Rahma bangun dari tidurnya. Rambutnya yang berantakan ia biarkan begitu saja. Ia berjalan menuju kamar mandi. Perutnya benar-benar mual tak tertahankan. Belum sempat sampai ke kamar mandi, Rahma sudah mengeluarkan isi perutnya. Bahkan, ia menangis karena tidak tahan menahan gejolak di perutnya. Ia tiba-tiba saja terduduk sambil memegang perut.
“Sakit. Hiks,” gumam Rahma pilu. “Ibu ... Ibu, Ammah sakit. Hiks,” adu Rahma pedih. Beginilah jika seorang anak kehilangan orangtuanya. Di saat sakit, tidak ada yang memperhatikannya.
Nenek Saj yang datang dari halaman rumah melihat Rahma sedang duduk di depan kamar mandi. “Ya Tuhan, Ammah,” pekik Nenek Saj.
Nenek Saj tanpa sadar melepas baki yang berisikan beras. Ia berlari menuju Ammah dan memijit tengkuk gadis itu. Ammah tidak kuat menopang tubuhnya hingga ia tersungkur di lantai. Ammah menangis karena perutnya sangat mual. Perlahan, ia menutup mata.
Rahma pingsan.
Di sisi lain, Agra merasakan perasaan tidak enak. Entah itu apa! Yang jelas, hatinya berkeras jika seseorang sangat membutuhkan dirinya, tapi siapa?
***
Perlahan, Rahma sadar. Matanya mulai fokus. “Mual itu ada lagi,” batin Ammah. Samar-samar, Ammah mendengar suara Nenek Saj dan seorang wanita.
“Cucu ibu sedang hamil muda. Usianya baru beranjak tiga minggu, ” kata wanita itu.
“Ah, dia hamil? Tapi, bagaimana bisa, Bu Idha? Dia selalu di rumah dan mengikuti saya terus, tidak pernah bergaul dengan laki-laki.” ujar Nenek Saj sedih.
Rahma tersenyum sambil memegang perutnya. Walaupun dalam pengaruh obat ia masih bisa mendengar. “Tumbuh yang sehat di dalam, ya, Nak. Mamah sayang Dedek,” gumam Rahma pelan. Rahma mulai menutup matanya kembali dan tertidur.
Nenek Saj menatap Rahma yang masih tidur. Dia sedih anak seumur Rahma harus menanggung beban berat. Nenek Saj mengalihkan matanya dari Rahma dan menatap Bidan Idha.
“Saya menemukannya saat hendak pulang dari pasar. Kondisinya memang tidak terlalu mengenaskan, tapi cukup kasian melihatnya. Gadis itu selalu tersenyum dan tidak pernah menangis walaupun di dalam penderitaannya sekalipun. Kedua orangtuanya sudah tidak ada dan hidupnya luntang-lantung.”
Bu Idha menatap Nenek Saj dan menggenggam tangannya. “Jika dia sudah melahirkan, bawalah kemari, Nek. Aku akan membantunya melahirkan tanpa biaya,” kata Bu Idha yang iba mendengar kisah Rahma.
Nenek Saj mengangguk sambil tersenyum. Ia bersyukur masih ada orang baik di zaman seperti ini.
Rahma tidak tahu mana yang baik dan buruk, tetapi dia mempunyai keyakinan. Ia yakin jika ia bisa bahagia dengan apa yang dia punya. Ia banyak bersyukur meski ia hidup sendiri dan terombang-ambing dalam kerasnya dunia. Tidak ada tempat untuknya mengeluh, mengadu, dan memanjakan diri. Ibu dan ayahnya sudah tidak ada. Namun. ia memiliki seseorang yang baru. Janin yang ada dalam kandungannya. Rahma akan hidup bahagia dan penuh syukur seperti ketika ia masih memiliki orangtuanya.
Kamu putri kecilku
Kusayang padamu
Kehadiran dirimu sungguh membuatku berarti
Nyanyian itu amat merdu di telinga Rahma. Rahmi, ibu Rahma, menyanyikannya dengan cinta setiap hari. Hidupnya sangat bahagia di sebuah rumah sederhana. Setiap malam, ibu dan ayahnya, Randi, selalu menemaninya tidur dan bernyanyi.
“Ibu, jika sudah dewasa nanti aku akan menjadi seperti Ibu. Ibu selalu tersenyum dan bersyukur.” Rahma mendongak ke arah Rahmi.
Rahmi tersenyum ia membelai rambut hitam anaknya. “Apa pun yang terjadi, tetaplah tersenyum dan bersyukur. Hidup memang tidak selalu indah, tapi percayalah kalau kita bahagia dengan selalu tersenyum dan bersyukur, hidup kita akan jauh lebih indah, Ammah.”
Rahma mengangguk sambil tersenyum. Di samping Ammah, sang Ayah tertidur akibat kelelahan karena mencari pekerjaan ke sana kemari. Ammah berbalik menghadap ayahnya dan memegang wajah Randy.
“Ayah lelah?” Dalam keadaan setengah sadar, Randy mengangguk membuat Rahma tertawa pelan. “Mau Ammah empokin, Yah?” Ammah menepuk-nepuk lengan ayahnnya.
Tiba-tiba saja, tangan sang Ayah memeluk Ammah erat. Ammah sontak kaget, lalu tertawa. Rahmi pun ikut tertawa pelan.
Kebahagiaqn sangat sederhana bagi Rahma adalah ayah ibunya. Namun, semua itu tidak bertahan lama saat Rahmi dan Randy merantau untuk bekerja dan meninggalkan Ammah bersama tantenya. Namun, Rahma tidak bahagia bersama tantenya hingga anak berumur lima tahun itu pergi dari rumah hingga sekarang. Ayah dan ibu Rahma dikabarkan meninggal saat menaiki kapal klotok untuk menyeberang ke Balikpapan. Ombak yang besar membuat kapal itu terbalik.
Kini dalam ke sendirian Rahma hidup sendiri dan bertahan sebatang kara.