Saat tengah berpikir, tiba-tiba sebuah ide melintas di kepalanya. "Ah..." Hanum mengambil ponsel dari saku celananya, sambil menahan tubuh berat Revan sekuat tenaga.
Dering tanda panggilan terhubung, terdengar melalui rungu Hanum. ia menunggu beberapa saat, sampai akhirnya...
"Halo, Num. Ada apa?" jawaban terdengar dari seberang.
"Ren, malam ini aku bisa nginap di tempat kamu?" tanya Hanum 0ada teman kerjanya, Reni.
"Eh, ada apa ini? tumben?" tanya Reni. pasalnya, selama ini Hanum tak pernah menginap di tempatnya.
"Emm... di kamar kostku ada ular masuk, ya ada ular masuk," ujar Hanum beralasan yang justru terdengar ambigu.
"Perlu aku teleponin Damkar gak, Num?" ujar Reni menawarkan bantuan.
"Ah, nggak, nggak usah, Ren. Aku nginap di situ aja. Besok baru minta tolong warga. Malam ini, nggak enak. Bisa jadi mereka sudah tidur." Hanum memperkuat alasannya.
"Iya deh. Aku tunggu ya."
Akhirnya persetujuan dari Reni, Hanum dapatkan. Ia bisa bernapas lega. Dengan susah payah, Hanum membawa tubuh berat Revan menuju kost miliknya. Jaraknya tak begitu jauh lagi dari tempat mereka berjalan sekarang.
Hanum meraih kunci rumahnya. Ia memasukkan ke dalam lubang kunci, kemudian membukanya. Dan mulai membawa tubuh besar Revan masuk ke dalam rumahnya.
Hanum meletakkan tubuh besar Revan di atas ranjangnya.
"Ah, bahuku," ujar Hanum sembari memijat bahunya yang terasa sakit. Sementara Revan sudah tertidur.
Hanum memandangi wajah Revan yang terlihat tenang saat tertidur.
"Kasihan. Pasti bebannya berat," gumam Hanum yang mulai terbuai dengan wajah tampan bosnya. "Astaghfirullah, sadar Hanum. Kamu tidak boleh begitu." Hanum menepuk pipinya saat ia sadar baru saja memuji atasannya itu.
Setelah memposisikan Revan dengan benar, Hanum mengambil blazer hitam miliknya yang tergantung di sudut kamar. Kemudian bersiap hendak pergi ke rumah Reni.
Baru saja hendak pergi, tiba-tiba Hanum merasa kebelet buang air kecil. Ia segera masuk ke dalam kamar mandinya.
Beberapa saat, ia kemudian keluar. Ia lalu mengambil tas kecil untuk tempat uang dan ponsel miliknya. Hanum kemudian berjalan ke arah pintu. Namun ia merasa ada yang aneh. Kenapa di luar terdengar sangat berisik.
Baru saja hendak melangkah, tiba-tiba pintu kostnya yang memang tidak ia kunci di buka dari luar dan menampilkan beberapa pria yang menatapnya dengan tatapan menghakimi. Ada sekitar sepuluh orang warga yang datang menggerebek rumah kost Hanum.
"Apa yang kalian lakukan? Kalian berzina di tempat ini?" bentak salah satu warga.
"Ti- tidak, Bapak-bapak. Ini semua salah paham." Hanum mengibaskan kedua tangannya membela diri.
"Salah paham gimana? Jelas-jelas kamu melihat Kelian berdua ada di kamar yang sama," sorak warga yang lain menghakimi.
"Demi Allah, Pak. Saya hanya menolongnya, dan saya hendak pergi untuk menginap di rumah teman saya." Hanum mencoba memberi penjelasan.
"Halah, bohong. Pake bawa-bawa nama Allah lagi. Kita arak mereka saja," sorak salah seorang warga memprovokasi. Warga yang lain tampak setuju.
"Jangan, Pak. Saya tidak bohong." Hanum rasanya ingin menangis. Bagaimana tidak? Ia hanya berniat menolong Revan, tapi kenapa justru jadi seperti ini. Ini sungguh membuatnya malu. Ia merasa seolah menjadi w************n. Dan ia bisa merasakan dari tatapan semua orang yang ada di hadapannya.
Beberapa warga yang masuk ke dalam kamar kost Hanum. Ada yang berusaha membangunkan Revan.
Mendengar keributan, Revan mengerjapkan matanya.
Tidur beberapa menit sudah membuat mabuknya sedikit mereda.
Revan mengidentifikasi sekitarnya saat matanya mulai terbuka. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, lalu matanya menatap beberapa lelaki yang juga sedang menatapnya.. Secepatnya Revan menarik tubuhnya dan mulai terduduk. Ia merasakan kepalanya berdenyut nyeri, efek minuman yang ia habiskan tadi. Revan memijat kepalanya.
"Ayo, kita arak saja pasangan m***m ini," teriak seorang warga lagi.
"Ayo," sahut yang lainnya.
Mendengar ucapan itu, Revan segera mengangkat wajahnya. Menatap ke arah kerumunan warga. "Pasangan m***m? Apa maksud kalian?" tanya Revan yang masih belum menyadari kejadian itu.
"Pura-pura tidak tahu dia." Seorang warga menyeringai mendengar pertanyaan Revan.
"Apa yang sudah kalian lakukan? berduaan di dalam kamar?" tanya warga yang lain.
"Bapak-bapak, ada apa ini?" Seorang lelaki yang Hanum tahu adalah ketua RT di kompleks itu baru saja datang dan bertanya.
"Ini, Pak RT, mereka berdua berbuat m***m di tempat kita," jelas seorang warga.
"Apa maksud kalian? Siapa yang m***m?" Revan tak terima dengan tuduhan itu.
"Ini semua salah paham, Pak," ujar Hanum sambil menangis.
Mendengar suara wanita, Revan menoleh ke arah sumber suara. "Kamu?" ujarnya terkejut sambil menunjuk Hanum.
"Saya berani bersumpah, Bapak-bapak. Kami tidak melakukan apa pun. Saya hanya menolongnya, karena beliau bos di tempat saya bekerja. Dan saya berniat untuk menginap di rumah teman saya," ujar Hanum memberi penjelasan.
"Halah, mana ada maling ngaku," teriak seorang warga yang tampak emosi.
"Sabar, Bapak-bapak. Jangan gunakan emosi. Mari kita selesaikan semuanya dengan kepala dingin." Ketua RT berusaha meredakan amarah warga.
"Lalu, apa yang harus kita lakukan, Pak RT? kita tidak mungkin membiarkan perzinahan di tempat ini."
"Iya, saya mengerti." Ketua RT masih berusaha tenang. "Bagaimana dengan saudara berdua? Mau tidak mau, kami harus menikahkan kalian berdua," ujar ketua RT beralih pada Revan dan Hanum.
"Apa?" Revan berteriak tak percaya. Sementara Hanum, matanya membola. Ia tak menyangka, jika niatnya menolong Revan akan menjadi seperti ini.
"Saya menolak," ujar Revan tegas.
"Kalau kamu menolak, kami akan mengarak kalian dan membawa kalian ke kantor polisi," ancam salah seorang warga.
"Betul," sahut warga yang lain.
Mendengar itu, Revan hanya mengacak rambutnya. Kenapa masalahnya semakin bertambah setiap harinya?
"Baiklah, saya akan menikahi gadis ini," ujar Revan pada akhirnya. Gendang telinganya serasa mau pecah karena dari tadi warga terus meneriakinya.
Hanum yang mendengar ucapan Revan, seketika matanya membelalak. Semudah itu Revan menyetujuinya. Lagi pula, ini kan cuma salah paham. Kenapa Revan harus menyetujui hal ini. Itu yang dipikirkan Hanum.
"Baiklah, pernikahan akan kita laksanakan besok pagi," ucap ketua RT memberikan keputusan.
"Kenapa tidak malam ini saja, Pak RT?" tanya seorang warga.
"Malam ini, kondisi calon pengantin pria masih belum stabil. Lagi pula, ini sudah menjelang tengah malam. Tidak enak jika kita memanggil penghulu sekarang untuk menikahkan," jelas lelaki berkumis tebal yang menjabat sebagai ketua RT setempat.
"Bagaimana kalau calon pengantin laki-laki kabur karena kita menunda pernikahan?"
Revan berang mendengar rentetan pertanyaan dan teriakan warga yang sedari tadi terus mendesaknya. Padahal ia sudah setuju untuk menikahi Hanum. Ingin ia berteriak dan memakai orang-orang yang melontarkan paksaan padanya, tapi ia sadar ini bukan tempatnya. Bisa-bisa ia mati karena dikeroyok oleh warga.
"Biarkan dia menginap di rumah saya. saya yang akan menjaganya langsung. Saya jamin dia tidak akan kabur." Seorang warga yang lain berteriak memberi usul.
"Ya, dan harus ada beberapa orang yang berjaga di tempat wanita ini. Kita juga harus memastikan tidak ada yang akan kabur dari mereka."
Kepala Hanum terasa pening mendengar ucapan demi ucapan dan teriakan dari warga yang terus mengajukan pendapat masing-masing. Kenapa juga ia harus mengalami nasib seperti ini. Ini benar-benar membuat kepalanya berdenyut. Ia sendiri menjadi tak enak pada Revan.
"Baiklah, kalau begitu. Sesuai kesepakatan, pernikahan akan dilangsungkan besok pagi." Mendengar ucapan ketua RT, semua warga mengangguk setuju. Satu persatu dari mereka pun mulai membubarkan diri.
Saat semua warga pergi, tinggallah tiga orang lelaki yang berjaga di sekitar kostnya. Memastikan agar Hanum tidak melarikan diri.
Hanum hanya bisa terduduk lesu di sudut ranjangnya. "Allah, apa yang akan terjadi setelah ini? Kenapa semuanya terjadi begitu cepat?" Ia menangkup wajahnya, mencoba mencerna rentetan kejadian sejak awal hingga akhir yang membuatnya masih tidak percaya.
Di tengah kekalutannya, ponsel Hanum berbunyi. Ia meraih benda pipih itu dari dalam tasnya. Tas selempang kecil yang ia gunakan setiap kali pergi. Sekadar untuk meletakkan ponsel dan sedikit uang.
Hanum melihat nama yang tertera di layar "Reni".
"Iya, halo, Ren," jawab Hanum sambil menempelkan benda pipih itu ke telinganya.
"Kamu nggak jadi nginep sini, Num?" tanya Reni.
"Maaf, gak jadi, Ren," jawab Hanum tanpa menjelaskan apa pun lagi.
"Kenapa? Suara kamu kok loyo gitu? Kamu sakit?" Reni memberondong Hanum dengan rentetan pertanyaan.
"Nggak, Ren. Ya udah ya, aku istirahat dulu." Tanpa menunggu persetujuan Reni, Hanum segera mematikan sambungan telepon.
Sementara itu, di seberang sana, Reni menatap layar ponselnya dengan pandangan aneh. Ada apa dengan Hanum? itu yang ada di benaknya. Ia memutuskan untuk bertanya pada Hanum, esok saat bekerja.
***
Tak terasa waktu sudah menjelang pagi. Hanum yang tertidur di tepi ranjangnya perlahan bangun saat rungunya mendengar sayup-sayup suara azan.
Hanum membuka matanya perlahan. Lalu mulai mengusap wajahnya dengan telapak tangan. Setelah itu, Hanum mulai berjalan menuju kamar mandi dan bersiap untuk berwudhu.
Hanum melaksanakan kewajiban dua rakaat Subuh dengan perasaan tenang.
Usai melaksanakan kewajiban dua rakaat, ia mendengar suara ketukan dari arah pintu.
Hanum berpikir sejenak, siapa yang bertamu Subuh-subuh begini.
Tanpa membuka mukenanya, Hanum segera berjalan ke arah pintu. Membuka kuncinya dan menarik gagang pintu hingga terbuka.
"Mbak Hanum, ya?" tanya wanita berkerudung yang membawa koper kotak yang Hanum sendiri tak tahu itu apa. Bahkan, Hanum tak mengenal siapa wanita itu.
"Iya, ibu siapa ya?" tanya Hanum heran.
"Saya yang akan merias Mbak Hanum. Saya di panggil pak RT untuk datang kemari," jelasnya.
Hanum memperhatikan penampilan wanita yang berdiri di depan pintu rumahnya dengan saksama. Dari atas sampai ke bawah. Alisnya bertaut dengan kening berkerut.