POV Prana_Pranadipta Respati

1240 Words
Aku terkesiap, dan beranjak dari setumpuk laporan kala mendengar wanita seusia Ibu memanggilku dengan nama lengkap. Beliau Bu Rosi, atasanku. Aku bekerja di sebuah toko furnitur berbahan dasar Jati. Toko furnitur ini bisa terbilang salah satu toko furnitur terbesar di Bandung. Toko furnitur ini adalah toko perlengkapan rumah, dengan aneka pilihan bentuk, motif, dan model. Mulai dari lemari baju, lemari makan, ranjang, kitchen set, kursi tamu, kursi santai, meja belajar, meja makan, apa saja yang dibutuhkan konsumen, selalu bisa kaki sediakan.  Selain memang ada furnitur yang siap dan bisa langsung dibawa pulang, kami juga menerima orderan sesuai dengan keinginan pelanggan. Toko ini merupakan yang terbesar dan juga tersebar di seluruh Indonesia, terutama Priangan timur. Toko ini memiliki kantor pusat yang sekaligus merangkap pabrik di daerah Kabupaten Bandung. Menjawab panggilan Bu Rosi, aku ke ruangannya, “Ada yang bisa saya Bantu, Bu.” Bu Rosi diam, dia memandangku lalu membuka kacamata yang berbingkai tebal. “Silakan duduk, Nak.” Firasatku tidak enak, seperti mengatakan ada hal yang tidak baik-baik saja di sini. Wawan salah satu rekan kerjaku, dia berpura-pura fokus pada laporan penjualan, padahal aku tahu, lelaki yang baru saja menjadi ayah tersebut sedang pasang telinga, berusaha mendengar percakapan antara aku dan Bu Rosi. “Pak Anhar sudah melihat kinerja kamu. Bukan hanya kamu, semua staf yang ada di store memang dalam pantauan beliau belakangan ini. Dan kamu menjadi yang terpilih. Kabar baik untuk kamu karena akan di tarik ke kantor pusat. Dan kabar buruk buat saya karena kehilangan karyawan yang rajin seperti kamu.” Aku hanya diam. Rasanya seperti mimpi. Setelah mengantongi ijazah sarjana beberapa kali kukirim lamaran ke kantor pusat, sayangnya tidak satu pun lamaran yang ditanggapi. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk memasukan lamaran ke store ini. Keluarga besar cukup menentang pasalnya mereka menyayangkan Ijazahku. “Masa sarjana kerja di toko meubel. Ngapain capek-capek kuliah, bayar uang jutaaan, kalo setelah lulus malah kerja di toko meubel.” Begitu kata mereka. Belum lagi ucapan Ibu yang lumayan menohok hati,  “Toko meubel begitu banyak di Bandung, kenapa jauh-jauh sampai ke Jakarta,” seloroh Ibu saat melepas kepergianku ke Ibu Kota. Dan kini, apa yang ku inginkan akhirnya terkabul. Aku bisa pindah ke Bandung, dekat dengan Ibu, dan kerja di perusahaan impianku. “Wuiiih selamat, Bro,” teriak Wawan kegirangan. Bu Rosi tersenyum dan menjabat tanganku sementara aku benar-benar tak bisa berkata-kata. Satu minggu kemudian, aku menjejakkan kaki di kantor Pusat. Aroma kayu tercium lebih menyengat mengingat kantor pusat ini berada di sekitaran tempat produksi. Di luar dugaan kedatanganku ke kantor ini di sambut antusias oleh seluruh karyawan. Bu Rosi berkata, aku harus rajin bekerja karena Bos Besar sedang menyiapkan reward rmroh untuk karyawannya yang berprestasi. “Selamat siang semuanya, mohon bimbingannya,” ucapku. Benar-benar di luar dugaan. Acara penyambutan yang khusus di adakan untuk menyambutku. Semua karyawati mengerubutiku, aku berusaha menjauh, agar tidak bersentuhan dengan mereka. Hanya satu yang menarik perhatianku. Dia sedang asik ngobrol dengan Pak Dirman. Mendengar dari Bu Yani, katanya perempuan itu yang mempersiapkan acara ini untuk menyambut kedatanganku. "Mohon bimbingannya, Bu,” ucapku seraya mengangguk dan berusaha tersenyum. “Selamat datang, Pak Prana. Semoga Bapak betah di cabang ini.” Wajahnya tegas dan terkesan judes, tapi ada yang menarik dari perempuan bertubuh subur ini. Entah apa, apalagi saat dia terlihat begitu grogi hingga lututnya terbentur meja. Wajahnya bersemu merah, mengantarkan desir aneh dalam dadaku. Namanya Tania, hari demi hari aku habiskan waktu untuk mendekatinya. Aku tidak pernah percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Nyatanya kini aku merasakan itu. Aku sempat ragu karena usianya terpaut enam tahun dariku. Tapi kenapa tidak? Selama aku bisa mengayomi dia, bisa menjaga dia, terlebih saat perempuan keras kepala itu selalu bekerja tanpa kenal waktu. Ah ... Ngomong apa aku ini, udah menghayal yang kejauhan, padahal belum tentu juga dia mau menerima perasaanku terhadapnya. Selain terlihat berbeda dengan kebanyakan karyawati di kantor ini, aku juga tahu dia selalu datang paling pagi dan pulang belakangan, padahal kata Ferdi tempat indekos Tania lumayan jauh. “Pasti kamu lupa makan, ya? Sekarang belum makan, kan?” tanyaku. Jujur beberapa hari aku sempat mendiamkan Tania. Hari Senin aku semangat sekali akan berbuka puasa bersamanya, sayangnya dia menghilang begitu saja, membuatku kesal.i Da protes dan bertanya kenapa aku hanya menanyakan perihal makan dan makan saja, Tania terlihat kesal. Aku terus mengikutinya hingga ke area parkir perusahaan. “Karena kamu gak pernah perhatian sama diri sendiri, Tania.”  Tapi dia menjawab ucapanku dengan ketus, bahwa aku gak tau apa pun tentangnya, bahwa dia seperti kurang suka berada dalam kondisi berduaan saja denganku, bukan mahram. Begitu ucapnya. See ... Bagaimana aku tidak semakin jatuh cinta kepadanya, mandiri, anggun, pandai menjaga marwahnya sebagai wanita. Walaupun, terus terang saja aku kecewa mendengar penuturannya. Rasanya sudah tak tahan lagi ingin menumpahkan segala perasaan yang aku pendam selama ini. Hingga tak sadar aku sedikit berteriak, memintanya membuka hati dan membiarkan aku mengenalnya lebih jauh lagi. Setelah mengucapkan itu hari-hari mulai tidak sama. Tania benar-benar menghindariku. Sayangnya dia tidak tahu kalau aku adalah Prana. Pantang bagiku untuk menyerah. Banyak kesamaan antara aku dan Tania. Salah satunya adalah Harmony, suatu ketika kala sedang menikmati secangkir kopi bersama teman-teman, aku melihat dia. Duduk di salah satu sudut paling nyaman di Harmony, sebuah kafe dengan konsep taman baca. Suatu ketika, aku sudah tidak dapat menahan perasaanku. Aku takut lama-lama menumpuk dosa karena sering membayangkan wajah Tania. senyumnya, lirikannya semuanya. Perempuan itu benar-benar sudah mengacaukan duniaku. Hingga aku memberanikan diri untuk melamarnya, meminta agar dia bersedia menikah denganku. Suasana kantor yang masih sepi membuat kami leluasa berbicara. "Aku hanya minta satu, izinkan aku masuk, memperbaiki hatimu, aku gak tau apa aku mampu paling gak kasih aku kesempatan."  Kami sempat adu argumen, aku menanyakan kepadanya kenapa dia seperti ini. Banyak ucapan yang menyakitkan yang aku dengar keluar dari mulutnya. Bukan, bukan menyakitkanku, tapi menyakitkan untuknya, dari ucapannya yang aku dengar, Tania, dia mengalami kehidupan yang tidak menyenangkan, tubuhnya yang tambun, membuatnya merasa tidak pantas dicintai, dan aku juga baru tau, bahwa dia pernah menikah, lima tahun lalu. Bercerai karena keluarga suaminya menyalahkan dirinya karena dia tidak kunjung hamil, bahwa karena dia pemalas, tidak bisa mengurus rumah, tidak pandai mengurus suami. Dan setelah mendengar itu, aku tahu, ini tidak akan mudah untukku masuk ke hatinya, tapi aku tidak akan menyerah.  *  Sejak aku mengajak Tania menikah dia mulai berubah. Sedikit demi sedikit membuka hati. Meski terkadang dia suka ngambekan seperti anak kecil. Apalagi jika Banun selalu berusaha mendekatiku, aku tahu jelas-jelas Tania cemburu. Aku datang lebih pagi, selain ada beberapa urusan yang harus aku kerjakan. Dari kejauhan aku dapat melihat beberapa karyawan produksi yang berseragam biru tua berjalan beriringan. Sebagian besar karyawan produksi adalah laki-laki. Tugas mereka memotong kayu, menghaluskan hingga menjadikannya furnitur mewah yang biasa diburu para pecinta produk yang terbuat dari kayu jati. Dan seseorang yang aku tunggu akhirnya tiba. Namun, entah kenapa dan apa yang terjadi, aku melihat telapak tangannya berdarah dan sekuat tenaga dia tahan agar tidak terlalu banyak darah yang keluar. Dia menahan tangis, dasar wanita keras kepala. Di saat seperti itu saja dia masih menolak bantuan dari Yani, yang berusaha membantunya, dan hendak mengantarkan Tania ke klinik terdekat. "Aku bisa naek taksi online, Yan. Biar aku sendiri, gak apa-apa. Terima kasih, Yan.'' Sepeninggalan Yani, aku melihatnya menangis, menggigil, seperti orang yang ketakutan. Aku yakin ada yang tidak beres. Itu bukan luka kecil hingga menggerakkan kakiku untuk menghampirinya.  ''Hei ... wonder women, izinkan aku membantu agar darahnya gak ngucur terus gitu, ya. Sini ... ''
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD