Tumis Kangkung

1320 Words
Setelah sampai di lantai bawah, kutolehkan wajah ke kiri dan kanan mencari sosok Rangga. Agak susah menemukan Rangga di antara ratusan orang yang sedang berjalan keluar, karena sekarang waktu pulang kantor juga bersamaan bubarnya orang produksi yang lembur satu jam pertama. Ditambah lagi banyaknya pedagang kaki lima yang mencari peruntungan dengan berjualan di depan dan menghalangi jalan. Salahnya, aku tidak membawa handphone, sehingga aku harus ikut berdesak-desakan dengan orang-orang yang bubaran ini. Masih berusaha untuk menemukan Rangga, setelah melewati gerobak pentol bakso pria tinggi dengan rambut kelimis karena diberi pomade terlihat gelisah. Aku berdiri di belakangnya, badanku terbilang tinggi jika dibanding teman-teman lain di kantor, tapi dengan Rangga tinggi badanku hanya sebatas dagunya mungkin. Dia tumbuh lebih tinggi padahal zaman sekolah dulu masih tinggian aku. Setelah ketemu, kutepuk pundaknya, agar Rangga tau kalo aku ada di belakangnya, tapi reaksinya malah bikin aku kaget dan dia kaget. Pura-pura kaget tepatnya, karena setelahnya lelaki itu tertawa. “Akhirnya tuan puteri keluar juga dari sarangnya, kita mau langsung jalan sekarang?” aku menggeleng, “Maaf, Rangga, aku belom beres nih, masih ada beberapa dokumen yang harus diberesin sebelum pulang, ehm … masih mau nunggu atau kita tunda rencana kita hari ini, dialihkan ke hari lain?” dia menggeleng, “Nope. Objection, aku udah pegel nungguin kamu di sini kayak orang nyasar, terus mau dibatalin gitu aja, gak bisa donk.” Aku mengangguk, “Oke, kalo gitu, ikut masuk dulu, yuk. Kerjaanku masih banyak, paling habis magrib baru selesai, tetap mau nungguin?” Aku menanyakan lagi, tetapi Rangga kelihatannya tengah berpikir keras. “Gak usah banyak mikir, itu ubanmu udah banyak dipake mikir apa gak nambah?” dia tertawa, barisan giginya yang putih, rapi, dan bersih terlihat, “Aku di sini aja, Tan. Asli malu, ini kan dalam rangka jalan-jalan pribadi, bukan masalah kerjaan,” tolak Rangga. Aku berargumen ke Rangga, “Biar aku tenang kerjanya, Ga. Aslinya gak enak ninggalin kamu di sini, kalau ada yang nyulik gimana? Pilihannya hanya dua, kamu ikut aku ke dalam, tunggu aku sampai selesai, baru kita jalan atau kita batalin rencana hari ini kita ganti ke hari lain, all yours, now.” Godaanku kontan membuat Rangga tertawa. Tak lama kemudian dia mengangguk dan berjalan mengikutiku ke dalam kantor, “Iya, deh, iya. Tania mana pernah menang sih kalo udah beradu argument, matamu ituloh, Tan, gak pernah gagal dalam mengintimidasi orang.” Aku tertawa, “Loh, aku gak mengintimidasi kamu, loh, Rangga. Aku kan menawarkan dua pilihan.” Dia kemudian menggandeng tanganku, sambil kami berjalan melawan arus bubaran pabrik, “Tapi kedua piliihanmu itu tidak ada yang ngenakin, bikin susah. Hayok, tunjukin di mana kantormu.” Kami kemudian berjalan bersisian. Setelah sampai di depan ruangan Pak Anhar dan Prana menyambut kedatangan Rangga, “Wah, ini toh yang namanya Pak Airlangga.” Aku kaget, karena tiba-tiba Pak Anhar muncul di depan ruangan, aku secara otomatis melepaskan gandengan tangan Rangga. Setelahnya aku mempersilahkan Rangga ikut dengan Pak Anhar dan Prana masuk ke ruangan itu, tiga pria dewasa itu duduk di sofa dan bertukar cerita, “Saya ke ruangan dulu, ya.” Mereka bertiga mengangguk. Aku berjalan ke pantry mencari Pak Dirman, untuk OB yang satu ini tidak akan pulang sebelum semua karyawan pulang, maka aku meminta Pak Dirman untuk membuatkan minuman dan membawakan beberapa makanan yang ada di kantin, “Pak Dirman, tolong saya buatkan minuman untuk tiga orang, ya, Pak Anhar, Pak Prana, dan satu lagi klien perusahaan. Sama tolong ambilkan beberapa makanan di kantin, atas nama kantor, ya, Pak, nanti tagihannya kirim ke kasir. Terus antarkan ke ruang rapat.” Pak Dirman mengangguk, “Siap, Bu Tania.” Setelahnya aku berjalan ke ruangan dan masih menemukan Yani juga Banun di sana, “Loh, kalian belom pulang?” Yani menjawab, “Sebentar lagi ini, Mbak, udah beres, tinggal matiin komputer, ayo, Nun, kamu gak pulang?” aku baru sadar, wajah Banun ditekuk, aku yang gregetan, langsung aja nanya ke dia, “Kenapa sih, wajahmu ditekuk begitu? Yani punya utang sama kamu?Atau aku ngambil suamimu, Nun, kenapa?” tanyaku ketus, sebodo deh, anak ini sekali-kali harus dikasih pelajaran. Ketika dia melihat wajahku yang tidak bersahabat, dia mencoba tersenyum, “Gak kenapa-kenapa, Mbak. Pak Prana berarti ikut ngobrol sama tamu di ruang meeting, ya, Mbak?” astagfirullah, aku gak nyangka, Banun begini karena dia gak bisa ikut pulang bareng Prana, “Iya, Prana ikut di dalam ruang meeting itu. Oalah, Nun-Banun, mukamu ditekuk seribu begitu karena mau nebeng pulang sama Prana? Jangan dibiasain, Nun. Anak gadis, apalagi dengan jilbab lebar kayak kamu gini, sering jalan berduaan sama lelaki yang bukan mahrom dan belom tentu juga jadi mahrom, kan? Inget sama jilbab, jaga kelakuan, jaga marwahmu.” Kicep. Dia tidak menjawab lagi, hanya diam, dan mengangguk, “Iya, Mbak.” Dan akhirnya Yani juga Banun keluar dari ruangan berbarengan. Akhirnya aku bisa kembali bekerja dengan tenang, mencocokan data, mencatat laporan penjualan. Sesekali terdengar tawa dari mereka. Saat aku melirik, Prana tengah melihat ke arahku. Buru-buru kualihkan pandangan berusaha memfokuskan diri dengan melihat layar di depanku. Tidak terasa sudah lebih dari setengah pekerjaan aku selesaikan, sesuai perjanjian setengahnya lagi akan dikerjakan esok hari. Buru-buru kuinput data yang sudah selesai. Lalu kumatikan komputer. Lega rasanya, saat masuk ke ruangan meeting tempat ketiganya ngobrol, ketiganya menoleh, “Gimana ngobrolnya, bapak-bapak?” aku menyapa mereka, “Untung hari ini Pak Airlangga ke kantor kita, Tan, banyak banget kemungkinan-kemungkinan kerja sama yang bakal terjalin. Baiklah, karena Bu Tania sudah selesai, artinya waktu kita ngobrol juga selesai, saya pulang duluan, ya. Mau jempu anak nih, di rumah neneknya, saya duluan, ya.” Pak Anhar bangkit dan pamit, lalu keluar ruangan setelah menjabat tangan Rangga dan Prana. “Duduk dulu, Tan, aku bikinkan kopi,” ujar Prana. Sebelum aku sempat mencegahnya dia melesat begitu saja. “Dari obrolan barusan yang kutangkap, info yang aku dapat, katanya tiap hari kamu lembur, Tan?” selidik Rangga. Aku menggeleng, “Gak tiap hari juga, sih. Ngomong-ngomong, jadi jalan kita?” Rangga mengangguk, “Ya, jadi, donk, aku pengen tumis kangkung.” Aku tertawa, “Kamu itu, Rangga, jauh-jauh ke Bandung yang dicari tumis kangkung? Di Bogor gak ada kangkung?” Rangga agak cemberut, dia mengambil permen mint dari toples bulat yang sengaja disediakan untuk tamu. Membuka plastiknya dan memakannya perlahan. “Kalau dibilang sakit hati, aku masih sakit hati sama yang namanya tumis kangkung,” ujarnya. Keningku berkerut berusaha mencerna ke mana arah obrolan ini. “Ngomong apa sih, jangan bilang kamu ingat kejadian waktu kita SMP dulu?” memoriku berputar, ke masa itu, teringat dulu, saat pelajaran kerumahtanggaan di SMP, diadakan praktik masak di sekolah dan aku masak tumis kangkung. Namanya anak SMP, ketika melihat makanan matang teman-teman langsung saja menyerbu minta nyicip sampai sepiring kangkung yang kubuat tandas. Di sanalah kemarahan Rangga bermula, pria ini kecewa karena tidak kebagian kangkung. “Itu kamu ingat, kesel banget tau, masa yang lain dibagi lah aku enggak.” Aku keheranan “Dan kamu ngambek waktu itu?” Rangga menjawab “Gak ngambek, Tania,” elak Rangga. “Iya, gak ngambek, tapi diemin aku, bener gak?” Rangga akhirnya tertawa, dia mengaku kalah dan mengakui saat itu dia cemburu, harusnya Rangga orang pertama yang mencicipi tumis kangkung bikinan Tania, bukan orang lain. Ketika kami sedang ngobrol, sekilas aku melihat dari pantulan kaca di depanku, aku melihat Prana berdiri terpaku di samping meja kerja Banun. Jaraknya kira-kira empat meter dari tempat duduk aku dan Rangga. Aku tahu dia mendengarkan, aku sengaja menoleh ke belakang. Saat tatapan mata kami bertemu aku melihat wajahnya yang kecewa, disimpannya cangkir kopi di atas meja. Lalu balik badan ke belakang. Aku tidak mau memanjangkan masalah ini, aku langsung mengajak Rangga untuk pergi, “Yuk, jalan sekarang, biar kita bisa magriban di masjid depan.” Rangga menyauti ajakanku, “Loh, Pak Prana tadi katanya mau buatin kamu kopi.” Aku diam, “Gak jadi, kayaknya orangnya udah pulang.” Aku pura-pura melihat handphoneku. Aku dan Rangga bergegas keluar dari ruangan tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD