Irisan Lemon dan Garam Alus

1240 Words
Ragu, takut, deg-degan, bersatu menjadikan aku tidak bisa berpikir tenang. Setelah melihat hasil test pack dan terlihat garis dua di sana, tubuhku lemas, tulang-tulangku serasa dilolosin dari tubuh. Aku hamil? Ya Allah, kenapa harus terjadi sekarang? Kenapa gak nanti aja, ketika sudah sah menikah dan resmi menjadi istri Abizar. Setelah melihat hasil test pack tersebut, aku benar-benar lemas, tidak berdaya, hanya bisa berbaring di ranjang. Beberapa kali, Ibu memanggilku, untuk makan karena memang dari pagi, aku belum sarapan, “Tan, makan dulu, Nak. Dari pagi belom masuk apa-apa, masuk sedikit udah muntah lagi.” Aku meng-iya-kan ucapan Ibu, “Iya, Bu. Sebentar aku keluar.” Tapi sampai sekarang, aku belum berdaya juga untuk beranjak dari ranjang. Tumben juga, hari ini Abizar belum menghubungiku sama sekali. Aku mencoba meneleponnya, tapi beberapa kali panggilanku berakhir dengan kotak suara, “Silakan tinggalkan pesan …” lalu aku mengirim pesan ke dia, “Bi, kita harus ketemua hari ini, ada hal penting yang mau aku omongin.” Dan aku tinggal menunggu balasannya. Hari semakin larut, perlahan, aku mulai bisa bangun dan kuat berjalan. Ketika aku keluar, ruang makan dan ruang keluarga sepi, sepertinya Bapak dan Ibu ada di kamar. Aku menyalakan televisi, demi membuat suara agar keadaan tidak terlalu sunyi dan hening. Tidak lama kemudian, Ibu keluar, “Makan, ya, Tan, Ibu ambilin.” Aku mengangguk, “Iya, Bu. Makasih, ya.” lalu Bapak juga keluar dari kamar, dan menuju ke ruang keluarga, menghampiriku, dan memegang dahiku, “Panas banget badannya, Tan. Kita ke dokter, ya.” aku menggeleng dengan keras, duduk dengan tegak, “Aku gak apa-apa, Pak. Aman, kok, hanya lemas aja. Nanti setelah makan dan minum obat juga udah seger lagi.” Bapak berkeras, “Udah berapa hari kamu begini, gak ada perubahan, ke dokter, ya. Abis makan, kita ke dokter. Bu, siap-siap, ya.” aku memegang tangan Bapak, “Pak, beneran, aku hanya demam. Setelah makan dan minum obat, pasti sehat. Gak perlu ke dokter.” Wajah Bapak seperti tidak setuju, tapi kemudian menyerah, ketika Ibu datang membawa piring berisi nasi dan lauk, “Udah, Pak. Anaknya gak kenapa-kenapa kok. Ini habis Ibu suapin, pasti sehat lagi. Lagi manja aja ini, anaknya. Karena mau nikah, jadi manja.” Aku tersenyum. Tapi di sudut hatiku tersayat, aku telah mengkhianati kepercayaan mereka. Tapi aku juga gak bisa berbuat apa-apa, ini sudah terjadi, hanya nanti bagaimana caranya menyampaikan ke mereka dan orang tua Abizar. Aku menerima suapan dari Ibu, membuka mulutku, dan mengunyahnya perlahan, agar tidak mual dan akhirnya muntah. Sambil sesekali melihat notifikasi handphoneku, belum ada tanda-tanda dari Abizar membalas pesanku atau meneleponku, gelisah. Tidak tenang aku dibuatnya. Setelah menerima beberapa suapan dari Ibu, aku memutuskan untuk berhenti makan, “Bu, udah, ya, aku udah kenyang banget. Aku mau ke kamar, ya, Pak, Bu, minum obat terus istirahat. Rencananya besok, kalo udah baikan, aku masuk kerja aja. Gak enak, kelamaan izin dan gak masuk. Udah ditanyain juga sama kepala ruangan.” Lalu memutuskan untuk masuk ke kamar. Tapi sebelum aku beranjak ke kamar, Bapak menyahuti ucapanku, “Ya kalo masih sakit, jangan dipaksa. Tunggu sehat dulu baru masuk kerja. Nanti belom sehat, dipaksa masuk kerja malah jadi gak sehat-sehat.” Aku mengangguk, “Iya, Pak.” Lalu berjalan menuju kamar, dengan menahan mual yang luar biasa dan begitu sampai di kamar, aku langsung ke kamar mandi, dan semua makanan yang baru saja masuk, sukses keluar tidak bersisa. Aku berusaha untuk tidak mengeluarkan sama sekali, gak mau Bapak dan Ibu jadi semakin khawatir dan justru jadi curiga. Setelah selesai semua drama muntah dan bebersih di kamar mandi, aku kembali merebahkan diri, bolak balik ngecek handphone, dan Abizar belum juga menghubungiku. Hingga aku terlelap, kelelahan, dan tertidur. Entah sudah jam berapa sekarang, yang pasti ketika aku membuka mata, hal pertama yang aku ucapkan adalah, “Lapar banget, ya.” dan memutuskan untuk keluar kamar, ruang makan, ruang tamu, ruang keluarga, gelap. Hanya dapur saja yang lampunya menyala, seperti biasa, tidak pernah dimatikan. Jadi, dengan berjalan sangat perlahan, menghindari menimbulkan bunyi-bunyian, aku membuka lemari es, dan mengecek masih ada makanan apa yang bisa aku makan tanpa harus dimasak. Di freezer atas, ada sosis beku, ayam mentah, dan ikan yang sudah dimarinasi. Aku menutup kembali freezer tersebut dengan menghela napas, “Tidak ada yang bisa dimakan.” Lalu membuka kulkas bawah, ada beberapa sayuran mentah, timun, tomat, dan lemon. Aku menelan ludah, sepertinya seger, ngemut lemon dicocol garam alus, nih. Jadilah aku ambil dua buah lemon, aku iris tipis-tipis, lalu aku ambil juga garam alus, dan aku tarok di mangkuk, air liurku benar-benar menetes, membayangkan segarnya. Tapi naas, ketika aku sudah selesai dengan persiapanku menyantap lemon itu, pintu kamar Bapak dan Ibu terbuka, dan aku memekik karena kaget, sehingga jatuhlah semua mangkuk garam dan irisan lemon tadi ke lantai, dan berserakan. “Tan, ngapain, malam-malam gini?” rupanya itu Ibu yang keluar. Aku bingung harus ngomong apa, karena makanan yang baru saja aku ambil ini, tidak biasa untuk ukuran orang normal. Belum sempat aku ngomong, Ibu sudah lebih dulu mendekatiku, dan mengernyitkan kening, “Kamu ngiris lemon untuk apa, Tan? Ini, garam alus? Mau buat apa, jam segini ngiris lemon sama garam alus?” aku diam, mencoba memutar otak mencari alasan. Entah ada apa dengan mulutku, bicara sebelum menemukan alasan yang masuk akal, “Mau aku gadoin, Bu. Segar, irisan lemon, dicocol garam alus.” Aku menelan air liur. Ibu benar-benar kebingungan, itu terlihat jelas di wajahnya, “Kamu gak salah, setengah tiga subuh, makan beginian?” aku menggeleng, “Enggak, Bu. Ada yang salah, ya?” Ibu mengangguk, “Salah banget, Tan. Kamu kayak orang ngidam aja. Kalo laper jam segini tuh, orang kebanyakan makan mi, pesen sate, cari nasi goreng, atau makanan yang bikin kenyang. Kamu malah ngemil lemon. Kamu hamil, Tan?” aku berjengit, terkejut, dan menggeleng, “Ih, apaan, Ibu. Gak mungkinlah aku hamil. Nikah aja belum.” Ibu lalu berlalu ke kamar mandi, sambil bilang, “Ya, harusnya gitu. Dijaga jangan sampe bikin Ibu sama Bapak malu, karena kamu hamil duluan. Tunggu sampe sah. Udah, diberesin itu. Jangan makan begituan jam segini, nanti kamu malah sakit perutnya.” Dan masuk ke kamar mandi lalu menutupnya. Aku hanya bisa terdiam dan berpikir, bagaimana caranya menyampaikan hal ini, dan apa yang akan terjadi, jika Ibu dan Bapak tau kalo aku hamil? Sambil membereskan ceceran, lemon yang tumpah dan juga garam yang berserakan, aku memasukkan lemon itu ke mulut, sambil bergidik asem, tapi segar. Mulutku juga enakan, gak mual. Setelah membereskan semua, aku kembali ke kamar dengan kecewa karena sudah membayangkan segarnya lemon dicocol garam. Aku kembali ke tempat tidur dan mengecek handphone. Karena kesal, tidak ada jawaban dari Abizar, aku mencoba meneleponnya kembali, dua kali deringan, telepon diangkat, suara ngantuk Abizar di seberang sana yang menjawab, “Iya, sayang. Hari ini aku capek banget, besok kita ketemu, ya. Aku jemput kamu, aku udah kangen sama kamu.” Aku yang kesal langsung memberondongnya dengan berbagai pertanyaan, “Kamu dari mana aja, sih. Aku daritadi neleponin kamu, ngirim pesan, gak ada yang kamu tanggapi. Aku ini lagi sakit, kamu kan tau. Tapi sehari pun, kamu belom ngejenguk aku.” Hanya hening di seberang sana, tidak ada jawaban. Akhirnya aku putuskan sambungan teleponnya, dan mengetikkan pesan, “Besok, sebelum ke rumah, bawain aku lemon yang besar dan segar, juga dingin yang baru keluar dari lemari es, plus garam alus. Aku gak mau tau, kalo kamu gak bawain, aku marah.” Lalu membanting handphone-ku di ranjang, kesal. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD