Aku yang Merindu

1940 Words
Tengah malam, aku terbangun, terkejut, karena ada seseorang yang melingkarkan tangannya di pinggangku. Aku mengerjapkan mata beberapa kali, Abizar, dia memelukku. Aku terkejut memekik kaget, “Bi, kamu ngapain di sini? Bi?” mendengar teriakanku, Abizar membuka matanya, lalu menarikku ke dalam pelukannya, “Sstt … Tan, gak apa-apa, tenang. Kan kita sudah tunangan.” Aku menggeleng, “Nggak, Bi, ini salah. Kita memang sudah tunangan, tapi …” kata-kataku terhenti, ketika merasakan perih di bawah sana. aku mencoba berusaha tenang, aku percaya pada Abizar, bahwa dia akan menjagaku dan gak macem-macem. Sia-sia, pikiranku langsung kalut, aku menangis, ada bercak merah, di sana. Abizar sudah mengambil hal yang paling berharga dalam hidupku, “Bi, kamu ngapain aku? Kamu …” Abizar lalu bangun dari tidurnya, menghampiri dan mencoba memelukku, aku berusaha untuk melepaskan pelukannya, “Tan, Tania. Tania dengarkan aku, maafkan aku. Aku khilaf, melihat kamu tidur tadi, cantik. Aku tanpa sadar mencium keningmu, lalu tba-tiba, ada dorongan yang tidak bisa aku kendalikan. Tenang sayang, aku gak akan ke mana-mana. Kamu percaya, kan sama aku?” aku menangis terisak, semakin kencang. Aku teringat Bapak, Ibu, wejangan dan wanti-wanti mereka tadi, sebelum aku pergi dengan Abizar. Aku menjauh dari Abizar, mengambil selimut untuk menutupi tubuhku, dan pergi ke kamar mandi. Lama aku berada di situ, menghidupkan air, mencoba untuk menghilangkan semua tanda-tanda yang Abizar buat di tubuhku. Menggosokkan sabun berkali-kali, membasuh lagi, menyabuni lagi, sampai perih aku rasakan, tapi rasa bersalah itu tak juga hilang. Sekitar setengah jam mungkin, aku berada di dalam kamar mandi, Abizar masuk. Bodohnya aku, tidak mengunci pintu kamar mandi, dia menerobos masuk, “Tan. Nanti kamu sakit, jangan seperti ini.” Dalam keadaan tidak ada sehelai benang pun menempel, aku memekik, “Bi, kamu ngapain, aku gak pakai apa-apa, ini. Bi …” Abizar menghampiriku, di bawah deras air pancuran, dia mencumbuku, akal sehatku hilang seketika, dengan derai air mata, sementara Abizar sudah melakukan lagi hal yang tidak seharusnya kami lakukan. Aku bingung dengan perasaanku, di satu sisi, aku tau ini salah, tapi di sisi lain, Abizar tidak membiarkanku untuk menolak yang dilakukannya terhadap tubuhku, dan hal itu terjadi lagi. Aku menyerah di bawah kendalinya, tidak ada penolakan dalam tubuhku, meskipun otakku menolak. Setelah semua kejadian itu, aku berpakaian, dan diam di depan cermin, menatap betapa hina dan kotornya diriku. Aku melihat handphone yang sejak tadi berdering, tapi Abizar tidak membiarkanku lepas darinya sedetik pun. Puluhan panggilan dari Bapak, pesan dari Ibu, dan ketika aku melihat jam, sekarang sudah hampir jam sepuluh malam. “Bilang aja, kamu nginep di rumah temanmu, untuk bahas mengenai baju pengantin kita.” Tiba-tiba Abizar memelukku dari belakang dan berbisik di telingaku. Aku terkejut, tapi juga merasakan desir aneh di tubuhku. Entah sihir apa yang dipakai Abizar, aku mengangguk, dan mengetikkan balasan chat ke Ibu, “Aku di rumah Dede, Bu. Lagi bahas urusan baju pengantin dan konsepnya. Mungkin nginep di sini, Bu. Besok baru pulang.” Dan setelah aku mengetikkan balasan chat tersebut, Abizar menutup mataku menggunakan kedua tangannya, “Jangan ngintip, ya, aku punya surprise untukmu. Tutup, ya, matanya, janji?” aku mengangguk, “Surprise apaan, Bi?” dia menjawab dengan suara yang pelan dan dalam, “Surprise untuk istriku, calon dari ibu anak-anakku, kelak.” Setelahnya, dia mengeluarkan bungkusan, mungkin, karena terdengar kresek dari depanku. “Oke, sesuai aba-abaku, dalam hitungan ke tiga, buka matanya, ya. Satu, dua, dan tiga. Tadaaaa …” ucapnya penuh antusias. Aku melihat baju tidur berbahan dasar satin, warna merah marun, dan cantik sekali. Ketika aku bangun untuk melihatnya, Abizar bilang, “Pakai ini, ya, aku mau lihat, di kamu, cocok atau enggak, ya, sayang.” Aku menolak, menggelengkan kepalaku, “Gak, Bi. Cukup sudah tadi kita melakukan hal yang terlarang itu …” Abizar menyahuti ucapanku, “Tapi kamu itu calon istriku, aku calon suamimu. Tinggal dua bulan lagi, kok, kita nikah.” Aku membantahnya, “Dan harusnya, hal yang tadi itu, terjadi ketika kita sudah sah jadi suami istri. Bukan seperti ini, Bi.” Terlihat kekecewaan terlihat di wajah Abizar. Lalu dia menunduk dan berjalan keluar. Aku tidak tau dia mau ke mana, yang pasti, dia meninggalkanku sendiri dengan keadaan yang penuh rasa bersalah. Aku mencoba untuk memikirkan apa yang sedang terjadi ini. Benar kata Abizar, aku ini tunangannya, sebentar lagi kami menikah, gak mungkin, kan dia ninggalin aku gitu aja. Tapi di sisi lain hatiku berkata, yang kami lakukan ini salah. Aku bingung, terdiam. Lalu berkelebatan bayangan tadi, yang Abizar lakukan kepadaku, ada gelenyar aneh yang aku rasakan, lembutnya sentuhan Abizar, menjadi candu. Aku mencoba baju tidur yang tadi dikasih Abizar, “Toh sudah terjadi juga. Asalkan kami lebih berhati-hati, tidak akan terjadi apa-apa, Abizar juga gak akan meninggalkanku.” Setelah memakai baju tidur itu, aku memakai bath robes yang disediakan di hotel, lalu aku keluar, mencoba mencari Abizar, ternyata dia ada di depan pintu, sambil duduk. Ketika aku membuka pintu, terlihat wajahnya tidak mau melihatku. “Bi, bagus, gak?” tanyaku. Dia langsung bangkit dan mendorongku ke dalam kamar dan bicara dengan berbisik, “Ih, apaan, deh. Pake baju gitu keluar. Nanti dilihat orang, ini tuh cuma boleh aku yang melihat. Cantik banget, Tan. Pas di kamu.” Dan Abizar kembali mencumbuku, hal yang tadi kami lakukan, yang aku sesali, terjadi lagi. Sekarang justru aku yang menginginkan lebih, sudah tidak ingat lagi akan hal-hal lain, kecuali Abizar dan perlakuannya terhadap tubuhku, sekarang ini. Keesokan paginya, ketika aku membuka mata, aku tidak menemukan Abizar di sampingku. Tapi masih ada tas dan juga bajunya. Mungkin dia sedang keluar atau sarapan di restoran. Aku mencoba menghubunginya, tidak ada jawaban. Tidak berapa lama, Abizar masuk ke kamar, “Darimana, Bi?” dia hanya senyum, memelukku, dan bilang, “Sebentar lagi, ada kejutan untukmu.” Sekitar sepuluh menit kemudian, pintu kamar kami diketuk, dan ketika Abizar membukakan pintunya, ada troli makanan, dan buket bunga di sana. Setelah room boy keluar, Abizar memberikan buket bunga yang tadi, “Untuk kekasih hatiku, yang cantik, yang bisa melayaniku dengan sangat baik, dan bisa bikin aku ketagihan.” Aku tersipu. Dunia serasa benar-benar isinya hanya ada kami berdua dan kebahagiaan kami. Setelahnya, kami sarapan berdua, Abizar menyuapiku, kami berbincang tentang masa depan, merencanakan banyak hal, tidak ada yang lebih membahagiakan untukku, kecuali bersama dengan Abizar, saat ini, besok, dan bertahun-tahun ke depan. Kami menghabiskan waktu dengan berpelukan, saling mencumbu, begitu terus, sampai waktunya check out. Bapak sudah bolak balik nelepon daritadi, aku kesal juga, “Ih, Bapak loh, nelepon mulu. Bentar, Bi, aku mau ngabarin Bapak dulu.” Abizar mengangguk, “Bapak masih anggep kamu anak kecil, Tan. Namanya juga orang tua. Tapi Bapak lupa, kalo anaknya udah gede, bahkan udah bisa buat anak juga.” Gelak tawa Abizar, diikuti dengan senyumku. “Iya, Pak. Ini aku udah siap-siap mau pulang.” Setelah check out, kami langsung menuju ke rumahku. “Loh, kok sama Abizar? Katanya kamu nginep di rumah Dede, Tan?” begitu sambut Bapak, ketika kami sampai di rumah. “Iya, tadi pas mau pulang, ditelepon Abizar, sekalian dia makan siang.” Bapak hanya diam, lalu Ibu menyahut, “Terus, kenapa gak turun. Nganterin anak gadis orang kayak nganterin anak kucing, diturunin aja gitu, gak pamit, gak ngomong.” Aku diam, mencoba menahan marah, kedua orang ini, kenapa sih, kok tiba-tiba jadi cerewet, “Abizar harus langsung balik ke kantor, Bu, Pak. Dia buru-buru.” Bapak yang kali ini menyahuti, “Turun dan izin, gak sampe berjam-jam, Tan.” Aku diam, lalu meminta izin untuk masuk ke kamar, “Iya, besok aku bilang ke Abizar, kalo nganter ato jemput aku, turun dulu, jangan langsung jalan. Aku masuk ke kamar dulu, Pak, Bu. Mau beres-beres.” Pamitku, lalu berjalan masuk ke kamar. Aku mau mandi, mau tidur sebentar, tubuhku lelah. Lelah yang menyenangkan. Betapa yang dilakukan Abizar semalam, yang kami lakukan, terus berputar di kepalaku. Rasanya, isi kepala ini, hanya kelebatan bayangan Abizar yang mencumbuku, aku mencoba menggelengkan kepalaku berulang kali. Aku tau ini salah, aku sadar ini tidak seharusnya terjadi sebelum kami menikah, tapi, seperti kata Abizar, toh kami sebentar lagi menikah, kami juga sudah sama-sama dewasa, kami akan bertanggung jawab akan apa yang terjadi dan yang akan terjadi. Setelah beres-beres, mandi, aku memutuskan untuk segera tidur. Padahal perutku lumayan laper, tapi lelah di tubuh lebih terasa, jadi aku memutuskan untuk beristirahat saja dulu, setelah tidur sebentar, nanti baru keluar untuk makan. Rencana tidur sebentar hanya isu belaka. Nyatanya, aku tidur sampai hampir magrib. Itu juga setelah Ibu mengetuk pintu kamarku, “Tan, udah magrib, bangun dulu, salat, makan malam.” Kalo enggak, mungkin aku akan labas tidur sampe besok pagi lagi. “Iya, Bu. Sebentar, aku keluar.” Aku ke kamar mandi, ambil air wudu, dan salat kilat. Iya, kilat banget, soalnya benar saja, perutku sudah tidak lagi bisa ditunda untuk segera dimasukkan makanan. Setelah salat, aku langsung keluar ke ruang makan. Sepi, mungkin Bapak masih di masjid, dan Ibu masih salat dan ngaji. Biasanya, aku akan menunggu mereka, jadi kami bisa makan malam bersama, tapi kali ini aku gak kuat lagi, karena udah salatri. Jadi aku sedikit mengeraskan suaraku ketika bilang ke Ibu, aku makan duluan, “Bu, aku makan malam duluan, ya, udah laper banget.” Jelas tidak akan ada jawaban, jadi aku langsung menyendokkan nasi dan lauk yang dimasak Ibu, begitu menyentuh nasi, perutku bahagia sekali, masakan Ibu memang gak pernah gagal, selalu enak, selalu lezat. Aku kadang pengen banget belajar untuk bisa masak seenak Ibu. Tapi belum pernah ada kesempatan, kerja yang jadwal masuknya jam delapan pagi, otomatis membuatku harus pergi dari rumah sekitar jam setengah tujuh, karena kalo tidak aku akan terjebak macet, dan bakal terlambat sampai ke kantor. Setelah selesai makan, aku langsung membereskan lagi meja makan, lalu mncuci piring bekas makanku, dan ada beberapa gelas juga piring yang ada di sink, mungkin bekas Ibu menghangatkan sayur. Lalu bergegas masuk ke kamar, aku rindu kekasihku, yang berhasil membuatku bahagia, dan bisa melupakan dunia sekejap, dalam semalam. Ada beberapa chat masuk, dari Abizar, tentu saja. Chat pertama saja, mampu membuatku tersipu, “Sayang, duh, kamu ke mana aja, sih. Baru beberapa jam aja kita pisah, aku udah kangen sama kamu, Tan. Kamu, kangen, gak sama aku?” aku tersenyum, kembali mengingat apa yang sudah terjadi semalam, “Inget, donk. Itu kan hal yang pertama yang aku lakukan, sama kamu, lagi.” Abizar di ujung sana tertawa dan kemudian bertanya, “Mau lagi? Besok aku jemput, ya, jam sepuluh?” aku langsung menjawab, “Iya, aku mau.” Tapi kemudian teringat, khawatir Bapak dan Ibu curiga dan tau, kemudian meralat jawabanku, “Ehm … Bi, jangan besok, deh. Khawatir Bapak sama Ibu curiga. Dijeda, lusa mungkin atau tiga hari lagi. Emangnya kamu gak kerja?” Abizar tidak menjawab, aku mencoba untuk menyapanya lagi, “Bi, kamu marah?” akhirnya dia bersuara, “Aku kecewa. Tapi, ya sudah, gak apa-apa. Tiga hari lagi, ya, kamu janji. Kalo gak ditepatin, aku marah. Aku bisa izin kerjanya, kan ada alasan, mempersiapkan pernikahan.” Setelah selesai ngobrol dengan Abizar di telepon, aku diam, karena mendengar Ibu dan Bapak sedang di teras depan rumah. Aku mencoba untuk menangkap isi percakapan Bapak dan Ibu, karena teras depan, pas banget ada di depan jendela kamarku, jadi obrolan mereka bisa aku dengar. Bapak yang ngomong ke Ibu, “Belum juga nikah, Tania sudah seperti diambil alih sama Abizar. Makan malam aja udah gak sempet barengan, gimana kalo udah nikah, Bu, bisa-bisa dan aku yakin, dia lupa sama kita, orang tuanya.” Aku terdiam, ada rasa bersalah menyelusup, “Gak boleh gitu, Pak. Tania dan Abizar kan sedang mempersiapkan semua kebutuhan pernikahan mereka. Waktunya juga gak banyak, jadi wajar, kalo mereka lebih sering ketemu.” Sahut Ibu, mencoba menenangkan Bapak.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD