Apa yang terjadi semalam? Rahma meraba tubuhnya. Ia menunduk dan melihat dirinya hanya terbalut selimut tebal berwarna hitam. Rahma pun menengok ke sampingnya, lalu menutup mulutnya tidak menyangka. Seorang lelaki yang tengah tertidur sambil mendengkur. Perlahan, Rahma beringsut turun dari ranjang dan memakai pakaiannya yang berserakan di lantai. Setelah terpakai dengan cepat, Rahma berlari mencari jalan keluar.
“Astaga,” pekik Rahma pelan setelah berhasil keluar dari rumah itu. Bagian tubuh sensitifnya sungguh perih dan juga sakit. Bahkan, untuk berjalan pun seakan tidak kuat, tapi dia harus menahan sakit agar bisa menjauh dari rumah itu.
Rahma berjalan menyusuri tanjakan untuk sampai di jalan raya. Rahma tidak tahu ke mana arah dan tujuannya. Jika dia kembali ke kampung, maka dirinya akan dikeroyok oleh teman sepermainan bolanya.
Rahma mengembuskan napasnya dalam sambil menunduk. Ia terus berjalan hingga tidak sengaja bertemu dengan seorang nenek yang sedang membawa keranjang berisi sayur. Nenek itu terlihat seperti kelelahan dan tidak bertenaga. Tubuhnya hampir sempoyongan sebelum akhirnya jatuh terduduk. Rahma yang melihat itu langsung berlari ke arah nenek itu dan menopangnya agar tubuhnya tidak jatuh mencium dinginnya jalan aspal yang penuh dengan air hujan semalam.
“Nenek tidak apa-apa?” Rahma mengambil alih keranjang bawaan nenek itu. Nenek itu melihat Rahma dan tersenyum.
“Ah, tidak. Nenek hanya merasa sedikit pusing karena belum sarapan.”
Rahma menganggukkan kepalanya seolah paham. “Ayo, Nek, kita duduk dulu.” Ia menuntun nenek itu duduk di bangku kayu reyot.
Rahma menggaruk kepalanya tanpa sadar dan langsung membulatkan matanya terkejut. “Ya salam, di mana topiku?” Ia kembali menyusuri jalan yang dilewatinya tadi, tapi tidak ada tanda-tanda topinya berada. Sebuah topi hitam usang. Ia mencoba untuk mengingat-ingat di mana ia meletakkan topinya. Tiba-tiba saja, Rahma menepuk jidatnya. “Topiku pasti berada di rumah itu.” Rahma hanya pasrah dan kembali ke tempat nenek itu duduk. Tidak mungkin ia kembali ke rumah itu lagi, kan?
“Ada apa, Nak?”
Rahma menggeleng pelan. “Tidak ada, Nek. Hanya saja, topi Ammah ketinggalan.”
“Ngomong-ngomong, kamu tinggal di mana? Kenapa sepagi ini sudah keluar rumah? Penampilanmu juga seperti anak cowok.”
Rahma cengengesan setelah melihat penampilannya “Ammah gak punya rumah, Nek,” jawab Rahma sendu. Perlahan, ia ikut duduk di samping nenek itu dan tertunduk melihat kakinya tengah menendang kerikil-kerikil kecil. “Ibu sama Bapak sudah berada di surga. Ammah sendirian di rumah, tapi rumah itu dikuasai sama tante galak jadi Ammah keluar dari situ dan hidup di masjid.”
Nenek menitikkan air matanya. Sungguh kasihan sekali. Apalagi Rahma masih berumur 19 tahun. “Kamu mau ikut Nenek? Tinggal di rumah Nenek?”
Rahma langsung menegakkan wajahnya dan memandang nenek itu. Sejenak ia terdiam sebelum akhirnya tersenyum semringah dan mengangguk antusias.
“Baiklah. Ayo, ikut. Oh iya, nama Nenek adalah Saidah. Panggil saja Nenek Aid.”
Rahma mengangguk sambil membantu nenek itu berdiri. “Nama saya Rahma, Nek. Panggil aja Ammah.” Rahma menuntun Nenek Aid berjalan ke rumahnya. ia menenteng keranjang belanjaan di tangannya yang lain. Rahma bersyukur Tuhan masih membantunya dengan memberikan perlindungan dari derasnya hujan dan panasnya matahari nanti.