Hans terlihat berdiri di ujung koridor sembari menunggu kedatangan Wisnu yang masih terlihat mengobrol dengan beberapa murid di koridor. Pemuda dengan suara berat itu menolehkan kepala pelan dan mengkerutkan kening melihat Vino dengan beberapa temannya melangkah ke belakang kafetaria. Hans menaikan satu alis saat melihat salah satu teman sekelasnya ada juga di sana dengan wajah pasrah mengekori Vino dengan ketiga temannya.
Hans terlonjak kaget saat Wisnu menepuk pelan bahunya, pemuda tampan itu sudah tersenyum samar kearahnya dengan ikut melongokan kepala kearah pandangan Hans.
"Lagi lihatin apa? Kenapa sampai bengong gitu," ujarnya masih berusaha melihat, namun ia sama sekali tidak menemukan apapun. Hans berdehem dengan menggelengkan kepala pelan. "Bukan apa-apa kok," balasnya lalu melangkah duluan diikuti Wisnu yang tidak puas dengan jawabannya.
"Oh iya, Hans. Kemarin gue udah coba cari tahu masalah Reno dan ngomong sama kepala sekolah. Beliau bilang kalau memang Reno bunuh diri dan bukan dianiaya oleh pihak lain," jelasnya membuat Hans menggigit bibir, "dan yang masalah bekas luka itu, katanya emang karena kena pecahan kaca sama gesekan tali dengan kulit Reno. Makanya begitu," tambah Wisnu lagi buat Hans terdiam dengan mengulum bibir. "Elo percaya apa yang di bilang sama kepsek?"
Wisnu terdiam dengan mengangkat alis dan kemudian tertawa ringan, "enggaklah, elo kira gue sebodoh apa? Lagipula semua penjelasan dan bukti yang kepsek kasih gak etis. Semuanya kayak udah diatur."
Hans mengangguk setuju.
"Apa gak sebaiknya kita laporin ke dinas pendidikan soal ini. Gue takutnya kalau kita biarin malah menjadi-jadi," Wisnu menggelengkan kepalanya lemah, "kita belum cukup bukti. Dan harusnya kita lebih berhati-hati, karena disekitar kita ada mata dan tangan kepsek yang mengintai." Jelas Wisnu lagi buat Hans terdiam dengan menghela kasar.
Keduanya terdiam dengan melangkah kearah parkiran sekolah. Wisnu mengambil helm miliknya dan memakainya cepat. Hans yang sedari tadi sudah menunggangi motornya jadi menoleh pelan. Ingin mengatakan sesuatu namun pemuda itu masih ragu.
"Bilang aja, gak usah ragu." Ujar Wisnu seakan bisa membaca pikirannya, Hans mengerjap pelan lalu melangkah turun sembari mendekati Wisnu yang sudah membuka kaca helm birunya.
"Ini masalah Vino."
"Kenapa sama dia?"
Hans menghela pelan sembari mengedarkan pandangan kearah para murid yang sudah berhamburan pulang.
"Minggu kemarin dia bikin masalah lagi sama juniornya, malahan sekarang tambah parah. Juniornya sampai patah tulang dan gak bakalan bisa ikut taekwondo lagi,"
Wisnu mengangguk dengan tersenyum samar. "Oke, emang seharusnya gue turun tangan." Ujarnya sembari mencopot helmnya dan melangkah pergi begitu saja meninggalkan Hans yang menganga menatap kepergiannya.
Dibelakang kafetaria. Terlihat asap rokok mengepul dengan suara tawa beberapa murid yang tengah duduk bergerombol dengan salah satu diantara mereka duduk merunduk menunggu perintah.
"Elo beneran udah kerjain apa yang gue suruh kan?" Ujar salah satu pemuda diantara kelimanya, sosok malang di hadapan mereka itu pun terlihat mengangguk ragu dengan meremas celana seragamnya.
"Bagus. Seharusnya gue nyuruh lo buat bakar aja rumahnya sekalian, biar mati gosong tuh anak songong." Tuturnya dengan kembali mengisap rokoknya dalam dan menghembuskannya tepat di depan wajah sosok berambut panjang yang hampir menutupi matanya.
"UHUK UHUK UHUK..... " Batuknya dengan berusaha menjauhkan wajahnya dari asap rokok.
"Elo berani ngehindar?!" Teriak cowok itu geram sembari beranjak dan menginjak kedua paha sosok itu kasar membuatnya memekik kesakitan. Ketiga temannya hanya terbahak dengan sesekali mengunyah keripik di tangan masing-masing.
"Vin! Vino!" panggil temannya sembari menarik pelan bahu pemuda jangkung itu yang masih saja berdiri di atas paha korbannya tadi.
"Apasih b*****t?!" Teriaknya kasar kearah temannya karena diganggu, "itu ada Wisnu." Bisik temannya membuat pemuda yang menindik telinganya itu terdiam dan sontak menoleh dan melangkah turun di atas paha sosok tadi.
Wisnu melangkah pelan dengan menatap Vino lurus. Bibirnya tertarik pelan, terlihat tersenyum namun kedua manik matanya seakan marah.
"Elo Angga kan? Sekelas dengan Hans." Ujar Wisnu ramah kearah sosok yang masih duduk dengan meringis kecil, "elo sebaiknya pulang. Dari tadi udah bel," tambah Wisnu lagi buat cowok bernama Angga itu mengangguk pelan lalu melangkah pergi begitu saja tanpa melihat kearah Vino dan ketiga temannya.
Vino menggigit bibir dengan kedua tangannya di belakang, seakan siap dimarahi. Begitupun dengan ketiga temannya.
"Gue udah pernah negur lo kan buat berhenti buat masalah? Kenapa masih ngelanggar?" Tutur Wisnu masih dengan senyumannya, namun entah kenapa Vino malah makin ketakutan.
"Maaf Wisnu, gue janji gak akan terlalu menonjol." Balasnya berusaha untuk tidak gagap, Wisnu mengangguk lalu menepuk pelan bahu pemuda itu, "gak pulang? Udah bel dari tadi." Tambahnya lalu berlalu begitu saja dengan menyempatkan tersenyum kearah teman-teman Vino.
"Elo kenapa takut banget sama Wisnu sih Vin? Padahal kalau dikeroyok mah mati tuh anak." Ujar temannya merasa aneh, Vino menggeram dan menendang kasar kaki temannya. "Wisnu itu ketos, jadi gue harus nurut sama dia." Ujar Vino dengan wajah panik dan melangkah duluan membuat ketiga temannya saling pandang tidak mengerti.
"Emang selama ini ketua osis ngaruh buat Vino? Ada yang anak itu sembunyiin dari kita."
****
Syahid terlihat duduk di mejanya dengan menatap keluar jendela kelas. Pemuda jangkung itu mengerjap samar dengan tatapan dinginnya yang selalu menakutkan. Suara derap kaki buat pemuda itu menoleh dan mendongak kecil melihat Arjuna sudah menyengir lebar kearahnya.
"Gak ganti seragam lo? Ini hari jumat, olahraga massal ege. Lupa kan lo pasti, untung lo punya teman yang super perhatian kayak gue, kalau gak..... "
Arjuna mengumpat samar melihat Syahid sudah tidak ada di mejanya. Pemuda pendiam itu sudah menyelonong keluar.
"Katanya hari ini kita bakalan pemanasan aja di lapangan sampai dua jam. Berasa di panggang gak sih, kita?" Cerocos pemuda itu masih mengekori Syahid yang sudah membuka pintu tempat dimana loker kelasnya. Ada beberapa teman sekelasnya juga disana yang sudah mengganti seragamnya dengan pakaian olahraga.
Syahid menjulurkan tangan dan membuka loker miliknya, pemuda itu membuka kancing bajunya dan menariknya cepat membuat Arjuna melebarkan mata takjub.
"Wow, roti sobeknya menggoda sekali," ujar pemuda itu masih memandangi otot perut milik Syahid.
Syahid berdecak dan menabok kepala Juna kasar membuat pemuda itu tergelak sendiri. "Pulang sekolah kita pergi nonton yuk! Ada film horor baru dirilis," ajaknya dengan senyum mengembang.
"Tambah horor kalau nonton berdua sama lo."
"HAHAHAHA bisa ae kanebo basah.... " cibirnya dengan berdecak samar lalu mengekori lagi Syahid yang sudah melangkah kearah lapangan dengan beberapa murid yang sudah berbaris sesuai kelasnya masing-masing.
Syahid melangkah kearah pinggir lapangan dan terdiam saat melihat Syaqila berlari kecil kearahnya dengan sesuatu di dalam genggamannya. Arjuna di sebelahnya jadi mengkerutkan kening melihat Syahid yang hanya menatap lurus sang adik yang sudah berdiri di depannya dengan berusaha menetralkan nafasnya.
"Kenapa?" tanyanya dengan melirik kearah keringat pada pelipis sang adik. Syaqila tersenyum dengan menarik lengan kanan Syahid sembari menggulung lengan baju olahraga pemuda itu.
"Lagi panas panasnya, jadi harus pakai sunblock biar gak gelap," katanya dengan tersenyum manis, tangannya terlihat menuangakan sesuatu berwarna putih dan menggosokan pada kedua lengan dan juga telapak tangan Syahid dengan lembutnya.
Syahid terdiam hanya menatap Syaqila lurus dan tidak menolak atau pun berterima kasih. Arjuna jadi berdecak samar dengan menyenggol pelan lengan pemuda itu.
"Mau juga dong di gosok pakai itu," ujarnya dengan merengek manja buat Syaqila mendelik kecil dan mendongak menatap Syahid seakan meminta perlindungan.
"Pergi sebelum gue gosok pakai tinju."
"SYADIIIISSSSSSSSSS."
"SEMUANYA BERKUMPUL DAN BARIS SESUAI KELAS MASING-MASING!"
Ketiganya sontak berlari kearah lapangan menuju barisan kelas masing-masing. Syaqila menoleh kecil kearah Syahid yang sudah berjalan menjauh dengan Arjuna di sebelah pemuda itu. Gadis berkerudung itu menghela pelan dengan menatap nanar Syahid yang masih saja bersikap dingin padanya.
Syaqila mendongak ke samping saat seseorang menarik ujung lengan seragamnya. "Disuruh pemanasan, noh!" Tunjuk Kean yang berdiri di belakangnya. Syaqila mengerjap dengan mengangguk pelan lalu mengekori kelas lain yang sudah berlari duluan keliling lapangan.
Pemanasan berlangsung hampir setengah jam membuat banyak murid yang beristirahat di pinggir lapangan dengan nafas yang masih ngos-ngosan. Banyak dari mereka yang tidur telentang di tengah panasnya terik matahari dengan keringat yang sudah membasahi pakaian olahraganya.
Kean masih berlari kecil mengekori Syaqila di depannya yang memimpin kelasnya. Gadis itu tampak sempoyongan dengan sesekali menghentikan larinya membuat teman kelasnya mengungguli dan meninggalkannya di belakang. Syaqila terlihat menggigit bibir dengan wajah pucat, gadis itu berulang kali meringis kecil dan memegang perutnya kesakitan.
Kean yang masih berdiri menunggunya jadi mendekat menghampirinya, "elo kenapa? Sakit?"
Syaqila menganggukan kepalanya lemah masih menunduk dengan memegang perutnya yang berdenyut nyeri.
"Ke UKS aja. Atau perlu gue antar kesana?" Ujar pemuda itu berusaha membantu, namun Syaqila menggelengkan kepalanya lagi.
"Gakpapa, gue bisa sendiri. Makasi ya," tutur gadis itu tersenyum lembut membuat Kean tertegun dan salah tingkah. "Apasih, cuma bantu ke UKS aja." Katanya gelagapan masih memandangi Syaqila yang sudah berjalan dengan tertatih masih memegang perutnya.
"EHHHHHHHH?!" Pekik Kean panik saat melihat gadis itu sempoyongan dan kehilangan keseimbangan. Namun, sebuah tangan dengan cepat menarik kedua lengan gadis itu dan membopongnya cepat.
"Lah siapa itu? Pacarnya? Gercep amat elah...." cibirnya masih mencebikan bibir pelan dan melongos begitu saja.
_____
Pemuda itu masih berlari kecil dengan Syaqila dalam gendongannya. Wajahnya datar namun terlihat panik. Sosok tinggi itu pun mendorong pelan pintu UKS dengan kaki panjangnya membuat dokter yang berada di dalam sana tersentak kaget.
"Dia kenapa?"
"Pingsan." Balasnya pelan dengan berjalan kearah ranjang UKS diikuti dokter perempuan yang terlihat mengambil stetoskop miliknya.
"Baringkan di sini!" Pemuda itu mengangguk pelan lalu merebahkan tubuh Syaqila yang masih hilang kesadaran.
"Dia kayaknya kecapean, mungkin dia tidak sarapan sebelum olahraga tadi." Jelas dokter membuat sosok itu terdiam masih menatap lurus gadis berkerudung yang terbaring lemah di hadapannya. "Gak usah cemas, sebentar lagi dia sadar kok. Cuma butuh istrahat sedikit, kalau bisa belikan dia krim soup di kafetaria sekolah. Nanti pas bangun biar dia makan," tambah dokter membuat pemuda itu mengangguk lagi dan melangkah keluar begitu saja dengan menyempatkan menutup pintu UKS.
Pemuda tampan itu berjalan cepat kearah kafetaria dengan menajamkan pandangannya. Saat hendak melewati belokan, cowok itu terdiam dengan mengangkat alis melihat Yunna kini menghadang jalannya.
"Tadi siapa yang lo gendong?"
"Minggir!"
Yunna berdecak samar dengan menatap pemuda itu lurus, "jadi ini alasan lo nolak jadi partner gue? Gara gara cewek tadi? Elo gak mau dia salah paham?"
Pemuda itu mengkerutkan kening dengan menggertakan gigi.
"Gue bilang minggir." Ujarnya masih dingin dengan menatap Yunna tajam, bukannya takut gadis itu malah tersenyum manis dengan memegang kedua lengan sosok tampan itu.
"Syahid, gue tahu kok elo tahu semua rahasia gue dan badut badut gue. Gue ngerasa curiga karena lo tahu tentang istilah badut itu, dan gue yakin seratus persen elo tahu semuanya." Ujarnya masih memandang Syahid dengan berbinar, "tapi gue gak akan pernah jadiin lo badut gue kok, gue janji." Tambahnya lagi masih dengan memainkan lengan pemuda di hadapannya itu. "Gue juga gak akan laporin ke orang-orang gue kalau lo tahu rahasia gue, gue bakalan tetap tutup mulut." Tuturnya masih dengan senyum mengembang.
"Tapi dengan dua syarat, elo jadi pacar gue dan cewek tadi jadi badut gue. Gimana?"
Syahid mengeraskan rahang dengan melangkah mendekat membuat Yunna sontak memundurkan wajahnya kaget.
"Dengarin gue baik baik, pacaran itu harusnya manusia dengan manusia. Bukannya manusia dengan monster kayak lo," ujar Syahid dengan menekan setiap kata yang ia ucap. "Dan soal lo mau jadiin cewek tadi badut ataupun mainan lo? Gue gak peduli." Tambahnya lagi lalu berlalu begitu saja buat Yunna terdiam dengan mengepalkan tangannya erat.
"Cowok itu bener bener bikin darah gue mendidih, lihat aja! Lihat aja apa yang bakal gue lakuin biar lo bisa bertekuk lutut dihadapan gue!"