Hari menjelang sore. Rahma dan teman satu timnya masih bermain bola. Rahma terus berlari sambil menendang bola, ingin bisa memasukkan bola itu ke gawang lawan mainnya. Ia menyipitkan matanya. Senyumnya terukir saat melihat peluang untuk memasukkan bola. Dengan sekuat tenaga, ia menendang bola itu ke arah gawang.
“Akh,” pekik sang penjaga gawang.
Bola itu tidak masuk ke gawang, melainkan terkena sang penjaga gawang. Rahma membuka mulutnya kaget, begitu pun dengan yang lain. Penjaga gawang itu mengeluarkan banyak darah dari mulutnya.
“Astaga, ulun minta maaf,” kata Rahma, menghampiri penjaga gawang itu.
“Rahma, kan sudah kubilang kalau nendang kira-kira. Kamu celakain adikku.” Dior mendorong Rahma hingga gadis itu terjungkang ke belakang.
Semua temannya tampak berkumpul mengelilingi Reza, sang penjaga gawang. Sementara, Rahma yang sejak tadi terdiam, dengan cepat ia berdiri dan langsung pergi. Ia mengusap air matanya yang menetes setelah Dior membentaknya.
“Kenapa, sih, di dunia ini ada orang-orang yang tidak sayang padaku? Apa salahku? Tuhan kembalikan ibu dan ayahku agar mereka bisa menyayangiku...”
“Kembali kamu, Rahma! Tanggung jawab sama adikku!” teriak Dior marah.
Rahma terus berjalan dan tidak menghiraukan panggilan Dior
“Eh, biasa aja, dong. Rahma itu cewek, Dior, bukan laki! Biarin dia pergi. Mending adikmu bawa ke puskesmas sana,” kata Yuan yang akhirnya buka suara.
Dengan cepat, Dior berdiri dan berbalik menatap Yuan. “Dia mau cewek, cowok, laki atau banci sekalipun, tapi dia tetap nyakitin adikku.” Dior menyipitkan matanya tak suka ke Yuan begitu pun sebaliknya. Dior memalingkan wajahnya dari Yuan, lalu menghadap teman satu timnya.
“Kejar Rahma dan habisi dia.” perintah Dior. Mereka tampak mengangguk dan langsung mengejar Rahma yang mulai menjauh.
Rahma yang merasa dikejar langsung melihat ke belakangnya. Ia terkepik dan kalang kabut. Rahma kemudian berlari sejauh mungkin melewati jalan setapak rumah warga, bahkan pekarangan tetangga. Napas Rahma tersengal. Ia memegang dadanya yang sakit. Matanya menyapu ke segala arah, lalu tak sengaja pandangannya terpaku pada deretan mobil yang sedang berjalan perlahan karena macet. Tanpa pikir panjang, Rahma berlari dan menaiki belakang mobil di salah satu jejeran mobil itu. Rahma berharap mobil yang dinaikinya segera melaju cepat.
Rahma mengatur napasnya, sungguh dadanya sangat sakit. Tak lama mobil yang dinaiki Rahma melaju kencang meninggalkan tempat yang dilaluinya. Tim Dior yang melihat Rahma menaiki mobil langsung berteriak dan mengejarnya, tetapi mobil itu sudah pergi jauh. Rahma meleletkan lidahnya ke mereka dan tersenyum. Kali ini, dia selamat dari mereka.
***
Hari mulai petang. Agra baru saja selesai dengan pekerjaannya. Jio dan Joy sudah pulang terlebih dahulu. Agra merenggangkan tubuhnya di balik meja kerjanya. Ia berdiri, lalu menghadap jendela. Satu tangannya ia masukkan ke saku celana, sedangkan tangan lainnya memegang ponsel yang ia tempelkan ke telinganya. Agra mengembuskan napas lelah.
“Halo,” sapa seorang wanita di seberang sana.
“Halo, Len, ini aku. Bisakah kamu pulang malam ini? Aku merindukanmu.” Agra menatap matahari yang warnanya berubah oranye di balik awan. Awan yang terkena bias matahari hingga menjadi indah saat dipandang.
“Aku akan berusaha pulang dengan cepat, Beb, selesai pemotretan. Eh, sudah dulu, Beb! Produser memanggilku. Love you.”
Agra menutup matanya seraya mengembuskan napas kasar. Sejenak ia menatap wallpaper ponselnya ketika mambuka mata. Wallpaper itu foto pernikahannya dengan sang istri. Agra berbalik dengan cepat. Ia menyambar kunci mobil. Agra berharap istrinya mau pulang dengan cepat.
***
Agra sedang terjebak macet di sebuah jalan kampung. Ia tidak melewati jalanan kota karena ia ingin menghibur dirinya dengan pemandangan baru. Sambil menunggu bisa melaju karena kemacetan, Agra bersenandung mengikuti alunan lagu yang diputarnya. Kepalanya bergoyang pelan mengikuti dentuman musik.
Agra terdiam. Dia seperti mendengar sesuatu yang keras menimpa mobilnya. dari kaca spion, ia melihat ke belakang mobilnya. Namun, tidak ada pun yang terjadi.
“Apa itu?”
Ketika Agra akan membalikkan tubuhnya, jalanan di depannya tampak lengang. Ia mengurungkan niatnya dan buru-buru menancap gas sebelum ada mobil lain menyerobot.
“Pasti mobil lain menabrak mobilku,” gumam Agra sambil menjalankan mobilnya.
Agra turun dari jalan raya bukit ke jalan tikus menuju rumahnya. Rumah Agra paling belakang di antara rumah lainnya yang terletak di bawah kaki bukit. Sebenarnya, perumahan elit itu memiliki gerbang utama yang besar dan tinggi, tetapi Agra malas memutar. Ia ingin cepat sampai. Di samping jalan tikus yang menurun itulah rumah Agra. Rumah yang berwarna gelap khas seorang pria. Pagarnya pun dari besi berlapis cat hitam pekat.