Syahid duduk terdiam dengan memandang keluar jendela di kelasnya. Pemuda berahang kokoh itu menarik nafas dan menghembuskannya pelan dengan gusar. Obrolannya dengan ayahnya semalam masih mengganggu pikirannya sampai sekarang. Apalagi ayahnya mengatakannya dengan begitu yakin, seakan tidak ada kebohongan yang beliau sembunyikan.
"Peduli?" Ujar pemuda itu dengan tersenyum samar, masih memegang daun pintu kamarnya. "Kenapa baru sekarang? Dari dulu kemana aja?" lanjut pemuda jangkung itu masih memandang nanar ayahnya di depannya.
Ayahnya menghela panjang sembari menjulurkan tangan hendak menyentuh wajah tampan anaknya, namun sang anak sontak menghindar membuat ayahnya tersenyum miris.
"Kenapa kamu ngomongnya begitu, nak? Ayah sama bunda, selalu peduli sama kamu dan dua adik kembar kamu. Dari dulu ataupun sekarang, sama sekali gak ada bedanya." Jelas ayahnya masih menatapnya lembut.
Syahid mengulum bibir dengan menatap ayahnya tepat. "Kalaupun ayah peduli? Kenapa aku harus dibuang ke rumah oma? Kenapa hanya aku yang ditelantarkan? Apa karena aku sakit?" Tanya pemuda itu sudah menatap ayahnya dingin, "jadi aku harap, gak usah sok peduli. Kalau itu cuma cara ayah buat ngehapus rasa bersalah ayah selama ini." Lanjutnya langsung menutup pintu kamarnya tanpa mendengar penjelasan ayahnya lagi.
"Heh? Kenapa lo, bengong aja dari tadi." Tepukan keras pada bahunya membuat Syahid menoleh kaget dan sontak membuang muka melihat Arjuna yang sudah menarik kursinya dan duduk di sebelahnya.
Syahid tak menanggapi, pemuda jangkung itu menyenderkan bahu pada kursinya dengan memejamkan mata erat.
"Gila sih, ini Zero keren bangat anjiirrr. Setiap ada masalah pasti dia muncul kayak pahlawan." Puji Arjuna masih memandang layar ponselnya yang menampilkan sesosok pemuda yang melompat dari jendela dengan tanpa beban.
"Zero?" Tanya Syahid menegakan tubuh, penasaran juga dengan apa yang Arjuna celotehkan, "iya, Zero. Sosok yang kemarin videoin Reno di kamar mayat. Anak anak manggil dia tuh dengan sebutan Zero," jelas Juna dengan masih tersenyum lebar memandangi ponselnya.
Syahid memutar mata jengah dengan kembali memejamkan matanya erat. Keduanya menegak kaget saat beberapa murid memekik kecil dengan berlari keluar dan berdiri berjejer di depan kelas seakan menyambut kedatangan presiden.
Arjuna beranjak berdiri. Pemuda itu sekilas memasukan ponselnya ke dalam saku celananya dan menarik paksa lengan Syahid.
"Gue mau tidur." Tolak pemuda itu menepis tangan kurang ajar Juna yang masih bertengger pada lengannya, "diem aja nyet, elo gak mau apa lihat bidadari Aurora?" Ujarnya sudah menerobos beberapa teman kelasnya sembari berdiri di depan. Pemuda itu melongokan kepala memandangi lima orang yang kini berjalan di koridor dengan tatapan takjub para murid Aurora yang menyambut kedatangannya. Kelimanya adalah ikon Aurora, visual di atas visual.
Arjuna menyenggol pelan lengan Syahid yang hanya membuang muka tidak peduli.
"Cantik bangat yah? Berasa beruntung banget gue bisa ngelihat Kak Yuna tiap hari, hidup gue tuh berkah banget," gumam pemuda lesung pipit itu sudah drama membuat teman di sebelahnya menggelengkan kepalanya heran.
Yuna Queenissa adalah bidadarinya Aurora. Gadis dengan tubuh ideal dan senyum manis itu nyatanya adalah seorang model profesional yang kini menjabat sebagai ketua ekskul modeling di Aurora. Bukan hanya cantik, gadis dengan rambut hitam panjang itu begitu ramah dan juga baik hati. Sempurna untuk gadis seumurannya. Fisik cantik, hatipun juga. Paket komplit. Berbeda dengan kedua teman perempuannya, yang juga merupakan anak modeling. Salsa dan juga Ayumi. Keduanya seperti figuran yang selalu menemani tokoh utama kemanapun ia berada. Sama halnya dengan dua pemuda jangkung berwajah tampan, Ando dan juga Sean yang merupakan teman sekaligus bodyguard Yuna.
"Bentar lagi mereka lewat kesini anjir, eh muka gue masih ganteng gak nih? Masih wangi gak gue?" Cerocos Arjuna sesekali mendengus badannya untuk mengecek harum tubuhnya. Syahid hanya menghela nafas hendak berlalu masuk namun Juna masih saja menahannya.
Arjuna menegak saat Yuna dan keempat temannya kini menghentikan langkahnya di depan keduanya. Gadis cantik itu menoleh pelan sembari mendongak kecil kearah Syahid yang merunduk pada ponselnya melihat pesan masuk.
Arjuna menganga kecil melihat sikap cuek Syahid yang sama sekali tidak mengangkat wajah, padahal ada Yuna di depannya yang masih menatapnya dengan tersenyum manis. Anak lain sudah berbisik-bisik membicarakan pemuda itu. Ada yang mupeng, ada yang iri dan ada yang terang-terang mengumpat padanya.
"Hai, gue Yuna." Sapa gadis itu dengan menyelipkan rambutnya di belakang telinga membuat Arjuna hampir ngeces disana. Syahid yang baru menyadari keberadaan gadis itu jadi mengkerutkan kening sembari menoleh. "Elo Syahid, kan?" Lanjut gadis itu membuat pemuda itu mengangat alis kaget.
"Lo kenal Yuna? Sejak kapan? Kenapa gak cerita sama gue?" Bisik Arjuna setengah menggeram kearah pemuda itu, Syahid hanya melongos tak menanggapi.
"Hm. Iya," balasnya dingin membuat Yuna di hadapnnya jadi tersenyum lagi. Keempat teman gadis itu hanya menunggu tanpa membuka suara.
"Elo masih ingat gue, kan?" Syahid mengkerutkan kening, malas juga harus berada di sana diperhatikan orang banyak.
"Gak." Balasnya singkat kemudian membalikan tubuh hendak pergi.
"Tunggu!" Tahan Yuna sembari memegang ujung seragam pemuda itu membuat Syahid menoleh lagi dengan alis bertautan. "Elo beneran gak ingat gue? Gue Yuna Queenissa, masa lo gak ingat." Lanjut gadis itu gemas sendiri namun masih berusaha mempertahankan senyumnya. Syahid mendesah panjang lalu menepis pelan lengan gadis itu pada seragamnya.
"Sama sekali enggak." Balasnya datar, pemuda itu langsung berbalik meninggalkan Arjuna dan gadis itu yang masih menganga kecil melihat kepergiannya.
Yuna berdiri dengan memandang pemuda jangkung itu yang sudah hilang di belokan koridor tanpa mengindahkan tatapan anak-anak yang terang-terangan mencibir sikap juteknya.
_____
"Elo beneran kenal cowok songong tadi?"
"Hm. Dia pernah nolongin gue saat di jambret," balas Yuna dengan menyenderkan bahunya pada sofa sembari memandang keempat temannya yang menatapnya heran.
"Oh yang pas gue sama Sean ketinggalan mobil?" Tanya pemuda di sampingnya membuat gadis itu mengangguk membenarkan, "tapi sayangnya dia gak ingat gue. s****n bangat kan?!" Umpat gadis itu dengan tersenyum miring.
"Perlu kita kasih pelajaran gak?" Ujar Sean sudah berdiri dengan mengeraskan rahang, Yuna menggeleng dengan tersenyum manis.
"Enggak perlu. Gue cuma butuh hiburan sekarang, panggil badut badut gue dong!" Tuturnya manis dengan memandang kedua pemuda itu bergantian, Sean mengangguk lalu melangkah keluar diikuti Ando yang mengekorinya.
"Ambilin peralatan make up gue yah?" Titahnya manis pada kedua teman perempuannya yang sontak berdiri dan buru-buru meninggalkan tempat perkumpulan mereka.
Yuna memejamkan matanya erat dengan menyender pada sofa. Gadis itu menarik sudut bibirnya pelan lalu terkekeh begitu saja seperti orang kesetanan.
"Cowok s****n itu?! Bisa bisanya gak kenal sama gue?!" Gumamnya dengan menajamkan pandangannya, berbanding terbalik dengan Yuna si gadis cantik dengan senyuman manisnya tadi. Gadis itu berubah drastis.
Suara langkah kaki membuat gadis itu menoleh pelan. Bibirnya tertarik begitu saja melihat tiga orang siswi dan satu siswa berkacamata kini berdiri takut di depan Ando dan Sean yang menyeretkan datang kesana.
"Sini, sini, gue kangen kalian. Mumpung gue lagi bosan, gue mau rias kalian," ujarnya dengan antusias dengan tangan yang melambai kecil memanggil keempat teman sesama tingkatannya itu. Kelas dua belas.
Sean dan Ando berjalan keluar, meninggalkan tempat itu sembari menyempatkan menutup pintu. Berselang beberapa menit pintu kembali terbuka, Salsa dan Ayumi membawa peralatan make up dan meletakannya di atas meja.
"Thankyu." Ujar Yuna tersenyum manis lalu beranjak menghampiri keempat orang di hadapannya yang kini merunduk takut dengan keringat yang sudah membasahi pelipisnya. Yuna bergerak kecil sembari menguncir satu rambut panjangnya dan mengambil sensi glove dan memakainya. Gadis itu mendekat pada siswa berkacamat yang termundur kecil melihat dirinya.
"Elo takut? Hahahah belum saatnya takut. Bentar lagi kok," ujarnya tanpa beban lalu meraih lengan pemuda itu pelan, "wah, goresan yang gue bikin bagus juga yah? Elo tuh harusnya berterima kasih sama gue." Lanjutnya masih mengomel kecil.
Yuna berbalik lalu membuka kotak peralatan make upnya. Tangannya langsung mengambil kotak kecil dan membuka benda kotak warna hitam itu. Disana berjejer silet dengan banyak ukuran dan bentuk, yang pastinya baru dan tajam.
"Gue baru beli kemarin, pasti bakalan mudah kena kulit tipis lo ini." Ujarnya masih tersenyum lalu menarik lengan cowok tadi dan mendudukannya di sofa sembari memakaikan pemuda itu approan pada tubuhnya. Entah untuk apa.
"Ja..... jangan..... gue mo..... hon," pinta pemuda itu sudah keringatan dan bergetar kecil, Yuna menghela kecewa dengan memandang pemuda itu lurus. "elo pengen keluar dari sini?" Tanyanya dengan menatap pemuda itu seakan iba, cowok kacamata itu mengangguk cepat buat Yuna tergelak dan menunjuk-nunjuknya dengan silet di tangannya.
"Lucu bangat sih badut aku, udah, udah, gue tuh paling suka dengan jeritan lo. Selalu merdu di telinga gue," katanya tersenyum lagi lalu kemudian mengangkat wajah dengan menajamkan pandangannya buat pemuda malang di depannya itu menelan salivanya kasar. Begitupun dengan ketiga cewek yang menunggu di eksekusi itu. Sudah saling pegang tangan berharap bisa menghilang dari sana.
"Gue mulai yah." Katanya menggerakan tangannya dan menaruh silet tajam itu pada tangan badutnya. Gadis itu kembali membuat goresan baru yang buat ia puas. "Bentar, bentar, bentar lagi selesai kok." Katanya menenangkan masih mengiris lengan pemuda itu tanpa takut melihat darah sudah mengalir pada bekas goresannya.
Suara jeritan dan pekikan memilukan di dalam sana hanyalah menjadi angin lalu. Tidak ada yang tahu penderitaan mereka yang menjadi badut-badut Yuna selama dua tahun terakhir ini.
"Oke. Udah selesai. Salsa, urus dia yah," katanya lalu beralih menatap ketiga gadis di depan sana, "gue kan udah pernah bilang. Elo tuh harus banyak makan, gue paling benci kalau silet gue kena tulang lo." Omelnya dengan sesekali tersenyum lalu beranjak menarik lengan salah satu dari mereka.
"Ayumi."
"Iya?"
"Bilang sama Ando dan Sean. Rekrut Syahid sebagai model utama Aurora, apapun caranya dia harus jadi pasangan gue di pemotretan bulan depan." Titahnya membuat gadis bernama Ayumi mengangguk ragu.
"Kenapa harus anak itu? Bukannya udah ada partner lo?".
Yuna memejamkan matanya erat, "harus bangat gue jelasin? Jangan bikin gue capek mulut. Elo mau gantiin anak ini?" Ujarnya dengan menatap temannya itu tajam. Ayumi menggeleng cepat langsung berbalik menemui Ando dan Sean.
"Pasti dagingnya Syahid empuk, jadi enak kalau kena silet." Gumamnya antusias dengan tersenyum lebar dan menggerakan kakinya di lantai. Bahagia membayangkan daging yang bertemu silet tajamnya.
_____
Pemuda jangkung itu terlihat memantul-mantulkan bola basket di tangannya dengan mata menatap ring basket di depan sana. Kakinya terlihat melompat kecil dan bola masuk begitu saja di dalam sana. Arjuna yang sedari tadi duduk di pinggir lapangan sudah bertepuk tangan heboh dan beranjak berlari mendekat padanya.
"Jadi beneran daftar basket, lo?"
"Hm." Dehem pemuda itu sudah mendudukan diri dan meneguk minuman dinginnya, Arjuna mengangguk pelan lalu tersenyum lebar. "Gue sebenarnya mau daftra modeling, biar ketemu Kak Yuna terus." Cerita pemuda itu dengan duduk bersilah membuat Syahid mengangkat alis, "tapi sialnya mereka bilang muka gue gak cocok jadi model, cocokan jadi pelawak." Tambahnya dengan mengumpat samar. Syahid hanya mengangguk kecil membenarkan.
Arjuna terdiam. Pemuda itu mendesah panjang lalu menidurkan diri dengan lengan sebagai bantalan. Pemuda menggemaskan itu menatap langit sore dengan kedua kaki bergerak-gerak kecil di bawah sana.
"Dua kembaran lo daftar apa?" Tanya pemuda itu hati-hati, Syahid mengedikan bahu tidak tahu dengan kembali meneguk minumannya yang tinggal sedikit. "Jangan terlalu dinginlah, mereka berdua tuh kembaran lo. Jangan karena masalah lo sama ayah lo, elo malah ngejauh." Nasehat Arjuna dengan serius. Syahid tak menanggapi malah beranjak berdiri dengan menyempatkan meraih ransel hitamnya.
"Balik!" Ajaknya sudah menyelonong duluan meninggalkan Arjuna yang sudah menyebut sumpah serapah dan sederet isi kebun binatangnya.
Syahid berjalan cepat dengan mengedarkan pandangannya menatap tempat parkir yang sudah sepi karena bel pulang sudah berbunyi sedari tadi. Pemuda itu hendak berbelok melewati pilar namun langkahnya terhenti melihat wanita paruhbaya berdiri di depan gerbang dengan memegang karton bertuliskan 'Tolong kupas tuntas tentang meninggalnya Reno Adriansyah' di sana. Syahid menghela panjang lalu melangkah tenang kearah parkir dan mengambil motor besarnya.
Pemuda jangkung itu terlihat memakai helm dan menarik gas pergi melewati begitu saja wanita paruhbaya yang masih berdiri menuntut keadilan untuk putranya didepan gerbang.
Syahid mengendarai motornya dengan menyusuri padatnya jalan raya. Matanya memicing melihat dua mobil seperti mengekorinya sedari tadi di belakangnya. Pemuda itu menghela panjang tak gentar melihat itu.
Syahid berbelok ke jalan sepi dengan dua mobil tadi yang masih mengikutinya dari belakang. Entah apa motifnya yang jelas mereka orang jahat. Pemuda itu menghentikan motornya pada bahu jalan sembari membuka helm fullfacenya dan turun dari tunggangannya.
Dua mobil tadi pun terlihat berhenti di belakang motornya dan terlihat dua pemuda berseragam sama dengannya melangkah tenang mendekat kearahnya. Syahid mengangkat alis seperti pernah melihat keduanya, tapi dimana? Pemuda itu tersentak kaget, baru menyadari kalau dua orang berseragam acak-adul itu adalah teman gadis yang mengenalkan dirinya sebagai Yuna tadi.
"Elo Syahid, kan? Bisa ikut kita masuk mobil?"
Syahid menaikan satu alis dengan menatap mereka dingin.
"Kalau gue nolak, gimana?"
Keduanya saling pandang dengan sekilas menoleh kearah mobil putih yang terlihat seorang gadis duduk manis disana. Memandang ketiganya dari dalam sana seakan mengawasi.