“Saya pikir mayat bahkan bangeke. Eh tahu-tahunya masih hidup?!”
Episode 7 : Ipul Minggat ke Jakarta
“Pae … mbok ya mikir kamu. Kalau Pae tetap keras kepala dan mengorbankan perasaan sekaligus perjuangan Den Bagus Saeful, … apa itu enggak keterlaluan?”
“Anak kita itu sudah sangat berjuang, Pae … dia sudah sampai jadi artis! Pansnya banyak! Jadi jangan coba menghalangi langkahnya!”
“Lagi pula, … memangnya Pae enggak bangga, punya anak artis berbakat kayak Ipul? Sebelas dua belas sama Keandra, Pae ….”
“Ngomong apa sih kamu Bue … Bue … ora(enggak) kenal. Ora ngaruh!” Sukat masih dengan keputusannya.
Sukat berjalan tergesa keluar dari pintu dapur menuju samping rumah, tetapi Sumi terus saja mengekor dan tak hentinya berbicara, seolah-olah, istrinya itu sedang membaca mantra yang kalau satu detik saja tidak dilanjut, hasilnya akan sia-sia.
“Bayangkan kalau Ipul kita lepas ke Jakarta, dia diculik bahkan diperkosa, Bue!” ujar Sukat akhirnya berkomentar.
Keduanya melangkah ke belakang rumah. Dan Sumi yakin, suaminya akan ke kandang sapi berikut kerbau mereka.
“Ya Alloh, Pae … serem bener?” seru Sumi syok sambil menekap erat mulutnya menggunakan tangan kanan.
“Tapi kan kalau Ipul beneran jadi artis, moninya bakalan banyak, Pae! Bahkan kita bisa punya duit kelar! Biar kayak si Kafur. Moninya kelar semuamya!” kilah Sumi yang mencoba berpikir jernih.
“Kamu ini sok tahu, Bue! Bukan kelar … tapi dellar!” Sukat mengoreksi.
“Ya pokoknya itu. Yang moninya lurus-lurus kayak cinta aku ke kamu lho, Pae!” Kali ini, Sumi berusaha menggoda suaminya. Ia bahkan sengaja tersenyum kemayu.
“Ah, masa, begitu?” Dan Sukat berhasil masuk ke dalam rayuan Sumi, kendati ia terus melangkah memastikan gudang belakang dapur sebelum keberadaan sapi dan kerbau mereka.
Sukat mengambil lima buah botol dot bayi berukuran besar. Sebab tiga hari yang lalu, dua kambingnya baru saja melahirkan sedangkan anak-anaknya mereka bantu minum s**u tambahan.
“Makanya Pae. Kita cukup dukung Ipul saja biar kita dapat moni dellar!” sergah Sumi yang menjadi sangat bersemangat.
“Nanti Pae mikir-mikir sambil mandiin kambing,” balas Sukat dengan kenyataannya yang menjadi lebih santai. Tak sampai marah apalagi meledak-ledak seperti sebelumnya.
“Jangan mikir-mikirlah, Pae! Bayangkan jika Ipul enggak dapat moni dari kita, dia dapat dari mana, sedangkan selama ini, Ipul sudah bekerja sangat keras urus kambing dan semua kerbau!”
“Iya, Bue … iya.”
“Jangan hanya iya, iya … Pae. Bayangkan jika Ipul sampai melakukan tindakan kriminal hanya deni dapat moni? Ipul jadi copet atau pencuri!”
Kali ini, fokus Sukat tak lagi pada mantra-mantra yang terus Sumi ucapkan. Fokusnya benar-benar pada kandang kambing yang di posisi paling ujung sebelah kanan, ada yang kosong 3.
“Bue … Bue … sudah jangan baca mantra terus kamu. Lihat, … tiga kambing kita yang paling super ini, tadinya di sini, ke mana?” Sukat menunjuk-nunjuk kandang kambingnya yang kosong tanpa jejak.
“Iya, Pak. Masa iya tiba-tiba ngilang, ya? Enggak mungkin juga kan, jadi kambing ngepet?” ujar Sumi.
“Ya ampun, Bu … berpikir jernih dong, jangan ngawur terus. Ini sudah sore. Sedangkan seharian ini, Pae juga enggak dengar suara Ipul!” tegas Sukat yang sampai menjadi uring-uringan.
“Cek, Bue! Cek Ipul di kamarnya! Jangan-jangan dia sudah minggat setelah gondol kambing buat ke Jakarta!” Membayangkan itu, jantung Sukat langsung terasa sangat sakit. Itu juga yang membuat tubuhnya terasa sangat lemas, sedangkan kedua tangannya yang awalnya memegang botol dot, menjadi meremas kuat-kuat dadanya.
Dan mendapati itu, Sumi pun jadi panik sekaligus syok. Namun Sumi memilih memastikan keberadaan Ipul yang diyakininya masih di dalam kamar. Terlepas dari Sumi yang sangat yakin, jika seharian ini anak kesayangannya itu tidur di kamar karena semalaman tidak tidur.
“Kambing-kambingku!” erang Sukat yang menjadi merasa sangat lemas.
Sukat bahkan sampai memilih duduk di depan kandang kambing sambil terus memegangi dadanya menggunakan kedua tangan.
***
Kamar Ipul benar-benar tidak berpenghuni. Pun dengan sebagian pakaian Ipul yang tak lagi menghiasi lemari. Kemudian, tujuan utama Sumi yang mulai kocar-kacir lantaran kenyataan tersebut, langsung tertuju pada motor. Motor bebek yang biasanya disertai ranjang untuk mengangkut kambing.
Dan benar saja, motor yang biasanya ada di teras depan rumah juga tak ada lagi di sana. Dengan kata lain, kemungkinan Ipul minggat ke Jakarta setelah sampai menjual kambing super milik mereka memang benar.
“Yes! Ipul jadi artis! Aku sengaja pura-pura sedih sajalah, … biar Pae terhibur!” batin Sumi yang sebenarnya sangat senang.
Tak lama setelah itu, Sumi buru-buru masuk rumah lagi. Ia setengah berlari menuju dapur dan keluar dari pintu samping yang ada di sana untuk sampai pada Sukat. Ia melakukannya sambil berseru, “bener, Pae … Den Bagus Saeful sudah enggak ada. Sudah minggat ke Jakarta. Ya sudah, Pae. Asal Ipul selamat. Kita doain saja. Nanti kita telepon. Sekarang pasti sudah di mobil. Mau magrib ini. Pasti mobil ya lagi ontewe!”
Sumi tak hentinya meyakinkan suaminya. Ia terus melayangkan bujuk rayu, termasuk mengambil alih kebiasaan Ipul yang biasanya akan ‘pediang’ atau membakar kumpulan dedaunan kering berikut kayu-kayu kecil yang sudah dikumpulkan, tak jauh dari kandang kambing. Biasanya mereka melakukannya di kala akan pelepasan senja, agar suasana di sana cukup hangat, terlepas dari pekatnya asap yang biasanya bisa mengurangi populasi nyamuk. Juga, pekatnya asap yang tak jarang membuat tetangga sibuk teriak-teriak.
***
Pemandangan sekaligus nuansa berbeda menghiasi sebuah bus jurusan Pangandaran-Jakarta. Benar-benar ada perbedaan yang begitu mencolok dan sukses membuat semua penghuninya menekap hidup dan mulut erat-erat seiring mual yang menggeliat di perut mereka.
Dari belakang, aroma itu menyeruak dan tercium semakin kuat. Dan di sana, ada seorang pria bertubuh kumal. Di bangku penumpang paling belakang dan sampai tiduran selonjor. Tampak sepatu boot jeep warna hitam yang begitu mengkilap menyertai sepasang kaki di sana. Sedangkan kantong plastik warna hitam putih tak ubahnya tubuh tubuh zebra, didekap di atas d**a dan ternyata berisi pakaian, ketika sang kenek memastikan.
Pria kumal yang sampai disertai lalat itu, mengenakan kacamata hitam tebal berikut kalung emas panjang yang besarnya, sebesar rante.
“Apa sih, Pak Kenek? Saya mau tidur sambil siap-siap ontewe ketemu mai oli wan Dek Fina ….” Sambil tetap berbaring, menyita enam kursi penumpang yang ada di bagian paling belakang, Ipul menurunkan kacamata hitam tebalnya.
Kedua kaki Ipul yang mengenakan sepatu boot tak hentinya goyang-goyang tak beda dengan buntut ikan.
“Saya pikir mayat bahkan bangeke. Eh tahu-tahunya masih hidup?!” ujar si kenek bus.
Pria yang kiranya berusia di atas usia tiga puluhan itu sampai muntah setelah mengeluarkan kantong plastik dari balik sakunya.
“Lho … ada mayat sama bangke juga, di sini?” gumam Ipul yang sampai bangun demi memastikan.
Ipul tak hentinya mencari-cari bahkan sampai ke kolong bangku setiap penumpang hingga yang ada, semua penumpang di sana termasuk sopir, kompak muntah-munta. Berbekal kantong plastik hitam untuk menampungnya, semua penghuni mobil juga kompak memunggungi keberadaan Ipul yang berdiri di depan bersebelahan dengan sopir.
Tak lama setelah itu, sang sopir juga mendadak menepikan busnya di sekitar jalan yang kedua sisinya dihiasi pepohonan hijau. Di sekitar wilayah Banjar Patoman. Dan di luar sana, sang sopir juga muntah-muntah. Ipul yang melongoknya sampai terheran-heran.
“Lho, pada sakit semua? Kalau begitu enyong (aku) bae (saja) sing(yang) nyetir, ya?” ujar Ipul mencoba mencari jalan terbaik.
Namun, tak ada yang menggubris niat baik Ipul lantaran semuanya masih sibuk muntah-muntah. Bahkan sebisa mungkin mereka ingin terhindar dari Ipul bila perlu, turun dan ganti bus. Mereka benar-benar ingin pisah dari Ipul yang mereka yakini menjadi penyebab bau sangat tidak sedap dan sukses membuat mereka muntah-muntah serempak.
“Orang-orang di sini pada aneh semua? Mereka lagi ngidam apa bagaimana, bisa kompakan begini?” pikir Ipul terheran-heran.
Ipul memutuskan untuk kembali ke tempat duduknya. “Ya sudahlah. Mai oli wan dek Fina ... aku datang!” batin Ipul bersemangat. Bahkan saking semangatnya, Ipul sampai loncat ketika akan duduk di kursi penumpangnya hingga menimbulkan suara yang cukup mengganggu dan sukses membuat penghini bus yang semuanya sedang muntah-muntah, menjadi mendengus sambil melirik sebal Ipul.
Dan Ipul yang sudah duduk santai dengan kedua kaki selonjor mendadak dikejutkan oleh semua penghuni bus yang kompak turun sambil membawa ransel masing-masing.
“Lho ... lho, ... kenapa mereka pada turun? Lah biar lah ... biar busnya tambah omber. Luas ... luas ... enggak sempit lagi!” batin Ipul yang pada akhirnya menjadi girang bisa naik bus sendirian.
***