Ipul masih berpikir keras. Dan semalaman ini, pria itu sampai tidak tidur. Bagaimana tidak? Agenda pergi ke Jakarta dengan tujuan utama menjadi artis dan bertemu Fina yang sudah ada di depan mata terancam gagal, lantaran misi mencari dana untuk ongkos ke Jakarta juga gagal. Sukat melarang keras dan sampai merampas uang pemberian Sumi yang sudah sempat Ipul genggam. Dan karena itu juga, hingga detik ini Ipul masih meraung-raung, tak ubahnya kambing-kambingnya yang tak hentinya berteriak karena kelaparan.
“Itu kambing diurusin, kamu malah masih nangis begitu?!” omel Sukat dari ambang pintu kamar Ipul yang ia buka sempurna.
Ipul yang masih meringkuk di lantai justru makin kejang-kejang bahkan memilih masuk ke kolong amben. Ipul sengaja bersembunyi di sana dengan harapan Sukat merasa iba.
“Digondol sentan kamu kalau susah dibilangin!” ancam Sukat yang sampai melongok keberadaan Ipul.
“Pae … balikin duit dari Bue! Itu kan uangku buat ke Jakarta!” raung Ipul.
“Enggak bakalan!” tolak Sukat tegas yang kemudian menarik gagang goloknya dari kerangkanya.
“Mau ngapain kamu Pae, pakai ngeluarin golok segala?!” jerit Ipul ketakutan.
“Nyunat ulang kamu biar kamu enggak rewel! Sini, keluar!” balas Sukat masih bersikap tegas.
Dari belakang, Sumi yang baru datang dan mendapati hal tersebut pun berteriak sekencang-kencangnya sambil menekap kedua telinganya kuat-kuat. Sumi menatap tak percaya kenyataan tersebut, di mana apa yang Sumi lakukan juga sukses membuat perseteruan Ipul dan Sukat berhenti. Kedua orang itu tak lagi adu mulut. Keduanya kompak diam sambil menekap erat telinga lantaran merasa pengang. Namun tak lama setelah itu, rentetan suara petasan juga turut terdengar sangat jelas dan membuat ketiganya keluar dari kamar dengan tunggang-langgang.
Ipul dan Sumi ketakutan dan saling berlindung di balik punggung Sukat yang segera membuka pintu rumah mereka. Dan ketika itu terjadi, selain seruan petasan yang terdengar semakin jelas, asap pekat dengan aroma obat petasan yang begitu kuat bercampur dengan serpihan kertas, langsung menyambut ketiganya.
Ipul dan orang tuanya terbatuk-batuk. Sedangkan Sukat memaksa untuk menembus semua itu. Ternyata ada yang menyalakan petasan berentet dengan ukuran besar dan banyak nyaris di depan pintu mereka. Kenyataan itu pula yang membuat Sukat kembali masuk ke rumah dan keluar dari pintu samping.
Seruan petasan itu akhirnya usai. Menyisakan asap tebal dan serpihan kertas berikut aroma menyengat. Suasana di sana kembali tenteram dihiasi seruan kambing dan sesekali kokokan ayam, berikut suara bebek atau angsa dari sebelah. Dan kerumunan warga khususnya anak kecil juga langsung bubar sambil bertepuk tangan.
“Siapa yang nyalain petasan di depan pintu rumahku pengin disembelih, ya?!” teriak Sukat sambil melotot-lotot.
“Dasar tetangga ora jelas!” gumam salah seorang tetangga yang rumahnya persis ada di depan rumah Ipul. Jarak rumah mereka hanya terpaut sekitar tiga puluh meter.
Pria dengan pipi bengkak sebelah itu terus mengelus-elus pipinya yang bengkak. “Lihat ini. Semalaman aku enggak bisa tidur gara-gara sakit gigi ditambah anakmu ngraung-ngraung kayak kambing-kambingmu yang berisik itu!” omelnya yang untuk sekadar berucap saja susah.
“Jadi, kamu yang nyalain petasan-petasan ini, No?!” tegas Sukat yang sampai melangkah tegas menghampiri tetangganya.
“Pae, jangan …!” Sumi berteriak ketakutan dari pinggir rumah ketika melihat suaminya mendekati tetangga depan rumahnya sambil menodongkan golok.
Berbeda dengan Sumi yang berusaha menyusul suaminya, Ipul justru mendadak kebingungan menatap bekas petasan yang hanya menyisakan asap pekat.
“Ya ampun … jadi tadi yang bunyi itu petasan-petasanku? Ya Alloh, Bue … gara-gara mau ke Jakarta, aku lupa segalanya termasuk petasan-petasan ini. Padahal niatnya buat lebaran besok!” raung Ipul yang kembali menangis dan sukses mengundang anak-anak untuk kembali.
Anak-anak yang jumlahnya ada lebih dari sepuluh itu menyoraki Ipul.
“Mantap, lho, Mas! Sering-sering saja nyalain petasan rentetan begitu!”
“Iya, Mas! Nanti beli lagi, ya!”
“Iya! Kalau mau nyalain kabar-kabar kami, biar seru!”
“Iya .. iya! Setuju!”
“Setuju-setuju ndasmu! Ininih enggak ada niatan buat diyalain karena harusnya buat lebaran. Sudah pada pergi sana!” omel Ipul dan anak-anak langsung lari sambil tertawa lepas.
Sukat terdiam bingung sedangkan tetangganya yang sakit gigi dan sudah ada di hadapannya, terlihat semakin geram.
“Sudah jelas, toh? Kabeh mau iki ulah keluargamu. Petasan itu milik Ipul, lan yang nyalain itu ya pasti keluargamu! Dasar wong-wong ora jelas!” maki tetangga Ipul sambil mengelus-elus pipinya yang bengkak.
Si tetangga tersebut memilih berlalu memasuki rumahnya. Namun ketika ia nyaris menutup pintu, ia berkata, “sudah kenyang aroma kambing … aroma tubuh kalian … sekarang ya ditambah berisik petasan. Duh Gusti, paringo kesabaran sing lewih ….”
Di luar, Sukat dan Sumi terdiam bingung. Keduanya saling lirik dan kemudian bertatapan dengan sebelah tangan Sumi yang masih merangkul bahu Sukat.
“Bukan hanya sekali dua kali, deh, Pae … tapi selalu. Orang-orang bilang, kalau kita ini bau!” ujar Sumi meminta pendapat.
“Enggak usah dipikir! Mereka cuma sirik sama kita yang punya banyak kambing!” balas Sukat sambil berlalu.
Sumi yang tak mau ketinggalan, segera menyusul langkah cepat sukat yang membuatnya harus sampai berlari.
“Pae … Pae, biarkan Ipul ke Jakarta! Balikin duit Ibu yang buat Ipul!” rengek Sumi.
“Duitmu juga duitku, toh, Bu?”
Ipul, yang mendengar perbincangan orang tuanya akhirnya mengambil keputusan. “Pae enggak mungkin balikin duit itu. Jadi, enggak ada pilihan lain. Aku harus jual kambing!” Dan Ipul, benar-benar yakin dengan keputusannya.
***
Hari ini, Fina diajak buka puasa keluar oleh Mey. Mereka jalan-jalan dan berwisata kuliner di sebuah mal. Yang membuat Fina tak percaya, hampir semua pekerja di mal begitu menghormati Mey. Mey bahkan Fina langsung diperlakukan dengan sangat istimewa. Selalu disambut dan dibimbing mendapatkan setiap penjelasan ketika Mey ingin mengetahui perihal barang atau makanan yang akan dibeli. Dan pelayan di sana akan sibuk bisik-bisik kemudian berbaris sopan, untuk menyambut Mey.
“Itu menantunya?”
“Bu Mey bilang anaknya?”
“Ya anak sama menantu, apa bedanya?”
“Kelihatan sayang banget, ya, sama menantu sampai segitunya? Digandeng, dirangkul?”
“Duh … jadi pengin jadi menantunya juga!”
“Tapi ya mustahil dapat yang kayak Rafael, kan?”
“Ya kalau enggak dapat yang bagus fisik kayak Rafael, ya yang penting bagus isi dompet. Soalnya yang bikin hatiku berdebar kan isi dompet!”
“Lah … iya kalau isi dompetnya uang? Kalau isinya penuh sama koleksi struk belanja? Buat apa?”
SPG di sana yang berkerumun mendadak sibuk menahan gelak tawa sambil memperhatikan Fina yang sibuk disodori banyak makanan.
“Makan yang banyak, Fin … kamu mau rujak?” ujar Mey.
Fina yang awalnya sedang menyeruput sop buah di sendoknya, langsung tidak bisa berkata-kata sambil menatap sungkan Mey yang ada di hadapannya.
“Rujak, ya? Mama enggak lagi kode minta cucu secepatnya, kan?” batin Fina yang kemudian tersenyum masam sambil mengangguk.
“Tapi ini juga sudah banyak banget, Ma … kayaknya rujaknya enggak bakalan kemakan?” ucap Fina kemudian lantaran meja makan mereka saja sudah penuh aneka makanan berat termasuk takjil.
“Ya sudah, rujaknya dibungkus saja. Mama juga suka rujak, lho. Nanti kita makannya sambil nonton televisi!” Mey yang begitu bersemangat, berangsur memanggil seorang pelayan. Ia meminta empat porsi rujak untuk dibungkus.
Fina mengulas senyum. Senyum tulus yang ia berikan kepada Mey. Wanita itu begitu tulus kepada Fina. Namun Fina yakin, semua ini tak luput dari masa lalu yang hingga sekarang masih menjadi belenggu Rafael sekeluarga. Tentang adik Rafael yang kabur. Dan Rafael bilang, alasan adiknya kabur lantaran hubungan cinta adik Rafael dengan kekasihnya ditentang. Ya, sedikit demi sedikit, Rafael memang mulai mau membuka masalah keluarganya yang sebenarnya sangat rahasia kepada Fina.
“Habis ini, masih ada yang ingin kamu beli?” tanya Mey sambil menikmati ikan bawal kukusnya yang diracik dengan bumbu khas chinese.
Fina yang masih menghabiskan segelas sop buahnya pun menggeleng di tengah mulutnya yang masih penuh. “Enggak ada, Ma.”
“Terus, kamu mau nonton?” tawar Mey lagi.
“Boleh, sih, Ma ... tapi sebentar lagi kayaknya Rafael telepon deh,” balas Fina.
“Ya enggak apa-apa. Nanti kamu bilang saja kalau kamu, Mama ajak nonton. Pasti Rafae ngerti, kok,” balas Mey yang masih menikmati ikannya.
Kali ini, lantaran mereka memesan makanan cukup banyak, Mey sengaja tidak memakan nasi demi bisa menghabiskan semua itu.
“Omong-omong, si Rafael masih lancar makan nasi, Fin?” tanya Mey lagi yang memang lebih nyaman menghabiskan makanan sambil mengobrol.
“Masih, Ma. Tapi paling beberapa biji,” balas Fina yang menjadi cukup antusias.
“B-biji?” Mey tersenyum geli mendengarnya.
“Iya, Ma. Sepuluh biji, lima belas biji. Tapi nanti kalau sudah beres puasa, bilangnya baru mau nambah. Soalnya kalau puasa takut enggak tahan. Geli katanya,” balas Fina.
“Hahaha ... tapi kamu sukses, lho, bikin Rafael mau makan nasi. Makasih banyak, lho, Mama saja enggak digubris sama dia, bertahun-tahun Mama usaha, selalu gagal!” balas Mey yang tak hentinya tersenyum.
Apa yang Mey lakukan membuat Fina tersipu. “Enggak usah berterima kasih, Ma. Kan memang sudah jadi kewajibanku mengurus dan melayani Rafael.”
Mey tergelak. “Tapi Rafael manja banget sama kamu, ya? Papanya saja enggak gitu?”
Fina makin tersipu dan mengalihkannya dengan menikmati esbuahnya. “Tapi kayaknya papa cemburu berat kalau Mama bahas-bahas Keandra!” ujarnya yakin.
Dan apa yang Fina balaskan kembali membuat Mey tergelak. Mey sampai menutupi mulutnya menggunakan sebelah tangan.
“Ya sudah, coba makanannya, jangan sop buah melulu,” ujar Mey.
Fina pun mulai mengambil piring berisi nasi, tetapi Mey langsung menyodorkan piring berisi ikan bawal putih kukus.
“Ini dulu. Ini bagus banget buat kesehatan,” ucap Mey.
Dan Fina segera berusaha menyeimbangi mertuanya. Jalan-jalan dengan mertua dan diperlakukan layaknya anak sekaligus sahabat, terbilang kenyataan yang langka, kan? Fina yakin, di luar sana banyak yang ingin seperti dirinya. Disayang mertua dan tidak dipandang sebelah mata.
***