Manusia yang Tampilannya Sempurna

1060 Words
Tepat pukul sebelas siang, Abizar menghampiriku di ruangan, dan mengajakku untuk pergi menemui Pak Airlangga, calon customer yang akan memberikan kami project yang cukup besar nilanya bagi kantor, “Bu Tania, sudah siap, kita berangkat sekarang? Takut kejebak macet.” Aku mengangguk, “Sebentar lagi, Pak. Tunggu di ruangan Pak Prana saja, nanti kalo sudah siap saya ke sana.” Prana setuju, lalu berbalik menuju ke ruangannya, tapi rupanya dia berpapasan sama Banun, terdengar obrolan mereka di depan ruang pantry, “Pak Prana, darimana mau ke mana nih, nyariin aku, ya?” tukas Banun, yang disahuti oleh Prana, “Gak donk, saya mau pergi dengan Bu Tania menemui klien, mari, Nun, saya ke ruangan.” Tidak ada tawa apalagi canda yang seperti biasa mereka lakukan. Begitu Banun masuk ke ruangan pun, wajahnya ditekuk, mungkin kesal, dia duduk dengan tubuh yang seperti sengaja dijatuhkan ke kursi. Yani yang melihat hal tersebut menanyakan ada apa dengan Banun, “Kamu kenapa sih, pelan-pelan donk kalo duduk, santai aja kalik. Nanti itu kursi rusak, kamu dudukin kasar gitu.” Banun diam, menarik napas, lalu kemudian menjawab ucapan Yani, “Aku mah kecil kalik, badannya, amanlah kursi ini, kalo Mbak Tania yang begitu, nah, bisa jadi tuh, kursinya rusak.” Yani yang mendengar ucapan Banun, langsung mencubit lengan Banun, “Kamu itu, kalo ngomong jangan asal keluar aja dari mulut. Kenapa jadi bawa-bawa Mbak Tania, dia dari tadi diam saja, kok kamu usik.” Banun meradang, “Ah, gak tau deh. Ancur nih mood.” Lalu balik ke laptopnya dan mulai bekerja. Aku gak mau meladeninya, nanti semakin gak sopan ni anak, lebih baik didiamkan saja, gak usah dianggap, biar gak merasa diperhatikan. Sekitar sepuluh menit kemudian, pekerjaanku selesai, aku mematikan komputerku, membereskan berkas dan barang-barang yang mau aku bawa, dan Prana lagi-lagi datang, “Sudah beres, Bu Tania?” aku menengok ke arahnya, “Iya, Pak Prana, sabar atuh, ini juga lagi beberes.” Prana tersenyum, “Saya udah gak sabar nih, mau ngobrol sama Bu Tania, ya, sekalian juga kita nemuin klien.” Banun sontak melihat ke tempat Prana berdiri, “Oo … Pak Prana dan Mbak Tania mau pergi ke mana sih? Aku boleh ikut, gak?” Prana menggeleng, “Ngaco kamu, urusan kerjaan kok maen ikut-ikut aja. Inituh perjalanan dinas, bukan mau mampir belanja ke supermarket. Ayo, Bu Tania. Ini biar saya bawa.” Prana mengambil berkas di tanganku, “Aku pergi dulu, Yan, Nun.” Yani menjawab, “Iya, Mbak, hati-hati Mbak Tania, Pak Prana.” Dan tidak ada jawaban sama sekali dari Banun, entah gak dengar atau pura-pura gak dengar. Ketika sampai di parkiran, Prana membukakan pintu mobil, aroma jeruk yang berasal dari pengharum mobil menyapa indra penciumku saat memasuki mobil. Sebelumnya kuletakkan laptop dan tas di jok belakang. Lalu duduk di sebelah Prana dan memasang sabuk pengaman. Aku diam, Prana juga diam, kami sama-sama saling tidak bicara, entah kenapa, kok jadi canggung. Aku berpikir Prana mungkin masih kesal dengan banyaknya telepon yang dia lakukan semalam dan tidak aku respon. Karena tidak ada yang berinisiatif memulai percakapan dan aku juga sudah terlalu malas meladeni Prana yang kekanakan. Prana pun sepertinya sama, sedang tidak berniat bicara kepadaku, jadilah kami pergi dalam diam di sepanjang perjalanan. Di SPBU dekat kantor Prana berbelok sebentar, aku pikir bensin mobil memang sedang habis, tapi ternyata bukan untuk mengisi bahan bakar, melainkan Prana masuk ke minimarket yang ada di area SPBU tersebut. Aku tidak tau apa dia beli, karena aku sedang sibuk mempersiapkan sambil mengumpulkan jawaban kali saja lelaki itu akan menyapaku, jadi aku tidak bicara atau melakukan apa pun, lebih ke ngelamun sih sebenarnya, sampai tidak lama kemudian, tidak sampai sepuluh menit, sebotol air mineral dingin, sebungkus roti yang isinya selai kacang, juga permen mint kesukaanku lalu disodorkan Prana kepadaku. “Maaf, gak ada es batu. Tapi itu aku pilih yang paling dingin. Aku juga minum satu, siapa tahu habis minum hati kita yang panas segera adem. Itu rotinya dimakan dulu, Tan, sejak tadi kita meeting kamu gak makan apa-apa, kan?” Dia tersenyum, aku juga tersenyum, “Emang hati kamu panas, kenapa? Aku sih baik-baik aja tuh.” Dia masuk ke mobil, tidak langsung menghidupkannya, hanya diam, “Kamu mau menjelaskan, kenapa semalam ketika kita ketemu di swalayan aku menangkap kesan bahwa kamu kabur dari aku dan mencoba menghindariku, setelah itu, bolehkah aku tau alasan kenapa panggilan teleponku semalam, berkali-kali tidak kamu angkat, Tan? Jangan bilang kamu sudah tidur, karena aku tau jam segitu kamu belum tidur, kan, lampu di kamarmu juga belum mati, sampai pukul sebelas malam.” Aku kaget, bukan, bukan kaget atas pertanyaannya dan belum ada jawaban atas pertanyaan tersebut, tapi kaget ketika Prana tau kondisi kamarku, “Kok kamu bisa tau, aku baru matiin lampu kamar jam sebelas malam, kamu menguntit aku, ya, Prana?” dia bergeming, sambil terus menatapku, “Jangan mengaburkan pertanyaanku, Tania, jawab apa yang aku tanya barusan.” Karena ditatap seperti itu oleh Prana, aku benar-benar mati akal, grogi, dan akhirnya memalingkan wajahku ke arah jendela, “Ayok, jalan aja. Nanti kliennya kelamaan nunggu, malah kita yang ditegur Pak Anhar.” Tidak ada pergerakan sama sekali, “Prana …” dia hanya menatap lurus ke depan, “Beri aku penjelasan, beri aku jawaban atas pertanyaanku tadi, marahin aku, tegur aku kalo aku ada salah Tania, jangan menghindariku.” Aku menarik napas panjang, mencoba menanggapi ucapannya barusan, “Tidak ada yang salah. Kamu tidak salah, yang salah adalah aku.” Lalu aku diam, perlahan Prana mulai menjalankan mobil kembali dan kami kembali terjebak dalam diam. Setelah sekitar dua puluh menit kemudian kami sampai di hotel tempat calon customer kami menginap. Bukan orang yang kami tuju yang nongol, melainkan sekertarisnya, “Saya Hadi, sekertaris pribadi Pak Airlangga. Beliau masih di atas, dan sedang siap-siap di kamar, sebentar lagi turun. Boleh saya lihat bentuk kontrak kerja sama dan penawarannya Pak Prana dan Bu Tania?” Prana lalu menyodorkan berkas yang tadi sudah aku siapkan, dia mulai menjelaskan bagian-bagian penting dari kontrak tersebut. Entah kenapa, ketika sedang dalam posisi seperti ini, pesonanya semakin tampan tampak oleh pengelihatanku, bagaimana bisa, manusia sesempurna ini penampilannya kok ada rasa sama aku, perempuan dengan sejuta kekurangan, rasanya gak adail saja, kalo aku menerima perasaannya, sementara masih banyak perempuan di luar sana yang bahkan rela mengantri demi dekat dengan Prana, memiliki penampilan yang keren, modis, wajah yang cantik, dan tentu saja tubuh yang proporsional.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD