Melayang Terbang ke Awan

1040 Words
Berbekal dengan itu, kebaikan dan perhatian Abizar, aku maju ke Bapak dan Ibu untuk membicarakan lamaran Abizar, kemarin. Bapak dan Ibu sudah tau kalo aku sedang dekat dengan seseorang, tapi mereka belum tau orangnya bagaimana dan seperti apa, karena memang aku belum membawa Abizar ke rumah, nanti saja. Jika Bapak dan Ibu sudah merestui, baru aku bawa Abizar ke rumah. Karena, aku gak mau, belum apa-apa, belum ada persetujuan Bapak dan Ibu, sudah bawa lelaki ke rumah, itu bukan tipeku. Sore itu, ketika Bapak sedang minum kopi di teras belakang dengan Ibu di sampingnya yang sedang menghidangkan tahu isi bihun kesukaan Bapak, aku mencoba membuka obrolan ini, “Pak, Bu, kalo Tania nikah besok, gimana?” aku memulai pembicaraan ini. Reaksi Bapak hanya tertawa, sementara Ibu, bertanya, “Memangnya sudah ada lelaki yang meminangmu, Tan? Kok Ibu sama Bapak belum pernah dikenalin?” aku mengangguk, “Sudah, Bu. Kemarin aku dilamar, Abizar namanya, pegawai sebuah perusahaan elektronik, dia bekerja sebagai administrasi penjualan. Aku sudah hampir dua bulan ini mengenalnya, kami nyambung, dia juga baik, dan perhatian.” Ucapanku tersebut membuat tawa Bapak berhenti, dan wajahnya mulai terlihat serius, “Lalu, bagaimana dengan keluarganya? Apa kamu sudah dikenalkan dengan keluarganya? Bagaimana reaksi keluarganya terhadap kamu, Tan, baik?” aku menunduk, ini dia permasalahannya, dari awal, Abizar belum sekalipun mengajakku ke rumahnya dan memperkenalkan aku ke keluarganya. Aku mencoba memilih kata yang tepat, agar Bapak dan Ibu tidak terlalu keras reaksinya, “Kami sudah berencana akan ke rumah keluarga besar Abizar, setelah restu Bapak dan Ibu kami kantongi.” Setelah bicara seperti itu, aku melihat reaksi Bapak dan Ibu. Mereka diam, beberapa saat, ada keheningan di antara kami. Setelah beberapa saat diam, Bapak membuka suara, “Tan, pada dasarnya Bapak dan Ibu, ikut dengan apa yang menjadi keputusanmu, toh nanti yang menjalankan pernikahan itu kalian berdua. Hanya saja, kamu juga harus mempertimbangkan hal-hal kecil, seperti misalnya, apakah keluarganya setuju dengan pernikahan kalian, nanti setelah nikah, kalian mau tinggal di mana, apakah Abizar dan keluarganya mengharapkan anak dan cucu dengan cepat, lalu apa reaksi Abizar jika kalian belum bisa dikasih amanah momongan dengan segera setelah kalian menikah, terus bagaimana keuangan keluarga kalian nanti, siapa yang akan pegang, siapa yang akan mengatur, belum lagi apakah kamu diizinkan terus kerja, jika tidak diizinkan, kamu udah siap atau belum untuk jadi ibu rumah tangga saja. Hal-hal kecil yang kesannya remeh ini, bisa jadi boomerang suatu saat nanti, Tan.” Bapak menarik napas panjang. Aku mencoba memahami yang barusan disampaikan Bapak, mencoba mencerna, bukan, bukan mau membantah, hanya saja, memang seperti yang sudah kami obrolkan, bahwa hal-hal seperti ini akan kami rundingkan saja nanti setelah menikah, sambil jalan, “Aku memang belum ngobrolin ini dengan Abizar, tapi sepertinya kami bisa ngobrolin ini sambil jalan, Pak, Bu.” Ibu menggeleng, sepertinya beliau tidak setuju dengan apa yang baru saja aku sampaikan, “Tan, percaya sama Ibu dan Bapak, hal kecil ini, kalo gak kalian omongin di awal bakal jadi sumber keributan, kecil-kecil, memang, hanya saling ngambek, mungkin, tapi kalo keseringan berantem dan ribut karena hal kecil begini, gak akan baik untuk kelangsungan rumah tangga kalian. Saran Ibu, sebelum kalian menuju ke jenjang yang lebih lanjut, pertama yang harus kamu lakukan adalah minta Abizar bawa dan kenalkan kamu ke keluarganya, jika sudah, kamu lihat bagaimana penerimaan mereka terhadapmu, jika tidak ada masalah, coba obrolkan hal-hal yang tadi Bapak sampaikan.” Aku mencoba untuk memahami dan menerima apa yang diucapkan Bapak dan Ibu, aku tau, yang mereka sampaikan ini demi kebaikanku. Maka aku pamit dari hadapan Bapak dan Ibu untuk mencoba ngobrol sama Abizar. Dua hari setelah ngobrol sama Ibu dan Bapak kemarin, aku ketemu dengan Abizar, “Bi, aku udah ngobrol sama Bapak dan Ibu, mengenai rencanamu melamarku. Pada dasarnya Bapak dan Ibu menyerahkan semua keputusan kepadaku, hanya saja ada beberapa hal yang harus aku tanyakan dulu ke kamu, berkenaan dengan hubungan kita ke depannya. Seperti misalnya, apakah setelah menikah aku akan diizinkan terus bekerja, apakah setelah menikah kamu mengharapkan langsung punya anak, di mana kita tinggal setelah menikah, dan hal-hal lain seperti itu, Bi.” Aku melihat Abizar tertawa, “Tan-Tan, hal-hal begitu ya nanti bisa kita obrolkan setelah menikah, kan? Yang penting itu kita sah dulu, biar bisa cepat halal, dan bisa cepet bulan madu.” Ucapnya sambil mengerlingkan sebelah matanya kepadaku, ya ampun, kenapa kerlingan matanya itu membuatku justru terbuai. Maka, begitulah, karena bujukan itu, aku akhirnya maju ke Bapak dan Ibu, bahwa akhir bulan nanti Abizar dan keluarga akan datang melamarku ke rumah, “Pak, Bu, bismillah, aku sudah setuju menerima lamaran Abizar, tolong kasih restu Bapak dan Ibu, untuk kami.” Bapak dan Ibu hanya diam, tidak menolak, tidak juga meng-iya-kan. Bapak hanya bilang, “Baiklah, kalo memang sudah begitu keputusan kamu, Tan. Ajak dia ke sini dulu, ya, sebelum dia sama keluarganya.” Aku mengangguk. Malam ini, aku menunggu kedatangan Abizar, “Bi, jangan lama-lama, ya. Jangan sampe telat, nanti Bapak malah ngambek.” Dia tertawa, “Iya, sayang. Rupanya ngambekan kamu itu dapet dari Bapak, toh. Tenang aja, aku bakal jadi mantu idaman dan kesayangan untuknya, aku akan buktikan itu.” Iya, cinta memang berhasil membuatmu buta, rayuan berhasil membuatmu cacat logika, nasihat Ibu, ucapan Bapak, aku abaikan, aku yakin, Abizar bisa membahagiakanku, bisa menjagaku, dan Abizar bisa menerimaku. Setelah Abizar datang, ngobrol sebentar sama Bapak, dan setelahnya kami ngobrol berdua, merencanakan bulan madu ke Jogja, “Kita bulan madunya ke Jogja aja, ya, Tan, di sana banyak jalan-jalan dan tempat romantis, biar bulan madu kita lebih berasa.” Aku mengangguk, bahagia membuncah di dadaku, Abizar menggenggam tanganku erat, jarak di antara kami semakin hilang, dan terjadi kecupan romantis dari Abizar di bibirku, manis, hangat, luar biasa. “Aku sudah bisa membayangkan masa depan yang cerah membentang di hadapan kita, Tan. Oiya, kamu tadi makan gula, ya?” aku menggeleng, ngapain aku makan gula, “Makan gula? Enggak, ah. Kok aku makan gula, ngapain ih. Memangnya kenapa, Bi?” dia tersenyum, mendekat ke arahku, dan membisikkan kata-kata, “Bibirmu manis,” ya Tuhan, seketika duniaku berbunga, letupan kembang api, dentuman genderang, gegap gempita bersuara. Jika aku tau, seindah ini pacaran, sudah dari dulu aku mencari pacar. Abizar berhasil membuat hidupku berwarna, dia sukses membuatku terbang ke awan, indahnya ucapan, manisnya rayuan Abizar  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD