Beban Pikiran

1270 Words
Revan memijat pelipisnya yang terasa nyeri. Bagaimana tidak? dalam waktu sekejap, kerugian yang dialami olehnya sampai puluhan miliar. Hanya karena keganasan si jago merah. Sembari duduk bersandar pada kursi kebesarannya, Ia pun menarik simpul dasi yang terasa mencekik lehernya. Rapat dengan para investor telah selesai di lakukan. Ia meminta tambahan dana dan berjanji akan mengembalikan dua kali lipat. Mereka menyetujui dan kembali menandatangani kontrak kerjasama. Namun setelahnya, Revan harus memutar otaknya untuk memenuhi ekspektasi para investornya dan memulihkan ekonomi perusahaannya setelah kerugian yang ia alami. Di tengah pikirannya yang kalut, rungunya mendengar suara ketukan dari arah pintu. "Masuk," sahutnya dari dalam. Tak lama kemudian, seorang OG masuk dengan membawa nampan yang di atasnya ada secangkir kopi. Revan bisa mencium aroma kopi yang bisa sedikit menenangkan pikirannya. Ia merasa, sesak dalam rongga dadanya sedikit terurai saat aroma kopi itu menari di dalam indera penciumannya. "Kopinya, Pak." lagi dan lagi, kalimat itu yang selalu diucapkan sang OG setiap kali mengantar kopi. Seolah sudah menjadi kebiasaannya, meskipun Revan tak pernah membalasnya. Begitu tangan Hanum meletakkan kopinya di atas meja, Revan segera meraih gagang cangkir itu. Ia menghirup aromanya dan mulai menyesapnya. Nikmatnya rasa kopi buatan Hanum, bisa sedikit membuatnya rileks. Ia kembali meletakkan cangkirnya hingga menimbulkan bunyi dentingan. Melihat raut wajah Revan yang terlihat berbeda, Hanum segera undur diri. "Saya permisi, Pak." Meski tak mendapatkan jawaban, Hanum selalu mengatakannya sebagai bentuk etika dan sopan santunnya. Sebenarnya, semua karyawan sudah mengetahui perihal kebakaran yang dialami perusahaan tempat mereka bekerja. Dan yang mereka bisa lakukan, semoga saja semuanya baik-baik saja dan tidak berimbas pada pekerjaan mereka. Hanum melangkah pergi meninggalkan ruangan Revan dan kembali mengerjakan pekerjaannya yang lain. Sementara itu, Revan kembali memikirkan apa yang harus dilakukan untuk kedepannya. Semua demi kesejahteraan perusahannya lagi. Ia tak ingin sampai jatuh miskin. Di tengah kekalutannya, sebuah notifikasi pesan masuk. Ia meraih ponsel dengan layar terbalik di atas mejanya, kemudian mulai membaca pesan itu. Notifikasi pesan dari aplikasi perbankan mobile. Matanya membelalak saat melihat pemberitahuan p********n perbelanjaan dari kartu kreditnya, lebih tepatnya kartu kredit yang digunakan ibunya. Dengan segera, Revan menghubungi nomor telepon milik ibunya. "Halo." Suara sapaan dari seberang terdengar setelah beberapa kali bunyi Tut Tut dari ponselnya. "Mama lagi di mana?" tanya Revan tanpa basa-basi. "Mama lagi ketemuan sama teman-teman Mama. Ada apa, Nak?" jawab Inneke santai. "Mama baru saja membeli sesuatu?" Masih dengan bahasa lembut Revan bertanya. "Iya, Mama baru beli tas keluaran terbaru." Inneke terlihat senang saat mengucapkannya. "Ma, untuk pengeluaran hari ini, apa Mama tidak merasa kalau itu berlebihan?" tanya Revan masih berusaha menahan diri. "Maksud kamu apa? Kamu mau mulai perhitungan dengan Mama?" Inneke sendiri justru tersulut emosinya dan mulai berbicara keras. "Ma, bukan begitu maksudnya. Mama tahu sendiri kan, kalau semalam kita baru saja terkena musibah? dan kerugian aku juga bukan sedikit. Tolonglah Mama ngerti, kalau..." "Kamu ini, kamu kan bisa kerja lagi. Cari uang yang banyak untuk memulihkan kerugian perusahaan. Lagian yang Mama pakai hari ini juga nggak seberapa, cuma seratus lima puluh juta." Tanpa menunggu Revan menyelesaikan ucapannya, Inneke segera memberondong putranya itu dengan rentetan omelannya. Dan tanpa menunggu jawaban Revan, Inneke langsung menutup sepihak panggilan telepon itu dengan perasaan kesal. "Ah..." Revan berteriak frustrasi setelah menatap layar ponselnya yang baru saja terputus sambungan telepon dengan ibunya. Ia melempar ponselnya di atas meja dengan kasar. Lalu mulai meremas rambutnya kasar. Hari ini, fokusnya untuk bekerja benar-benar buyar. Ia ingin pergi menenangkan diri. Revan menyambar jas miliknya yang tergantung pada sandaran kursi. Ia mengambil kunci mobilnya yang teronggok di atas meja, kemudian melangkah pergi meninggalkan ruangannya. Dika yang melihat Revan keluar dari ruangannya dengan wajah keruh, tak berani menegurnya. Ia bisa mengerti bagaimana perasaan bosnya saat ini. Setelah keluar dari kantornya, Revan memacu kendaraan roda empat miliknya menuju sebuah tempat. Tempat yang biasa ia gunakan untuk mengurai kepenatan pikirannya. *** Gemerlap lampu berkelap-kelip memenuhi penjuru ruangan. Alunan musik DJ mengalun keras memekakkan telinga. Banyak tubuh meliuk-liuk mengikuti alunan musik yang menarik tubuh untuk mengikuti gerakannya, bercampur baur antara lelaki dan perempuan. Ya, Revan memutuskan untuk pergi ke kelab, setelah sekian lama dirinya menyendiri siang tadi. Waktu bahkan belum menunjuk malam. Tapi di tempat ini, selalu banyak pengunjungnya. Rata-rata dari mereka, memang hobi datang ke tempat ini, dan yang lainnya karena beban pikiran yang mereka miliki. Revan memesan sebotol minuman yang warnanya menyerupai teh. Duduk seorang diri, dengan ditemani barang yang sebenarnya tak legal di negara ini. Revan memejam saat cairan itu mengalir dalam kerongkongan. Ia tak memedulikan orang-orang yang sedang berjoget ria di tempat itu. Yang mengganggu pikirannya saat ini, hannyalah beban perusahannya saja. Barisan botol berjejer di meja tempat Revan duduk. Entah sudah berapa botol ia habiskan untuk meredakan kegundahan hatinya. Namun rasanya sama saja, percuma, ia tak merasakan kelegaan setelah menghabiskan banyak botol minuman itu. Hanya rasa melayang dan kesadarannya mulai terasa sedikit berkurang. "Kenapa hariku sial sekali hari ini?" racaunya di saat kesadarannya mulai hilang. "Pelayan, satu botol lagi," teriak Revan memanggil salah satu waiters di tempat itu. Seorang pelayan berlari mendekat ke arahnya. Ia melihat sudah lebih dari tujuh botol kosong minuman teronggok di atas meja Revan. "Maaf, Tuan, kami tak bisa memberikannya untuk Anda lagi," tolak seorang pemuda yang bekerja di tempat itu. "Kenapa? Bukannya aku juga membelinya, hah?" sentak Revan tak terima dengan penolakan lelaki muda itu. "Maaf, Tuan, sepertinya Anda sudah mabuk," ujar pemuda itu dengan ramah. "Adakah orang terdekat Anda yang bisa dihubungi untuk membawa Anda pulang?" imbuhnya. "Hah." Revan mengibaskan tangannya. Lalu berdiri dan mulai keluar dari tempat itu. Menjelang pukul sepuluh malam, Revan memutuskan untuk pulang, karena pesanannya tak lagi diberikan oleh pemilik kelab. Mereka tak ingin mengambil risiko, jika sampai terjadi sesuatu pada pelanggannya. Revan menuju mobilnya yang terparkir di depan bangunan dua lantai itu. Sembari berjalan sempoyongan, Revan meraih kunci mobilnya dari dalam saku celananya. Karena kesadarannya yang hanya tersisa beberapa persen saja, Revan tidak mampu mengendalikan diri. Saat berada di dalam mobilnya, ia berusaha untuk menyalakan mesin mobilnya. Namun usahanya selalu gagal. Revan kemudian mengambil ponsel dari dalam saku celananya yang lain. Ia hendak memanggil jasa sopir pengganti atau menelepon sekretarisnya. Namun sayangnya baterai ponselnya mati. "s**t," umpatnya dengan keras. Ia kemudian menurunkan kakinya, dan mulai berjalan mencari taxi. Dengan kondisi kesadarannya yang tidak penuh, beberapa kali Revan hampir terjatuh ke arah jalan raya. Sementara itu, dari jarak yang tidak begitu jauh, ada seorang wanita yang mengenalinya. Dialah Hanum. Wanita itu membawa plastik berisi beberapa belanjaan keperluannya. Ia baru saja pulang dari mini market. Hanum memutuskan untuk berjalan kaki, karena memang jaraknya tak begitu jauh dari rumah kost yang ia tempati. "Pak Direktur," gumam Hanum saat matanya menangkap sosok yang dikenalnya. Ia melihat Revan yang limbung dan hampir jatuh ke arah jalan raya. Sejenak Hanum merasa ragu, apakah ia harus menolongnya atau tidak. Mau meminta bantuan, tapi ia tak memiliki kontak siapa pun, kecuali teman kerja wanitanya. Melihat Revan yang hampir tersungkur, Hanum segera berlari dan menolongnya. Hanum menarik lengan Revan, hingga pria itu pun tidak terjatuh. "Pak, Bapak mabuk ya?" ucapnya berusaha bertanya. Ia bisa mencium aroma aneh dari tubuh Revan. Tak ada jawaban dari Revan. Ia hanya menatap Hanum sekilas sambil memicingkan matanya. "Si-a-pa ka-mu?" tanya Revan dengan suara tak jelas. "Saya Hanum, Pak. Bapak mau ke mana?" tanya Hanum lagi. Namun, tak ada jawaban dari Revan, lelaki itu justru menundukkan kepalanya. Membuat Hanum bingung harus berbuat apa. Hanum kemudian mengalungkan lengan Revan pada bahunya, menopang tubuh berat pria itu. Perbedaan ukuran tubuh keduanya, membuat Hanum kesulitan. Hanum, dengan tubuh mungilnya, berusaha sekuat tenaga menahan tubuh Revan agar tidak terjatuh. "Pak, sadar," ujar Hanum sambil memanggil-manggil atasannya. Hanum bingung, mau membawa Revan ke mana. ke kostan miliknya, tak mungkin. Tapi, meninggalkan Revan juga tak mungkin.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD