Rencana Demi Rencana

1455 Words
Beberapa saat kami bertiga berada dalam keheningan yang hampir membunuhku. Jujur saja, kalo boleh aku memilih, aku juga inginnya membatalkan acara lamaran ini. Benar kata Bapak, acara ini kan acara istimewa, sekali seumur hidup, apalagi acara ini adalah acara Abizar, anak lelaki terakhir, kandung lagi, di keluarga mereka. Kok seperti main-main. Tapi di sisi lain, aku juga sayang sama Abizar, aku gak mau nanti dia pergi, membatalkan lamaran sekaligus pernikahan kami, dan pergi. Umurku sudah tidak muda lagi, aku juga bukan orang yang mudah dekat dengan lelaki, “Kamu tuh kurang luwes.” Begitu kira-kira, kata teman-teman kantor, aku kurang bisa bersikap manis ke lawan jenis. Belum lagi pertanyaan dari kanan kiri mengenai kapan aku menikah, kapan mau punya anak kalo hari gini belum menikah, nanti susah punya anak, nanti kalo anaknya lahir, kamu udah berumur, gak bisa maksimal kasih perhatian ke mereka, dan masih banyak lagi tekanan yang aku rasakan. Berbagai pikiran berkelebatan. “Jadi, gimana, ini. Kamu tetap mau meneruskan acara lamaran ini atau bagaimana? Bapak sudah menyerahkan semua urusan dan keputusan ini sama kamu, Tan. Begitu juga dengan ibumu. Kami ikut saja apa yang jadi keputusan akhirmu.” Aku mengangguk, “Aku memutuskan untuk meneruskan acara lamaran ini, Pak, Bu. Mohon restunya, tolong bantu Tania, ya.” Bapak hanya diam, sementara Ibu membimbingku keluar, “Ya sudah, yuk, kita tunggu mereka di depan.” Aku mengangguk dan mengikuti Ibu.  Sekitar pukul setengah empat sore, rombongan Abizar datang. Aku mencoba untuk menghitung dan melihat siapa saja yang datang, terlihat Kak Puspa, Kak Raudha, dan Mas Gandi, juga Celine, dan anak lelaki Kak Raudhah dan Mas Gandi saja yang turun dari mobil. Sementara Mas Joko, suami Kak Puspa, dan anak lelaki Kak Puspa tidak datang, “Loh, yang lain ke mana, Mbak? Kok gak ikut, hanya segini yang datang?” begitu sambut salah satu keluargaku yang ditugaskan Ibu menyambut mereka di depan, aku mengintip dari jendela kamar. Hanya satu mobil, mereka berbaris, dan membawa barang seserahan yang dibantu pihak keluargaku, karena memang lebih banyak barang seserahan ketimbang orang yang datang. Aku mengusap wajahku pelan. Terlihat Abizar di pintu masuk, dengan kemeja warna biru pekat, dipadankan dengan celana kulit warna krem, tampan. Dia tampak sempurna dengan balutan kemeja itu. Senyumku mengembang, setiap melihat wajah Abizar, entah kenapa, masalah seperti tidak tampak, kerisauanku seolah sirna, aku bisa melihat masa depan indah dan cerah di wajahnya. Ketika semua sudah duduk, sepupu perempuan dan Ibu menyusulku di kamar. Ketika keluar, aku duduk diapit Ibu di kiriku, dan Bapak di kananku. Suami Bude Yana, Pakde Man, membuka acara tersebut. Setelah memberikan sepatah dua patah kata dari pihak Abizar, Bapak diberikan kesempatan untuk bicara, “Terima kasih sudah mampir ke rumah kami yang sederhana ini. Walaupun, saya sejujurnya agak kaget, kecewa lebih tepatnya, ketika Tania bilang bahwa ibunya Abizar tidak datang, padahal ini acara lamaran anak kandungnya, bener, kan, Abizar ini anak kandung ibunya, dan saudara kandung kalian?” seketika wajah keluarga Abizar berubah, Mas Gandi mengangguk, “Abizar ini adik bungsu kami, Pak.” Bapak menarik napas dalam, “Nah, apalagi bungsu. Di keluarga saya, kalo anak kandung, bungsu, sulung, tunggal, ataupun tengah, ya, anak di urutan ke berapa pun, semua anggota keluarga, apalagi ibu kandung dan bapak kandung, pasti akan hadir.” Bapak menjeda ucapannya, aku menunduk, aku tau Bapak merasa kecewa, tapi gak bisa berbuat apa pun. “Tapi, ya, sudah. Karena anak kandung saya, Tania, sudah memutuskan bahwa dia akan meneruskan acara lamaran ini walaupun tanpa kehadiran ibu kandung Abizar,” Bapak menekankan kata-kata tersebut, “Maka, saya dan istri saya, menyerahkan semua keputusan ini di tangan Tania. Jika Tania bahagia, kami akan ikut bahagia, tapi jika Tania disakiti, berarti kami juga disakiti, dan kami tidak akan tinggal diam. Silakan, Mas Man, dilanjutkan. Begitu tutup kata-kata Bapak. Setelah acara tukar cincin, Bapak pamit masuk ke dalam kamar, “Saya pamit ke kamar, ya. Badan kurang sehat, gak apa-apa, kan? Gak apa-apalah, ya, yang penting acara udah selesai, minimal saya udah menyaksikan anak kandung saya lamaran dan tukar cincin, hadir gitu. Bukan malah ke acara orang lain. Permisi.” Dengan wajahnya yang memang tidak bersahabat. Suasana menjadi kurang enak. Setelah makan dan berbasa basi sebentar, keluarga Abizar pun pamit. Ibu dan beberapa saudara membantu untuk membereskan ruang tamu yang dipakai untuk acara tadi, aku masuk ke kamar, dan menangis. Sesak, melihat Bapak yang seperti itu, melihat keluarga Abizar yang seperti ini. Kenapa sih, tidak bisa ada satu saja urusanku yang mulus. Pekerjaan dapet bos dan rekan kerja yang begitu, di rumah Bapak dan Ibu jadi begini, bahkan urusan lamaranku pun berjalan tidak baik, ada keributan, meskipun tidak terjadi pertengkaran, tapi perang dingin Bapak dengan keluarga Abizar di awal perkenalan seperti ini, rasanya kok jadi ganjalan di hatiku, aku jadi bertanya-tanya, apakah ini sebenarnya yang mau aku jalani? Baru perkenalan saja, keluarga Abizar seperti tidak menghargai keluargaku, ketika aku ke rumah Abizar pun, bahkan dirinya sendiri seperti tidak dihargai di sana, dengan keponakannya sekalipun. Aku mencoba berdiam diri, mandi, dan memejamkan mata. Aku terbangun, ketika azan magrib berkumandang, keluar lalu melihat keadaan rumah yang sudah sepi lagi, hanya ada Bude Yana yang masih tinggal sama Pakde Man. Aku bertanya ke Bude Yana, di mana Ibu dan Bapak, “Ibu dan Bapak ke mana, Bude?” Bude menunjuk kamar, “Ibumu di kamar. Kalo bapakmu, tadi ke masjid, salat magrib di sana, katanya. Mau makan, Tan? Dari tadi siang kamu belum makan kayaknya.” Aku menggeleng, “Makasih, Bude. Aku masih kenyang. Bude nginep, kan, sama Pakde?” mereka mengangguk, “Iya, kami nginep. Besok baru pulang.” Aku tersenyum, “Yang lamaan dikit, gitu, Bude, Pakde, biar rumah ini gak sepi-sepi banget.” Pakde menyahuti, “Iya, nanti kita bakal sering-sering mampir ke sini.” Aku lalu pamit kembali ke kamar. Tidak ada selera makan, tidak ada pesan atau telepon juga dari Abizar. Sejak tadi, dia tidak menghubungiku. Aku mencoba melihat story di whatsup-nya, dan terlihat dia sedang berfoto dengan kedua pengantin, yang aku duga itu adalah sepupunya yang nikah hari ini, ada keluarga besar yang sedang berfoto di sana, lengkap, ibu Abizar, Kak Puspa, Mas Joko, kedua anak Kak Puspa, keluarga Kak Raudhah dan Mas Gandi. Sementara, aku melihat foto lamaranku, yang tadi diambil menggunakan handphoneku, sepi, hanya segelintir orang yang ada di dalam foto itu. Wajah Bapak pun tampak tidak senyum, hanya Ibu yang terlihat senyum, meskipun aku tau, senyum itu adalah senyum yang dipaksakan. Hingga malam hari, tidak ada suara Bapak atau Ibu yang ceria seperti biasanya, hanya suara Bude Yana yang beberapakali menawarkan makan malam kepadaku dengan mengetuk pintu kamar, “Tan, makan dulu, Bude udah nyiapin sayur dan lauk di meja, ya.” atau Pakde Man yang sedang ngobrol dengan Ibu dan anaknya. Untung saja ada mereka, rumah ini jadi tidak sepi-sepi banget. Aku masih memikirkan cara, gimana biar Bapak kembali seperti sedia kala, tidak telalu lama larut dalam marahnya. Ketika sedang terdiam, handphoneku berdering, Abizar yang menelepon, “Halo, Tan, di mana? Udah makan, belum, sayang?” aku tersenyum well … sebenarnya ingin ngambek, kenapa sejak tadi sore, ketika selesai acara di rumahku beres, dia tidak ada kabar sama sekali, tapi kemudian aku sadar, aku tidak mau memperkeruh suasana, “Belum, gak napsu, Bi. Kamu udah pulang dari tempat sepupumu?” dia terkekeh, “Gak napsu makan karena tadi aku tidak kasih ciuman manis, ya? Tenang, besok aku jemput kamu, kita jalan-jalan, ya, sekalian pilih-pilih undangan dan ngobrolin rencana pernikahan kita, nanti kamu aku hadiahin ciuman bertubi-tubi.” Aku ketawa, ada-ada saja Abizar ini, “Ingat, belum mahrom, gak boleh kebablasan.” Dia lalu menjawab, “Kebablasan juga gak apa-apa, kan kamu udah aku ikat ini, aku gak akan lari ke manapun, kamu juga udah gak bisa lari ke manapun, kita sama-sama saling mentok.” Kemudian, banyak hal yang kami rencanakan untuk besok, lihat-lihat contoh undangan, cari konsep acara ijab, pesta, lalu ngobrolin tema warna yang mau dipakai, sampai ke bulan madu, “Ke Jogja aja, Bi. Aku udah lama gak ke sana.” Abizar di ujung telepon sana menjawab, “Aku mah ke mana aja, Tan, asal sama kamu, lagian, di manapun, toh kita gak akan keluar-keluar dari kamar. Kamu gak aku izinkan pergi atau hilang sedetikpun dari pandanganku.” Ya ampun, pikiran Abizar udah ke mana-mana, dasar lelaki. Dan obrolan kami terhenti ketika aku menguap, ngantuk, “Bi, udah dulu, ya. Besok dilanjut. Nanti kalo kamu mau jemput aku, kabarin, ya. Jadi aku bisa siap-siap, dan kita langsung berangkat.” Begitulah, malam itu, aku bisa tidur dengan sedikit tenang, setelah mendengar suara Abizar yang menyiratkan keseriusannya. Seolah, aku diingatkan lagi, bahwa dia, Abizar, adalah lelaki pilihanku, dia adalah lelaki idamanku, yang bisa membawaku ke alam bahagia pernikahan, demi merajut masa depan yang sesuai dengan harapan dan juga impian kami berdua.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD