Aduh … ah lo sih, Marlina! Nama gue dipanggil tuh!" Queeny panik hingga menyenggol lengan Marlina beberapa kali.
"Ma-af!" kata Marlina.
"Kalo Queeny masih saja tidak muncul, satu kelas saya kasih nilai D!" bentak Yusuf seraya membanting pintu ruangannya di hadapan mahasiswa.
Bruk!
Semua mahasiswa menatap tajam kearah Queeny, Queeny tidak bisa berkata apapun. Akhirnya dia bangkit dari duduknya dan berjalan pelan ke depan ruangan.
"Queeny, lo minta maaf aja! Lo yang hanya bisa menyelamatkan kita semua!" bisik Marlina pada saat Queeny akan mengetuk pintu.
Tok!
Tok!
Tok!
"Siapa?" tanya Yusuf.
"Sa-ya Queeny, pak," sahut Queeny dengan pelan.
"Masuk!"
Queeny membuka pelan pintu ruangan Yusuf, dia menatap wajah penuh kemarahan dari Yusuf, cepat-cepat ia menundukkan kepala.
"Kamu asal mana?" tanya Yusuf.
"Asal?"
"Asal kamu sebelum ke sini?" tegas Yusuf.
"Bandung, pak."
"Kamu pikir kuliah merantau untuk main-main, hah? Saya sudah tahu kalo kamu itu tidak benar untuk kuliah, mana kamu itu ngapain malam-malam di tempat yang tidak jelas waktu itu?"
'Tidak jelas, lah bapaknya juga ngapain ada di tempat yang tidak jelas waktu itu?' benak Queeny.
"Hei, Queeny. Kamu dengar saya bicara?"
"Dengar, pak. Mohon maaf pak kalau soal itu sepertinya bapak sudah kelewatan karena itu masalah pribadi saya tidak ada hubungannya sama tugas saya."
"Jelas ada. Saya yakin kamu tidak mengerjakan tugas karena keluyuran malam kan?" selidik Yusuf dengan mata tegas dan tajam.
's**t! Sumpah deh dosen nyebelin!' pikir Queeny.
"Oh … baik kalau soal tugas iya memang saya salah, saya minta maaf dan saya tidak akan mengulanginya lagi, saya juga bersedia untuk melakukan tugas pengganti," jelas Queeny dengan mengalihkan pembicaraan.
"Baiklah, kamu ganti tugasnya segera, besok kamu antar ke ruangan saya!" terang Yusuf.
"Baik, pak. Kalau begitu saya pamit!" Queeny membalikkan badannya dan menuju pintu keluar.
"Queeny! Ingat kalau sampai aku melihatmu lagi di malam hari, awas saja!" ancan Yusuf.
"Maaf pak itu bukan urusan bapak! Assalamualaikum!"
Queeny keluar dari ruangan Yusuf dengan perasaan kesal dan marah. Queeny heran kenapa dosen seperti Yusuf begitu terlalu dalam menanyakan masalah pribadinya sangat tidak masuk akal dan mengganggu kenyamanan.
Queeny masih berdiam diri di depan ruangan Yusuf, ia masih merasakan perasaan yang sangat tidak enak.
"Queen, gimana?"
Ceklek!
Pintu terbuka, terlihat Yusuf berdiri di hadapan mahasiswa yang masih berkumpul.
"Saya ingin memberikan edukasi ya, bahwa yang dilakukan oleh Queeny adalah kesalahan besar. Kalian masuk di universitas sebagai mahasiswa jadi sangat tinggi bukan lagi siswa, jadi gunakan otak kalian untuk berpikir dan mengerjakan tugas dengan benar. Plagiat itu adalah sama dengan kejahatan, ya karena telah mengambil ide orang, jadi saya tegaskan di kelas saya tidak boleh ada yang melakukan demikian. Jika mencantumkan pendapat orang lain jangan lupa mencantumkan sumbernya! Mengerti kalian?" jelas Yusuf.
Seketika mahasiswa melongo mendengar penjelasan Yusuf, dan kemudian saling melemparkan pandangan.
"Kenapa nggak ada yang jawab?!"
"I-ya, mengerti, pak!" serentak mahasiswa berkata.
Semua mahasiswa pun bubur meninggal ruangan dosen, merek juga menatap aneh kepada Queeny.
"Queeny, sabar ya. Maafin gue juga yang punya ide kaya gini!" kata Marlina seraya mengusap pundak Queeny.
"Mar, gue malu banget deh dipermalukan kaya gini!" keluh Queeny.
"Kayaknya, lo harus benahin niat lo kuliah sebelum semester ini selesai," saran Marlina.
Mereka berjalan bersamaan menuju kelas.
"Ah lo, gue beneran kok mau kuliah, gue mati-matian tes sampai bisa masuk ke Universitas ini dengan beasiswa!" ucap Queeny.
"Makanya karena beasiswa, lo mesti belajar yang bener jangan keluyuran malem teruslah! Kalo pak Yusuf tahu lo salah satu mahasiswa beasiswa, gimana hayo?" seru Marlina.
"Ish … janganlah, ya iya gue mau serius!"
"Harus itu! Queeny anak Kiyai katanya. Inget Queeny, lo jangan cari gara-gara lagi ya. Cukup tadi aja lo berbuat bodoh dengan mencomot artikel orang! Gara-gara lo satu kelas nilainya terancam!" sindir gadis yang satu kelas dengan Queeny.
Queeny menatap tajam pada gadis tadi, ia merasa diremehkan. Namun, ia tidak bisa berkutik karena memang Queeny sudah bersalah dengan membuat tugas asal-asalan.
Gadis itu menyenggol bahu Queeny, dia memasuki kelas lebih dulu.
"Mar, dia siapa sih?" tanya Queeny kepada Marlina.
"Itu Sintia, lo gak inget pas waktu ospek dia kan si primadona!" kata Marlina.
"Oh, yang dapat so kecantikan itu ya, yang sering digoda sama kating?" Queeny mengingat.
"Kecantikan, emang cantik sih! Ayo ah masuk! Jangan dipikirkan, mungkin lagi kesel aja dia!" kata Marlina.
"Iya, tapi gue tetep kesel apaan sih so kenal!"
Akhirnya mereka memasuki kelas dan mulai pembelajaran. Semua mahasiswa fokus pada mata kuliahnya, mereka sangat memperhatikan apa yang dikatakan oleh dosen. Bagi Queeny dunia perkuliahan adalah hal yang baru baginya, meskipun ia sudah merasakan kesulitan bahkan di awal perkuliahan sudah mempunyai musuh. Namun, Queeny adalah gadis yang ingin mencoba dalam hal baru, ia adalah gadis yang tidak putus asa sekalipun mendapatkan ujian berulang.
Queeny terlalu bersemangat di tempat rantaunya, sehingga ia kurang mempersiapkan diri bahwa tujuan utama yaitu kuliah. Queeny gembira karena bisa bebas dari lingkungannya yang keras dan disiplin sehingga ia juga lupa punya beban tanggungan dalam pundaknya saat ini.
"Baik, ibu mau kalian buat kelompok dan mulai membuat materi untuk dipresentasikan minggu depan ya, jadi minggu depan bagian kelompok satu. Ibu, pamit dan selamat datang di dunia perkuliahan!" girang ibu dosen seraya membereskan laptopnya.
"Terima kasih, bu," kata Sinta.
Sinta bangkit dari duduknya dan berdiri di hadapan mahasiswa.
"Eh … lo Queeny, lo kelompok pertama ya, karena lo udah buat kesalahan di mata kuliah pak Yusuf. Kita harap lo bisa mengerjakan tugas kelompok dengan baik!" terang Sinta kepada Queeny, hingga membuat Queeny menelan salivanya.
"Iya … iya, gue sama siapa aja nih?" tanya Queeny.
"Tuh ajak aja bestie lo si Marlina. Nah, selebihnya lo cari sendiri ajalah!" saran Sintia.
"Mar, gimana?" tanya Queeny.
"Tenang aja, gue ngikut lo. Kalau nggak ada yang mau gabung nggak papa kita berdua aja," kata Marlina menenangkan.
"Gue mau gabung," timpal seorang pria dari belakang Queeny dan Marlina.
"Gue juga ngikutin, mending jadi kelompok pertama biar nanti bisa senggangan lah. Soalnya katanya bakalan banyak presentasi," seru pria lain.
"Wah … serius Agung sama Nasrul mau gabung?" tanya Marlina.
"Serius lah. Ini kita udah nggak ada jadwal lagi mending kita kerjain sekarang aja. Kita ke kosan siapa kek," sarannya.
"Bener juga kata Agung. Kita ngerjain di kosan kita aja, gimana Queeny?" tanya Marlina.
"Boleh!"
"Queeny! Sayang!" panggil Furqon di balik pintu.
Queeny terkejut mendengar Furqon memanggil panggilan sayang di hadapan umum.
Sintia mendelik, kemudian ia berkata, "Queeny, nggak salah anak Kiyai punya pacar? Lo, nggak takut di azab sama kedua orangtua?"
"Eh … apa urusan lo bilang kek gitu? Lo, siapa sih?" Furqon kesal kepada Sintia.
Queeny menarik lengan Furqon keluar kelas. Sementara Marlina masih diam di kelas.
"Kalian nanti nyusul ya. Gue sama Queeny duluan, entar gue kirim shareloc kosannya."
"Siapa sih tadi, Queeny?" Furqon tak sabar mendengar penjelasan Queeny.
"Udah, jangan dipikirin emang dia kaya gitu." Queeny menenangkan, Queeny merasa tidak nyaman dengan kehadiran Furqon. Namun, jika dia marah akan memancing pertengkaran.
"Sayang, ada apa?" lanjut Queeny.
"Aku kangen kamu aja. Kamu udah makan?" tanya Furqon kembali sumringah.
"Ah kamu, belum makan sih, cuman aku ada tugas kelompok nih sama Marlina. Jadi mesti balik ke kosan cepet," jawab Queeny dengan hati-hati.
"Yah, yaudah nggak papa. Tapi, kalau malam bisakan kita main?"
"Hmmm …."
"Lama amat jawabnya, nggak mau?"
"Iya iya, aku mau!"
"Nah, gitu dong. Nanti aku jemput ya! See you!" Furqon mengelus puncak kepala Queeny dan pergi meninggalkan Queeny.
Queeny menghela napas, lalu Marlina datang.
"Gimana? Aman?" tanya Marlina penasaran.
"Aman! Yu kita berangkat!"