Perihal Traktir Menjalar ke Hati

1035 Words
Sudah seminggu ini, tepatnya sejak Prana menggumamkan kalimat yang sedikit membingungkan dan membuatku bertanya-tanya, ada apa dengan gumamannya itu. Heran aja, aku dibuat oleh Prana, memangnya belum cukup ya perkenalan antara aku dengan dirinya. Mau mengenal aku lebih lanjut, begitu ucapnya kemarin. Rasanya dan seharusnya, sih, dia sudah tahu siapa aku. Toh waktu pertama dia datang ke kantor ini kami sudah berkenalan juga, bahkan aku orang pertama yang diminta Pak Anhar untuk mempersiapkan acara penyambutannya dan berhasil dibuat repot karenanya. Kenapa begitu? Ya, karena aku harus pulang lebih sore untuk menyelesaikan semua pekerjaanku yang tertunda karena mempersiapkan acara penyambutan Prana sebagai karyawan baru di kantor kami. Lalu kemarin itu, dia bilang mau lebih mengenalku? Ucapan ambigu yang berhasil membuatku kepikiran dengan ucapannya sampai sekarang, dan sukses membuatku memikirkannya, karena memang pada dasarnya juga aku memang sering over thinking tentang sesuatu, bahkan tentang hal-hal sepele. Well … kalo Prana mau kenal aku lebih lanjut, ya, aku ini memiliki nama Tania Larasati Hadi, pekerjaanku adalah seorang manager keuangan di PT Mutiara Jati Furniture. Dia bahkan sudah tahu betul jam makan, jam pulang, nomor handphone, juga kebiasaanku minum kopi. Lantas apa lagi yang ingin dia ketahui dari orang sepertiku? Apakah aku harus membuat resume semua dataku dan aku serahkan saja sama dia, biar dia gak bertanya-tanya lagi. Seketika aku sadar dan memukul kepalaku, "Sadar, Tan. Masih pagi udah mikir ke mana-mana.” Jadilah pagi ini aku masuk ke kantor dan langsung menghidupkan laptopku. Dan benar saja, Prana sudah ada di depan ruanganku, berdiri dengan gayanya yang selalu membuatku terdiam sedetik dua detik, lalu menyerah pada kesadaran bahwa dia adalah Prana, rekan kerjaku, pria yang umurnya jauh lebih muda dari pada aku. Sebenarnya sejak malam kejadian itu, ketika saat dia bilang mau mengenalku lebih jauh itu, lelaki itu sering mengintil, sering muncul tiba-tiba. Bahkan terkadang, saat jam istirahat lelaki yang gemar menggunakan kemeja lengan panjang itu rela menunggu aku menyelesaikan pekerjaanku yang memang tidak pernah ada habisnya untuk sekadar makan siang bersama. Pernah sekali waktu, mungkin karena aku yang sedang kejar deadline setoran laporan keuangan mingguan, Prana sampai mengetuk pintu ruanganku berkali-kali dan bilang, “Ibu Tania yang terhormat, ini ada seseorang loh, yang sejak sepuluh menit tadi berdiri di depan pintumu, semoga kamu gak lupa, ya.” padahal untuk perkara ajak mengajak makan siang ini, sudah sering kali bahkan berkali-kali aku menolak ajakannya. Alasan yang pertama adalah karena aku agak rishi jika harus makan berdua dengannya, yang kedua akan ada muka kecut dari Banun yang pasti aku lihat jika aku kembali ke kantor setelah makan siang dengan Prana, dan yang terakhir itu karena setiap kali kami pergi makan bareng dia selalu membayar makanan kami. Bahkan jika kebetulan ada Banun juga Yani, dan dia tidak enak untuk menolak permintaan kedua makhluk itu untuk makan siang bareng, Prana juga akan ngebayarin makan siang mereka, yang tentu saja uangnya tidak sedikit. Sebagai seorang perantauan dan tinggal jauh dari orang tua aku tahu betul bagaimana rasanya harus mengencangkan ikat pinggang agar gaji kami sebulan cukup hingga akhir bulan. Aku cuma gak mau, nanti justru lama kelamaan uang Prana bisa habis jika di pakai makan untuk empat orang sekaligus saat makan siang, belum lagi kalo dia suka membelikan kami kopi atau jajanan kecil lainnya, kerja bukan bisa nabung malah bunting. Dan seperti siang ini, ketika aku masih hectic dan banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan, pria itu masuk ke ruangan, Prana lalu berdiri persis di depan mejaku, tangannya perlahan menyapu dan menyentuh satu persatu barang yang tersimpan di atas meja. Dengan gerakan lembut, perlahan, dan sukses membuat mataku ikut melihat setiap gerakan yang dia buat, astaga, kenapa Prana seperti sedang menggodaku. Dia juga merapikan paper klip yang tumpah dan belum sempat aku rapikan. Sejujurnya aku sudah kehabisan alasan dan cara untuk membuat penolakan pada Prana, karenanya aku sedikit menunda pekerjaan, hanya untuk mengulur waktu. Tapi karena tidak enak, akhirnya aku bilang ke dia “Prana, kalau mau makan berangkat aja duluan, lagi pula Yani sama Banun sudah berangkat lebih dulu. Aku nyusul entar.” Prana sedikit kecewa. Dia hendak membantah, untung saja Ferdi datang. “Bro, lo bawa mobil, kan?” tanya Ferdi “Bawa, kenapa?” jawab Prana “Di suruh bos besar ke Punclut, yuk,” ajak Ferdi, Prana merogoh kantong celana, kemudian menyerahkan kunci mobil pada Ferdi, “Nih, bawa aja mobilnya, gue belom makan siang, lagi nunggu Bu Tania, mau makan siang bareng.” “Gue gak bisa nyetir, Bro, anterin yuk. Gak apa-apa, kan, ya, Bu Tania, saya pinjem Prana-nya hari ini?” Jujur aku lega, lalu mengangguk cepat, “Gak apa-apa, silakan ajak saja. Ke manapun kamu minta diantar, pasti Pak Prana bersedia, Pak Prana kan orang baik, ya, kan, Pak?” aku menengok ke arahnya. Prana mendesah berat. Lalu dengan enggan dan langkah yang sedikit diseret, dia mengekori Ferdi setelah pamit padaku. Jelas banget terlihat di wajahnya kalo dia keberatan diajak Ferdi pergi. Setelah kepergian kedua makhluk kasat mata itu, tanpa menunggu lama aku menyusul Yani dan Banun yang sudah terlebih dahulu ke warung pempek di sekitaran pabrik. Belum juga aku meletakkan pantatku untuk duduk di bangku, udah disambut dengan celoteh tidak menyenangkan, “Yaaah, kok sendirian, sih?” protes Banun kala melihat aku datang seorang diri. Terlihat sekali dia kecewa hingga membuatku tidak tahan untuk menggodanya, “Kamu nunggu traktirannya atau orangnya?” tanyaku, dengan wajah sedikit tidak enak. Biar saja, anak ini harus dikasih tau, kalo kelakuannya lama-lama mengganggu. “Dua-duanya, Mbak,” jawab Banun malu-malu. Yani terkikik dibuatnya, aku hanya bisa tersenyum kecut, “Jangan kebiasaan minta traktir gitu. Gak enak sama Pak Prana, dia juga anak perantauan, sama seperti saja, gajinya juga gak jauh beda sama kita-kita ini. Nanti kalo dia kehabisan uang perkara sering traktir kita, kamu gak kasian, apa?” lalu memesan satu porsi pada mbak penjual yang bertanya di balik konter. Yang diikuti dengan anggukan kepala Yani, “Bener, Nun, kata Bu Tania. Jangan sering-sering minta traktir Pak Prana, gak enak.” Banun cemberut, “Iya-iya, aku kan cuma bercanda.” Lalu meneruskan makannya dengan pelan, wajahnya itu, kalo sedang tidak suka dengan sesuatu atau tersinggung, nampak banget, terlihat jelas. Lalu kami makan dalam diam, sambil tenggelam dengan pemikiran masing-masing dan menikmati porsi empek-empek yang ada di hadapan kami.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD