Tentang Banun

1215 Words
"Banun itu anak pertama dari dua bersaudara.” Prana membuka percakapan ketika keesokan paginya aku sampai di kantor lebih dulu dari yang lain, seperti biasa. Ternyata dia justru datang lebih pagi lagi. Aku diam, tidak bereaksi apa pun. “Tan, aku lagi ajak kamu bicara.” Aku hanya melihatnya sekilas, “Ngomong aja, aku dengerin, kok. Aku sambil ngecek kerjaan.” Prana menghembuskan napas kasar, “Lihat aku dulu, Tan. Dengarkan apa yang mau aku bilang.” Aku tidak menggubrisnya, bergeming sambil mengecek email, “Ini masalah kemanusiaan, Tan. Banun butuh pekerjaan ini, dia sudah nyaman berada di sini, sudah bisa beradaptasi dengan kamu sebagai koordinatornya dan Yani sebagai rekan satu timnya. Di rumahnya, dia dipaksa menjadi anak perempuan yang manut sama keputusan kedua orang tuanya. Kemarin sore, setelah kejadian dan keributan itu, dia meminta waktu untuk ngobrol denganku, dia menyatakan dan menceritakan semua masalah yang ada di rumahnya.” Aku melihat ke arah Prana, “Oo … kemarin kalian ketemuan? Bagus, deh. Udah gak sedih lagi, donk, dia. Dihibur sama pujaan hatinya.” Prana menarik kursi lalu menempatkan kursi itu tepat di hadapanku, “Dengar, Tania Larasati Hadi, tolong dengarkan aku, Banun itu menjadi tulang punggung keluarga. Ayahnya menikah lagi dan dari istri keduanya itu ayahnya memiliki tiga orang anak, sementara Banun, Ibu, dan adiknya sekarang tinggal di kontrakan petak kecil. Mereka terpaksa harus hidup di sana karena ayah Banun mengusir istri pertamanya yang merupakan ibu Banun, mengusir Banun, dan adiknya karena rumah besar yang selama ini mereka tempati ditempati oleh ibu tiri Banun dan adik-adik tirinya.” Aku tidak menampakkan reaksi apa pun, Prana terus saja nyerocos, “Jadi, Tan. Jangan pindahkan dia ke divisi lain. Kamu sudah dianggap seperti kakak perempuan untuknya. Aku khawatir, jika dia dipindahkan ke divisi lain, dia tidak mudah beradaptasi, justru membuatnya semakin tidak bisa bekerja dengan baik, bisa jadi di divisi lain dia tidak menemukan koordinator seperti kamu yang bisa membimbingnya.” Aku mendengus, “Khawatir tidak bisa membimbingnya atau khawatir tidak bisa menutupi semua absensinya yang suka terlambat dan pekerjaannya yang sering salah? Lagian ini kantor, sorry aja, kalo ternyata kehidupan di rumah dan pekerjaan di kantor tidak berpihak padanya, toh hidup memang se-ajaib itu, kamu tau, kan? Kakak perempuan apaan?” aku membuka handphoneku dan melihat beberapa pesan yang masuk, “Atau gini aja deh, kalo kamu se-khawatir itu sama dia, aku minta Pak Anhar memindahkan dia ke divisimu aja, ya. Biar kamu bisa ngawasin dia sekaligus membantu back up kerjaan dan kelakuannya itu yang sering datang telat, sering izin, dan sering buat kesalahan dalam pekerjaan, gimana? Demi alasan kemanusiaan, Prana, seperti katamu tadi.” Prana menggeleng, “Ini bukan tentang aku, Tan. Kasihan sama Banun.” Aku mencoba menjelaskan semua hal yang aku rasakan, “Prana, aku sudah sembilan bulan lebih bekerja sama dengan dia. Banyak sudah kesalahan, absensi, dan semua hal yang berkenaan dengan pekerjaan yang berhubungan sama Banun yang aku toleransi. Bahkan Yani, pegawai tetap saja tidak seberani sikap dan tindakan Banun. Awalnya, aku tidak mau membuat masalah ini jadi lebih besar, perkara lembur doank. Toh biasanya aku lembur sendirian, tapi karena memang banyak banget yang mau dikerjakan, sementara bulan depan sudah akhir bulan dan akhir tahun, laporan keuangan berkali-kali lipat jumlahnya. Dan kalau saja reaksi yang diberikan Banun tidak seperti kemarin, aku juga gak akan meradang. Dan yang lebih parah, berani loh, dia ngadu ke Pak Anhar. Itu udah salah banget di mataku, jadi, sekalian aja kemarin aku evaluasi kinerjanya. Kalo dia gak berani duluan ngelapor ke Pak Anhar, aku pun akan diam saja, tidak menanggapi serius ucapannya. Kamu deh, Prana, kalo ada di posisiku, bagaimana?” aku balik bertanya ke Prana. Dia diam, “Coba, gimana? Apakah kamu akan diam saja ketika diadukan ke Pak Anhar, menerima saja dengan yang diucapkan sementara kejadian dan keadaan sebenarnya tidak seperti itu? Kalo iya, well … sorry to say, aku gak bisa. Dia baik, aku bisa lebih baik. Dia gak sopan dan ngelunjak, aku bisa beberkan semua kesalahan dan kekurangannya. Dan satu lagi, aku bicara seperti ini bukan mengada-ada, yang aku beberkan kemarin adalah fakta.” Prana diam, “Udah, kan, selesai urusannya? Aku mau ke pantry, buat kopi. Aku gak mau liat kamu masih di ruangan ini ketika aku kembali kalo kamu masih bahas masalah Banun.” Prana mencoba menahanku, “Tan, aku paham kamu kesal. Tapi …” aku melepaskan pegangan tangannya, “Aku udah bilang, bahasan mengenai dia, cukup sampai di sini. Aku gak akan mendengarkan lagi atau perduli lagi sama ucapanmu, kalo kamu masih bahas mengenai dia, jangan pernah lagi kamu bicara padaku, paham!” Prana menyerah, dia sudah gak bisa berbuat apa-apa lagi. Sesampainya aku di pantry, mencoba untuk menghembuskan napas yang dari tadi sesak bukan main, aku tau, ini mengenai kehidupan pribadi seseorang, mungkin aku juga kurang pengertian mengenai apa yang terjadi pada keluarganya, tapi aku juga harus memikirkan pekerjaan yang sedang aku hadapi dan menjadi tanggung jawabku. Kalo Banun pindah pun, aku akan dapat anak baru lagi sebagai penggantinya, harus adaptasi lagi, ngajarin lagi dari awal. Tapi prinsipku, memangkas tangkai yang sudah busuk dan menunggu tangkai baru tumbuh, walaupun lama, akan jauh lebih baik daripada memelihara tangkai yang sudah rusak tersebut dan kerusakannya bisa menyebar. Lagian, rasanya sudah banyak toleransi yang aku kasih ke Banun, jika dia pintar membaca suasana dan keadaan, apalagi kata Prana tadi, dia butuh dengan pekerjaan ini, harusnya dia sadar bahwa dia benar-benar harus menghargai pekerjaan ini, dan aku yakin dia tidak akan bertindak gegabah seperti kemarin. Setelah air mendidih, aku menyeduh kopi yang sudah aku racik, tuangkan air panas yang menyentuh serbuk-serbuk kopi, aku hirup dalam, membuat tenang yang tidak bisa aku dapatkan dari tempat lain. Setelah selesai urusanku di pantry, aku kembali ke ruangan dan Yani sudah datang lalu ada Banun di sana. Dengan wajah yang sedih, entah beneran sedih atau sekedar akting, dia menyodorkan seperti tempat makan gitu, “Mbak Tania, ini sekedar ucapan terima kasih karena selama ini sudah membantu aku dalam berbagai hal, juga sebagai permintaan maaf atas kesalahan yang sudah saya perbuat, dan sekedar makanan untuk perpisahan.” Aku menerima uluran tempat makan tersebut sambil mengucapkan terima kasih, “Makasih, Nun. Jadikan pelajaran, ya, apa yang terjadi kemarin. Semoga di divisi baru kamu bisa lebih fokus dan lebih betah. Maafkan juga selama ini saya suka judes, jutek, dan mungkin kurang memenuhi ekspektasi kamu sebagai koordinator. Mudah-mudahan di divisi baru nanti koordinatormu lebih baik dari saya, oiya, dipindah ke divisi mana, Nun?” dia hanya menjawab pelan banget, “Ke Divisi Pekerjaan Umum, Mbak.” Aku mengangguk. Setelah Banun pergi, aku kasih makanan tadi ke Yani, “Nih, Yan. Sini, makan bareng, udah sarapan?” Yani menggeleng, “Boleh makan sekarang, Mbak?” aku mengangguk, “Ya boleh. Emang pernah aku ngelarang kalian sarapan? Wong kalian sering makan jajanan di jam kerja aja gak aku pernah larang, kan? Santai aja, aku gak seserius itu.” Yani dengan sigap mengambil tempat di depanku, ketika aku membuka tempat makan tersebut ada bihun goreng yang masih hangat, perkedel jagung, dan juga ayam asam manis mentega, dan nasi. Aku sekedar mengambil bihun gorengnya saja, sisanya aku kasih ke Yani, “Udah, ini untukmu semua, habiskan, ya. Tolong nanti tempat makannya sekalian dibalikin ke Banun.” Yani mengangguk, “Semua buat aku, Mbak? Wah, makasih, Mbak. Lumayan buat makan siang sekalian.”

Read on the App

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD