Bapak Marah

1075 Words
Sekitar setengah jam sebelum jam pulang kerja, Abizar meneleponku, “Aku ke sana sebentar lagi, ya. Teng jam setengah lima kamu keluar dari sana. Aku gak mau nunggu, kita harus ngobrolin secara serius apa yang tadi kamu omongin, aku sampe gak fokus kerja hari ini. Seharian aku cuma bengong aja di depan komputer, dan aku kangen sama kamu, pengen peluk kamu.” Aku meng-iya-kan ucapan Abizar dan menutup telepon, lalu meneruskan sisa jam kerja dengan lagi-lagi menahan mual yang luar biasa. Seharian, tidak ada makanan yang bisa masuk, kecuali permen yang asem, permen jahe, dan kopi pahit. Sungguh aneh-aneh saja keinginan mulut ini. Aku berpikir dan bertanya-tanya sendiri, masa iya sih, aku sudah ngidam, padahal kan baru beberapa minggu. Pas setengah lima sore, aku absen, dan langsung keluar, menemukan Abizar sudah menunggu di mobil. “Hai, Bi.” Tanpa ba bi bu, dia memelukku, langsung merangsek tubuhku ke pelukannya, “Bi, gak bisa napas, Bi. Abizar.” Mungkin dia sadar dengan ucapanku yang agak kenceng, dan melepaskan pelukannya, “Maaf-maaf, sayang. Aku kangen banget sama kamu. Jangan marah, ya.” aku mengangguk, kembali ke posisi duduk semula, dan memasang seat belt. Lalu Abizar menjalankan mobilnya. Dia gak ngomong apa-apa. Sekitar setengah jam kami berkendara, aku bertanya mau ke mana kita hari ini, “Bi, ini mau ke mana? Ngomong dulu atuh.” Abizar hanya menyahut, “Rahasia. Nanti kamu pasti bahagia dan seneng, aku jamin.” Jadi aku diam saja dan ikut kemana Abizar membawaku. Tidak berapa lama, aku baru sadar kalo aku dibawanya ke sebuah rumah, yang tidak terlalu besar, tapi nyaman, dengan halaman kecil yang cukup untuk menampung satu mobil dan satu motor. Ketika berhenti di depan pagarnya, aku bertanya ke Abizar, “Bi, ini rumah siapa? Kita mau ketemu siapa di sini?” Abizar menengok ke arahku, “Ini rumah kita. Kita akan menengok dan menata masa depan kita di sini. Mau turun dan lihat-lihat ke dalam?” aku senyum semringah, bahagia, haru, bercampur jadi satu, dan menganggukkan kepala, “Mau banget, Bi. Hayok, turun, aku gak sabar masuk ke dalam.” Lalu kami turun dan masuk ke dalam rumah tersebut. Belum ada banyak barang di sini. Hanya lemari makan yang sudah menyatu dengan kitchen set, lalu mesin cuci, ranjang dan perlengkapannya di masing-masing kamar. Ketika aku sedang melihat ke satu kamar, di lantai atas, Abizar menyusulku, dan memeluk pinggangku, “Ini kamar kita. Calon kamar yang akan kita tempati untuk menghabiskan malam-malam panjang di sini. Kalo udah di kamar ini, kamu gak akan aku kasih turun dari ranjang, kamu bakal aku ikat, dan kita akan menghabiskan malam panjang dan romantis di sini.” Lalu Abizar mencumbuku, aku terbuai. Tanpa sadar, aku sudah berada di pinggir ranjang, dan Abizar mendorongku lembut. Aku mencoba menolak, “Bi, jangan, sayang. Bi …” terlambat, dia sudah membuka kemejanya, “Sstt … sebentar aja, sayang. Toh kamu udah kadung hamil, apa lagi yang ditakutkan, ya, kan? Kita nikmatin aja.” Lalu kami larut dalam mabuk asmara yang semakin dalam. Setengah jam kemudian, kami kembali berkeliling ke sudut ruangan lainnya. Dan sebelum pulang, sekali lagi kami melakukannya, “Jangan tinggalin aku, ya, Bi. Di dalam kandunganku sudah ada anak kita,” dia hanya mengangguk, dan melanjutkan pekerjaannya dengan tubuhku. Sekitar jam setengah delapan malam, kami baru keluar dari rumah itu dalam keadaan kelaparan, “Kita makan malam dulu, ya, sebelum pulang. Kamu pasti laper, kan, dan kecapean?” jawil Abizar di daguku. Aku hanya mengangguk, masih merasakan sensasi yang nano-nano. Di satu sisi, mual karena hamil ini, juga laper, karena terakhir aku mengisi perutku kemarin sore, juga lelah karena yang barusan kami lakukan, dan khawatir. Khawatir akan tanggapan keluarga kami jika mengetahui hal ini. “Bagaimana kalo keluarga kita gak setuju, Bi? Bagaimana kalo mereka marah?” Abizar menggeleng dan menenangkanku, “Gak usah khawatir. Gak mungkin mereka gak setuju, kan sebentar lagi juga kita nikah, dijaga aja, jangan sampai mereka tau, ya.” lalu memelukku, dan menenangkanku sekali lagi. Setelah selesai makan nasi goreng di pinggir jalan, yang hanya bisa aku masukkan dua tiga sendok ke mulut, kami langsung jalan pulang, “Ayok, Bi. Udah malem banget ini, nanti Bapak marah.” Sambil menjalankan mobilnya, Abizar berseloroh, “Masa sih, Bapak sama Ibu marah, kamu jalan sama calon suaminya? Lagian kamu udah gede ini, mau ngapai-ngapain juga udah jadi tanggung jawabmu, kan?” aku hanya diam, benar kata Abizar, tapi kenyataan bahwa Bapak akan marah jika aku pulang malam, tidak bisa aku hindari. Sepanjang perjalanan pulang aku merasa khawatir. Tiga puluh menit kemudian, kami sampai di depan rumahku, “Turun, ya. Pamit ke Bapak dan Ibu.” Abizar enggan, “Tan, masa iya, sih setiap jemput dan antar kamu ke rumah, aku harus turun. Gimana kalo aku buru-buru, masa harus dipaksa? Masa orang tuamu kolot banget gitu sih, cara mikirnya?” aku hanya menanggapi, “Ya kalo kamu buru-buru kan pengecualian, sekarang kan lagi gak buru-buru. Hayok turun, ato aku ngambek nih.” Dengan wajah malas, Abizar turun, lalu membuka pintu mobilku. “Aku bakal nurutin semua keinginan dan kemauan kekasih calon istriku ini, asalkan jatahku, dikasih, ya.” sambil curi-curi mencium pipiku, aku hanya tersipu. Aku sadar, yang aku lakukan ini salah, bisa menyebabkan keluarga kami malu, tapi mendengar ucapan Abizar, aku percaya, bahwa semua akan baik-baik saja. Aku yakin, dia akan melindungi dan menjagaku, jika sesuatu yang buruk terjadi, lagian benar katanya, toh hanya dalam hitungan minggu kami resmi menikah, dalam rentang waktu itu juga aku hanya perlu menjaga rahasia kami ini, tanpa boleh ada siapa pun yang tau. “Kan sudah saya bilang, jangan pulang malam-malam. Darimana kalian berdua?” sambut Bapak di depan pintu, tepat ketika kaki kami baru menyentuh ke teras depan. Aku diam, Abizar yang menjawab, “Kami habis lihat rumah, Pak. Insyaallah rumah itu yang akan kami tempati setelah kami menikah. Sambil mencatat dan melihat apa saja yang kurang dan harus kami beli, maaf pulangnya terlalu larut malam.” Ucap Abizar yang disambut dengan reaksi Bapak yang tidak menyahut tetapi langsung meninggalkan kami ke dalam, “Aku pulang, ya. Percuma, kan, aku turun. Buktinya Bapak gak nanggepin aku. Nanti kita ngobrol lagi, ya, sayang. Jaga diri, jaga dia.” Sambil mengusap perutku, ada kehangatan menjalar di sekujur tubuhku. Hal tersebut membuatku nyaman. Setelah melihat mobil Abizar pergi, aku langsung masuk ke kamar, aku marah sama Bapak. Kenapa ketus banget nanggepin Abizar barusan, seharusnya Bapak gak gitu, minimal tanya lah dengan baik-baik, bukan dengan wajah galak seperti begitu, kan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD