Banun Terciduk

1200 Words
Setelah salat subuh, aku kembali rebahan di ranjang, kepalaku masih belum sepenuhnya reda sakitnya, benar-benar tidak nyaman dengan keadaan seperti ini, karena sudah sangat tidak tahan dengan sakitnya, aku memilih untuk meminum obat sakit kepala yang biasa aku minum, dan rupanya membuatku tertidur lagi. Bersyukur aku bisa bangun tepat waktu, pukul setengah tujuh aku bangun, mandi, lalu bersiap-siap berusaha agar bisa sampai kantor tidak kesiangan. Mengingat jam tidurku benar-benar parah. Jangan tanyakan bagaimana kacaunya wajah dengan lingkaran hitam di bawah mata. Mereka yang pandai bersolek pasti akan berterima kasih pada concealer yang bisa menutupi lingkaran hitam mirip mata panda itu. Sayangnya aku tidak pernah bersolek seheboh itu, bedak bayi dan lipgloss pun sudah cukup merepotkan, ini yang kadang suka ditanyakan Prana, awal-awal dia melihatku datang pagi dengan kondisi aku yang tidak bisa tidur sejak pukul sepuluh malam sampai jamnya berangkat kerja, alhasil lingkaran di bawah mataku benar-benar menghitam, “Tan, kamu gak tidur, ya? itu lingkaran mata pandamu jelas banget. Kenapa gak pake make up apa itu, yang buat nutupin linkaran mata gitu?” aku mencoba mencari tau alat make apa yang dipakai Prana, “Concealer maksudmu?” dia mengangkat bahunya, “Gak tau namanya apa, yang pasti cewek-cewek ngandelin banget itu make up.” Aku mengibaskan tanganku di depannya, “Itu cewek-cewek di luar sana, Prana, aku gak seperti mereka. Ini lipstik, bukan ini lipbalm aja aku terpaksa memakainya biar gak bikin bibir kering, kalo gak mah aku gak bakal pakai.” Tidak menjawab ucapanku dia hanya mengacungkan kedua jempolnya, “Wanita idaman.” Dan setelah itu dia pergi, meninggalkan aku dengan keheranan, maksudnya apa, dia ngomong begitu? Untung banget perjalanan dari kostan ke kantor tidak terlalu macet. Ketika sampai di ruanganku, aku langsung duduk, dan menyandarkan kepalaku di sandaran kursi, dan memejamkan mataku. Terdengar satu per satu rekan kerjaku berdatangan, mereka masuk dengan keceriaannya, pun Banun. Suaranya yang tertawa ceria, terdengar jelas seperti dibuat-buat, untuk mengundang perhatian. Aku membatin, ya jelas saja bisa seceria itu, toh Banun habis senang-senang kemarin bareng Prana. “Pagi, Mbak.” Dia menyapa dengan suaranya yang lembut. Disusul Yani, aku membuka mataku, dan kujawab “Pagi,” cukup seperlunya saja ditambah dengan anggukan. Aku sebenarnya tidak ingin bersikap seperti ini, inginnya bersikap biasa saja karena toh yang Banun dan Prana lakukan bukan tindakan kriminal, apa salahnya Banun dan Prana jalan berdua, mereka sama-sama lajang, sama-sama tidak terikat dengan pernikahan atau hubungan dengan orang lain dan aku tidak berhak marah hanya karena Prana sudah pernah menyatakan perasaannya kepadaku dan aku menolaknya. Bukan karena aku merasa bagaimana, tapi sungguh, aku menolak perasaan Prana karena aku tau, itu hanya perasaan yang sesaat saja. Aku diam, menikmati bunyi tuts yang lincah di atas keyboard, dan setelah lima belas menit dalam kehengingan akhirnya aku beranjak untuk mengambil beberapa file yang harus diperiksa, berisi laporan harian dan mingguan dari beberapa store. “Bu Tania, ditunggu di ruangan meeting. Pak Anhar, Pak Prana sudah menunggu.” Peringatan dari Pak Andri membuatku mengerutkan kening karena bingung, apakah aku lupa mengingat jadwal? Karena seingatku hari ini tidak ada jadwal meeting, aku mencoba bertanya ke Yani, “Ada jadwal meeting yang kamu lupa sampaikan ke aku, Yan?” Kulihat Yani menggeleng, lalu aku bertanya ke Banun, “Nun, ada pesan meeting hari ini yang disampaikan ke kamu tapi lupa kamu sampaikan ke aku?” dan Banun pun menggeleng, “Gak ada, Mbak.” Kamu bertiga saling tatap, karena sama-sama bingung. “Oh, emang ini meeting dadakan, Bu Tania, karena ada buyer dari perusahaan Vietnam yang di Bogor itu, katanya setuju dengan proposal yang kita ajukan. Langsung aja ke ruangan meeting, soalnya nanti siang orang dari perusahaan itu bakal sampai Bandung.” Kami bertiga ber ah-oh ria, karena kami kira ada jadwal meeting yang terlewat, aku masih belum beranjak dari kursiku, kupandangi laporan mingguan yang belum diapa-apakan. Pertanda harus lembur untuk menyelesaikan semuanya. “Cepat, Bu.” Pak Andri kembali memperingatkanku. Kuanggukkan kepala, menarik napas panjang, lalu memukul kepalaku agar tersadar, “Kerja, Tania. Walaupun hari ini harus bekerja ekstra, lembur, mau tidak mau aku harus siap, namanya sudah dibayar perusahaan. Ada tagihan kost yang harus dibayar, ada kopi yang harus dibeli, dan ada film yang harus ditonton di bioskop, bestie.” Begitu ucapku pada diriku sendiri. Mendengar celotehanku, Banun dan Yani ikut tertawa, “Semangat, Mbak Tan. Kami mendukungmu.” Aku menggeleng, “No-no-no-no, jangan kalian dukung aku, aku berat kalian gak akan kuat. Cukup doakan saja aku, agar di ruang rapat nanti aku tidak ketiduran.” Mereka berdua mengangguk, kemudian aku menitip pesan ke Yani, “Yan, nanti kalo ada Pak Dirma, tolong sampaikan bikini aku kopi hitam kental manis, ya. Minta tolong diantarkan ke ruang meeting, sekalian buatkan minuman juga untuk mereka yang ada di ruangan itu. Makasih, ya.” Yani mengangguk. Aku melangkah ke ruangan meeting dengan langkah pelan, ketika melalui bilik ruangan Prana, aku melihat dia tidak ada di sana, mungkin dia sudah ada duluan di ruang meeting. Tapi belum juga beberapa langkah menuju ke ruangan meeting, aku teringat bahwa ada file yang harus dibawa dan file tersebut tertinggal di mejaku, akhirnya aku harus putar haluan dan balik ke meja. Sedikit lagi menuju ruanganku, terdengar Banun yang sedang bercerita ke Yani dengan penuh semangat, entah bagaimana awalnya cerita tersebut, yang terdengar olehku adalah, “Iya, Mbak. Kemarin aku ditemani sama Pak Prana ke swalayan itu, buat belanja bulanan, ih, Pak Prana tuh baik banget. Setelahnya aku juga diantar pulang, tapi gak tau kenapa, ketika di perjalanan pulang wajah Pak Prana tuh kayak gak semangat gitu,” Yani yang mendengar hal tersebut menimpali omongan Banun, “Ya wajar wajahnya gak semangat, kecapean kali Pak Prana, harusnya pulang kerja tuh langsung ke pulang ke rumah, ini harus nganter kami keliling swalayan, belom lagi pulangnya harus nganterin kamu, emang kamu sama Pak Prana beneran ada hubungan istimewa, gitu, Nun?” aku mencoba untuk tidak bersuara, demi mendengar obrolan mereka, pertanyaan Yani tadi dijawab sama Banun dengan suara yang tidak yakin, “Ehm … gak tau, sih, Mbak, Pak Prana tuh kayak kasih aku perhatian gitu, orangnya baik lagi. Yah, doakan saja, Mbak kalo Pak Prana bakal jadi jodohku, biar Bu Tania juga gak kepedean tuh karena beberapa kali pernah jalan sama Pak Prana, aku mau Pak Prana jadi suamiku, Mbak. Karena dia tuh idaman aku banget.” Yani menepuk pundak Banun, “Sadar, Nun. Dia bukan mahrom kamu, gak baik memelihara perasaan suka berlebihan sama lelaki yang belom jelas jadi suamimu atau gak. Kemana sih, Banun yang dulu, yang selalu menundukkan pandangan sama lelaki yang bukan mahrom, yang selalu menjaga sikap, dan tidak berlebihan ketika bicara ke lawan jenis.” Sudah, cukup sampai di situ saja aku ngupingnya, aku masuk ke ruangan dengan menimbulkan suara terlebih dahulu sebelum sampai ke dalam, “Yan, aduh, aku lupa lagi bawa laporanku, eh … kalian kenapa?” begitu aku masuk, Yani dan Banun seperti terkejut, Banun yang bertanya duluan, “Mbak, ngagetin aja.” Aku keheranan, “Kok kaget, emang kalian lagi pada bengong atau lagi ngomongin aku di belakang, ya?” keduanya kontan serempak menggeleng dan menjawab, “Gak kok, Mbak.” Setelah mengambil file yang tertinggal aku bisa mendengar mereka ngomong, “Ih, Mbak Yani sih, kedengeran, gak, ya, sama Bu Tania?”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD