda dari Dery. Tapi tetap saja, tatapannya begitu mengintimidasi. Terlebih lagi, ada sebuah bekas luka di pipi sebelah kiri pria itu yang membuatnya kian terlihat tangguh dan mengerikan. Yah, kayak preman lah pokoknya. Secara bergantian, tatapannya ditujukan pada Dery dan Zora, lalu cukup lama berhenti di Dery yang sama sekali tidak berani malas menatapnya. Dery takut digebuk, sekaligus takut juga direkrut jadi anggota werewolf Pasar Minggu. "Sebelum membuat keputusan, saya mau memastikan dulu apakah manusia di samping kamu ini benar-benar teman kamu, atau justru orang yang sedang kamu hipnotis." Entah mengapa, Dery merinding sendiri mendengar suaranya yang terkesan begitu dingin. "Dia betul teman saya," jawab Zora tanpa takut. "Kamu bisa pastikan sendiri kalau dia tidak dalam pengaruh hipnotis apapun. Lagipula, saya tidak punya kemampuan menghipnotis." Dery menelan ludah saat dirinya kembali jadi pusat perhatian. Ia pun memberanikan diri untuk bicara. "Saya...te...temannya...Zora," ujarnya terbata. "Dan saya tau...kalau Zora...vampire. Suwer saya nggak dihipnotis!" "Oh ya? Terus kenapa bisa kamu berdua dengan dia?" "Karena kami harus pergi ke suatu tempat. Urusan penting." Alfa yang belum diketahui namanya siapa itu pun tertawa. "Apa kamu tidak takut akan disakiti oleh vampire ini?" Dery menggelengkan kepala. "Saya tau...Zora baik," ujarnya. "Dia sudah menyelamatkan nyawa saya. Jadi...tolong biarin kami nungg bus di sini. Janji, bro, kita nggak akan ganggu sama sekali!" "Bro?" "Ya maaf kalo sokab...punten..." Udah lah ini aneh banget! Dery sudah ngomongnya ngaco karena tertekan harus berhadapan dengan para manusia serigala ini. Ia sudah menundukkan kepala, tidak berani lagi menatap mereka semua. Sialnya, Dery tahu kalau ia masih jadi pusat perhatian sekarang. Terutama perhatian dari sang alfa yang entah kenapa menatap Dery dengan penuh minat. Untungnya Zora membebaskan Dery dari perhatian itu karena ia bersuara lagi. "Kalau kalian tidak percaya, kalian boleh mengawasi kami sampai busnya datang." Alfa mengangguk. "Saya memang tidak akan membiarkan vampire berkeliaran di sini sesuka hati tanpa pengawasan," ujarnya. "Terakhir kali hal itu terjadi, semuanya jadi kacau." Zora diam saja, begitu pun Dery. Alfa menoleh pada para anggotanya dan memberi gestur bagi mereka untuk menjalankan tugas mengawasi Dery dan Zora yang kini sudah serupa penjahat. Ketika pada akhirnya Dery sudah mengangkat kepala lagi, dilihatnya sang alfa sudah bersiap untuk pergi bersama werewolf perempuan itu. Tapi, sebelum benar-benar melangkah menjauh, ia kembali memandang ke arah Dery. Sialnya, kali ini Dery terlalu takut untuk melengos. "Siapa namamu?" Tanyanya. Suara Dery nyaris terdengar gemetaran ketika menjawab, "Rasendriya Caraka...tapi panggil aja Dery." Lagi, werewolf itu memandang Dery cukup lama tanpa mengatakan apa-apa. Membuat Dery sungguh merasa tidak nyaman. Lantas, sebuah seringai kembali menghiasi bibirnya. "Sebaiknya kamu hati-hati, Dery." Itu yang dikatakannya, sebelum ia benar-benar berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Dery dan Zora dalam pengawasan anak buahnya. Dery jadi termangu sendiri karena kata-kata si werewolf alpha yang entah namanya siapa itu. Firasat Dery mengatakan bahwa perkataannya tadi bukan hanya sekedar basa-basi, melainkan peringatan yang tidak boleh Dery abaikan. Seolah alfa itu tau, apa yang akan terjadi dalam waktu dekat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD