Coffee, Please

1145 Words
“Yan, kalau ada yang nyariin aku, tolong bilangin aku lagi ada agenda meeting, ya, di store pusat.” Sambil bicara ke Yani, sambil juga aku rapikan beberapa barang bawaan yang sekiranya nanti aku perlukan. Yang paling penting adalah charger handphone, dompet, lotionku, cadangan masker, dan yang pasti tidak boleh dilupakan adalah tumbler berisi kopi yang sudah aku siapkan untuk bekal di jalan. “Siap Mbak, Tan. O iya, nanti kira-kira bakal balik ke kantor lagi, gak, Mbak?” tanya Yani. “Lihat kondisi nanti, Yan. Kalau emang meetingnya selesai dan masih di jam kerja, ya, wajib, kudu, harus balik, lah, Yan. Walaupun sebenarnya jarak dari store lebih deket ke indekosku. Tapi kalo emang kesorean dan emang udah jamnya pulang kantor, aku langsung balik. Kenapa, gitu, Yan? Kalo ada yang perlu dibicarakan, chat aja, nanti aku coba jawab sambil jalan, ya.” Yani mengangguk, “Siap, Mbak. Kalo urgent banget, aku izin ngehubungin Mbak, ya.” aku mengangguk dan sekilas aku melihat ke arah Yani, di sebelahnya ada Banun, ada rasa penasaran, kenapa sejak pagi dia sama sekali tidak menyapaku. Entah sepertinya dia kesal. Tapi kesal denganku karena alasan apa, aku tidak paham. Aku mencoba dan berusaha mengingat-ngingat barangkali ada perkataan yang membuatnya merajuk seperti itu. Tapi aku tidak menemukan satu pun alasan yang bisa menjelaskan penyebab Banun mogok bicara seperti ini. Aku jadi ingat kejadian tadi pagi, saat Banun dan Yani sedang asik ngobrol tiba-tiba saja Banun berhenti bicara ketika melihatku, lalu dia pamit pada Yani dengan dalih ada pekerjaan yang harus dia selesaikan, dan melenggang ke mejanya tanpa menyapaku, bahkan tanpa melihat ke arahku, “Mbak Tania, kata pak sopir mobilnya sudah siap,” ujar Ferdi. Bos besar pinter banget deh, mengatur perjalananku kali ini. Aku harus menggunakan mobil kantor dan ditemani dengan sopir. Memang, sih, nantinya aku tidak perlu lelah berada di belakang kemudi. Namun, dengan menggunakan mobil kantor yang disopiri aku tidak bisa mampir pulang untuk sekadar mandi dan berganti pakaian. Memiliki ukuran badan yang subur sepertiku membuat produksi keringat cukup banyak, dan itu membuatku tidak nyaman dan risih. “Makasih, Fer. Yani, Banun, aku pamit ya, jalan dulu.” Ucapku pada mereka. Yani memberi wejangan agar aku berhati-hati, “Hati-hati di jalan, Mbak. Nanti kalo ada yang perlu aku tanyakan, aku izin hubungi, ya.” Sementara Banun dia tidak peduli, pura-pura sibuk dengan komputernya, padahal aku tau, sebenarnya dia melihatku, karena pandangan kami tadi sempat bersirobok, tapi dia memilih untuk memalingkan wajahnya, menganggapku tidak ada. Setelah turun ke bawah, aku celingukan, mencoba mencari mobil kantor yang mana kali ini yang akan mengantarkanku. Lalu aku menemukan mobil jenis SUV yang siap mengantarku hingga ke store di mana meeting akan berlangsung, setelah supir kantor menyapaku, dan menunjukkan di mana mobilnya di parkir, “Bu Tania, mobilnya di sebelah sana. Mari saya bawakan barang-barangnya, Bu.” Sopir kali ini Pak Andri, seorang lelaki berusia pertengahan tiga puluhan yang selalu memakai rompi. Berkali kali diingatkan agar rompinya di lepas saja karena menutup identitas bahwa dia adalah sopir perusahaan. Sayangnya dia berkilah bahwa jika tidak memakai rompi dia mudah sekali masuk angin. Logat sunda banget, terkadang dia keceplosan nyerocos dengan bahasa sunda sementara aku bingung karena tidak mengerti. Seperti kapan waktu, aku pernah nanya Pak Andri, kenapa gak lepas rompi, padahal cuaca saat itu lagi panas banget, “Abdi teu tiasa ngalaan rompi, Bu. Kumargi sok lebet angin, teu kiat katiisan. Tipayun ge hilap teu kacandak, uihna ongkek-ongkekan. Teras Kedah reureuh we, kumargi lungse.” Dan jawabannya sungguh bikin aku harus nanya ke Yani, “Itu Pak Andri ngomong apa sih, Yan?” dan disambut dengan ketawa Yani yang mungking menganggap apa yang aku tanyakan lucu, “Oalah, itu mah artinya [Saya gak bisa lepas rompinya, Bu. Soalnya saya sering masuk angin, saya orangnya gak tahan dingin. Karena pernah beberapa kali, saya kelupaan bawa rompi ini, pulangnya saya langsung muntah-muntah, dan harus istirahat karena badan saya lemes.] gitu, Bu Tania.” Yang alhasil aku hanya bisa meringis dan garuk-garuk kepala yang tidak gatal. "Ayo, Pak. Tunggu apalagi?" ajakku, ketika pak Andri masih diam di belakang kemudi. Seperti sedang menunggu seseorang. Karena dari tadi, aku sudah duduk di kursiku, tapi ini mobil kok gak jalan-jalan. "Masih ada yang ditunggu, Bu Tania. Ada Pak Dirman sama Pak Prana mau ikut, Bu," jawabnya bersamaan dengan Prana memasuki mobil. Deg, Prana? Mau ngapain dia kok ikut juga di mobil ini. "Assalamualaikum," ucapnya. “Waalaikumsalam, Pak.” Aku menjawab salam, lalu tersenyum seperlunya pada lelaki itu. Tidak lama berselang Pak Dirman masuk dan duduk di jok samping sopir, dia membawa catatan dan mulai ngobrol ngalor ngidul sama pak Andri. Rupanya Pak Dirman, ada meeting juga dengan yayasan yang membawahinya. Semua petugas kebersihan dan penjaga keamanan adalah karyawan yayasan yang di pekerjakan di perusahaan yang ditunjuk. "Meeting di store pusat juga, Bu Tania?" tanya Prana. “Iya, Pak” sambil mengangguk, aku mengiyakan pertanyaannya, lalu kembali fokus pada gawai. Bermain game. "Suka game itu juga? Dulu sebelum ponsel saya nge-hank saya juga suka, tuh, main game itu. Jadi inget game watch zaman sekolah dulu, tetris jadi idola setiap orang. Aku dulu sampe rebutan sama Abang di rumah, lalu dimarahi Ibu. Ibu tuh yang selalu aja ngomel-ngomel kalo kami udah rebutan mainan, ah … jadi kangen Ibu." Cerocos Prana. Mau tidak mau aku tersenyum membayangkan lelaki ini fokus bermain game. Raut wajahnya selalu terlihat manis saat sedang konsentrasi. Aku langsung menggeleng-gelengkan kepalaku, mikir apaan sih, aku ini. "Tan, maaf, ya, aku malah nostalgia sendiri." Bisik Prana. Sontak aku menoleh, barisan giginya yang putih adalah hal pertama yang aku lihat. Dia tersenyum lagi dan parahnya aku selalu luluh kala melihat senyum itu. Rasa canggung akhirnya sirna, aku, Prana dan Pak Andri terlibat dalam sebuah obrolan seru. Sementara Pak Dirman sudah sampai di tempat tujuannya lima belas menit yang lalu. Aroma pengharum ruangan mobil berhasil menggelitik hidungku, karena berbaur dengan parfum Prana yang selalu melekat dalam ingatan, bahkan ketika dia tidak ada dan tidak beredar di sekelilingku. * Tanaman sansevieria yang berderet di samping pintu masuk gedung utama menyambut kedatanganku. Waktu menunjukkan pukul empat belas. Kulihat Pak Dirman sudah berada di kantor, lelaki itu sedang menyeduh kopi di pantry. "Sekalian, Bu?" tawarnya, seraya menunjuk satu kantong kopi yang katanya oleh-oleh dari Garut. Aku menggeleng, "Sudah kembung, Pak. Kebanyakan kopi." Ku perlihatkan tumbler kotor yang hendak aku cuci. Rencananya aku akan isi dengan air putih, “Biar saya cucikan, Bu Tania, tumblernya. Nanti sekalian saya isikan air putih, dan saya antarkan ke ruangan Ibu.” Aku menggeleng, “Gak usah, Pak. Makasih, biar aku cuci sendiri. Nanti acara ngopi Pak Dirman jadi gak seru lagi, kopinya keburu dingin.” Kataku ke Pak Dirman, ketika air panas beradu dengan bubuk kopi, dan tidak bisa dipungkiri juga, saat itu sontak aroma kopinya menyelusup ke hidung, indera penciumanku rasanya seakan dimanjakan dengan aromanya. Aku selalu terhipnotis. Aroma kopi yang baru diseduh air panas mendidih, selalu membuat mood meningkat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD