Another Drama

1075 Words
Pukul delapan malam, ketika aku sedang membuka laptop dan mencoba mengetikkan beberapa kata di jurnal harianku, pintu kamar kostku diketuk, “Mbak Tania, ini saya Mang Darma, Mbak. Udah tidur, belum?” aku menyahuti panggilan Mang Darma, “Iya, sebentar.” Lalu mengambil jilbabku, heran juga malem-malem gini Mang Darma ngetuk pintu kamar, karena gak biasa. Ketika aku membuka pintu, selain Mang Darma, ada Prana juga di sana, “Mbak, ini katanya teman Mbak mau ketemu, Mbak mau ditemani?” aku heran, kenapa ada Prana malam-malam di sini, “Kamu ngapain Prana? Tunggu, Mang, temani kami, biar gak hanya berduaan.” Mang Darma mengangguk dan berdiri memberi jarak agar kami berdua bisa ngobrol dengan santai, tapi masih bisa dia lihat, “Kamu harus pindah kostan, Tan.” Aku mengernyitkan dahiku, “Pindah kostan, gimana maksudnya? Kamu kenapa Prana, tiba-tiba gini, dateng-dateng nyuruh aku pindah kostan. Kamu lagi mimpi atau gimana, Prana?” dia menggeleng seperti tidak sabaran, “Dengerin dulu, hari ini sudah tiga kali aku bolak balik ke kostanmu ini. Pertama saat jam makan siang, aku tanya ke Mang Darma katanya kamu belom pulang, lalu saat tadi keluar sama Pak Anhar ngecek store yang baru buka, kebetulan lewat jalan ini, aku mampir sebentar untuk ngecek apa kamu udah pulang, lagi-lagi aku dapet jawaban belum dari Mang Darma, nah, yang kedua kalinya ini aku melihat ada lelaki, yang gelagatnya mencurigakan. Awalnya aku gak terlalu memperhatikan, tapi ketika aku perhatikan lagi, saat ketiga kalinya aku ke sini, saat jam pulang kantor lagi tadi, saat aku ke sini, dia masih ada di seberang sana, di warung kopi itu, dan aku baru ingat, perawakannya mirip banget sama lelaki yang kamu ceritain kemarin, yang fotonya aku lihat sama dengan foto di postingan akun medsosmu yang lama. Itu Abizar.” Aku mencerna semua ucapan yang dikatakan Prana, “Sebentar dulu, kamu liat medsos aku, ini gimana maksudnya?” Prana memegang tanganku, seperti ingin mengingatkan aku untuk fokus dengan yang diucapkannya, “Tania, lihat aku, yang tadi gak usah ditanya, mengenai medsos dan lain-lain. Yang penting itu keselamatanmu, sekarang ini. Tadi aku ke sini dan aku melihat mantan suamimu, sepertinya dia nungguin kamu. Aku gak mau kamu terluka seperti waktu itu, aku tau dia sepertinya masih belum puas hidupnya kalo belum bikin kamu sengsara.” Aku mencoba mencerna semua ucapan Prana, bagaimana sebenarnya awal mula Abizar bisa tau kostan ini, sampai kemarin dia bisa melukaiku, dan sekarang bisa muncul lagi di kostan ini. Prana melihatku kebingungan lalu meminta izin ke Mang Darma bahwa malam ini dia akan menginap di sini, “Mang, ini mah punten pisan. Saya minta izin nginep di sini, ya. Tenang, bukan di kamar berdua sama Tania, itu mah nanti kalo kami udah halal, saya akan tidur di mobil, kalo perlu saya nemenin Mang Darma begadangan deh, ngeronda di post satpam, boleh, ya?” aku menggelengkan kepala, “Gak, kamu gak perlu sampe nginep di sini. Ada Mang Darma yang bakal jagain kostan ini, Mang Darma biasanya bakal keliling, kok, ngecek ke semua lantai, jadi …” Prana menaruh telunjuknya di depan bibirku, “Jangan membantah. Kamu gak akan aku apa-apain, justru aku begini karena aku mau jagain kamu. Jadi, boleh, ya, Mang Darma? Plis atulah.” Aku tertawa melihat ulah Prana, begitu juga Mang Darma, “Wah, kalo udah berhadapan sama pejuang cinta mah, susah ini. Boleh, deh. Tapi perjanjiannya, Kang Prana temenin saya begadang, ya. Atuh kalo tidur di dalam mobil, terus tengah malam nanti Kang Prana nyusup ke sini, saya gak tau, besok saya yang dimarahin sama yang punya kostan.” Aku dan Prana jadi ketawa juga sama ucapan Mang Darma. Setelah selesai, Mang Darma pamit, karena sepertinya dia paham, masih ada hal-hal yang mau diobrolin sama aku, “Oke, saya pamit ke bawah dulu, ya. Waktu ngobrolnya sampe pukul sepuluh malam, ya, Kang. Setelah itu temui Mamang di pos ronda. Ingat, jangan macam-macam sebelum sah, dosa.” Aku dan Prana serempak mengangguk, “Pasti, Mang. Pasti saya halalin dulu Tania-nya.” Aku meninju pelan lengan Prana. Demi menghindari gosip dan kasak-kusuk dari penghuni lain, aku mengajak Prana ke bawah, ada ruang tamu umum di sana, dengan kaca yang besar dan ruangan yang terang, pasti aman dari hasutan penghuni lain, “Masih ada yang mau diobrolin, gak, Prana? Kalo masih ada, kita ngobrol di bawah, yuk. Aku gak mau kehadiranmu di sini bikin rumor gak jelas.” Prana mengangguk, “Banyak yang mau aku omongin.” Aku mengangguk, lalu ke dalam sebentar ngambil handphone dan dompet, lalu mengunci pintu, dan turun ke ruang tamu di bawah berjalan beriringan dengan Prana. Setelah kami duduk berhadap-hadapan, Prana yang membuka obrolan, dia bertanya “Jadi, hari ini kamu ke mana aja sama Rangga?” aku menatapnya, lurus, tanpa ekspresi, “Sebenarnya maumu apa, Prana? Kamu baik ke Banun, kamu perhatian ke aku. Jujur, aku bingung sama sikapmu. Bahkan hari ini kamu bolak balik ke kostanku dari kantor yang jaraknya lumayan jauh, hanya demi apa, apa alasannya?” Prana menunduk, menghembuskan napas panjang, “Dari kemarin-kemarin aku udah bilang ke kamu, aku mau serius sama kamu, Tan. Tapi tanggapanmu begitu,” suaranya lemah, “Jadi, kalo aku menolak ucapanmu kemarin dan kamu masih kasih perhatian ke aku, gak, bukan hanya ke aku, tapi ke Banun juga, jadi siapa yang sebenarnya kamu lagi coba untuk seriusin, aku atau Banun?” setengah berteriak, aku menuangkan kekesalanku. "Aku gak pernah ada hubungan apa-apa sama Banun, kamu harus ngerti itu, Tan.” Aku benar-benar kesal dibuatnya, “Kalo kamu gak ada hubungan apa-apa sama Banun kenapa sikap dan perhatianmu ke Banun seperti itu. Orang yang gak tau dan kenal pun bakal sependapat sama aku, dengan sikapmu ke Banun seperti itu, sama aja seperti kamu sedang mencoba mendekatinya, itu fakta yang undebatable, gak bisa kamu tampik.” Demi melihat aku yang mulai emosi, Prana diam, “Aku minta maaf. Sungguh, aku gak ada perasaan apa-apa sama Banun. Aku akan buktikan kalo aku serius sama kamu, Tan.” Aku menggeleng, “Percuma. Aku sudah patah arang sama sikapmu, aku sudah menutup semua kemungkinan untuk kita karena kecewaku.” Aku lalu bangkit dari dudukku, “Aku mau istirahat, aku mau balik ke kamar. Kamu gak usah nginep di sini, aku akan baik-baik saja.” Prana menarik tanganku, “Aku gak ingin kehilanganmu, Tan.” Aku melepaskan genggaman tangan Prana, “Kamu gak akan pernah kehilangan sesuatu yang bahkan tidak kamu miliki.” Setelah bicara begitu, aku bergegas pergi, naik ke kamarku, dan menguncinya. Aku ingin istirahat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD