Terbongkarnya Rahasia

1444 Words
Syaqila terlihat bergerak kecil sembari perlahan membuka kelopak matanya. Gadis berkerudung itu menolehkan kepala ke samping menatap Syahir yang terlihat duduk dengan merunduk membaca buku. Qila menarik sudut bibirnya pelan, lalu beranjak duduk membuat Syahir tersentak kaget dan refleks membantunya dengan menyempatkan menyimpan bukunya di atas nakas. "Gimana? Udah enakan apa belum?" Syaqila mengangguk kecil dengan mengerjap samar memandangi pintu masuk dengan sendu, "tadi yang gendong elo kesini, Syahid...." ujar Syahir membuat Syaqila sontak tersenyum dengan wajah berbinar. "Beneran Syahid? Kamu gak bohong kan?" Tanyanya dengan antusias, Syahir tersenyum samar sembari menganggukan kepalanya yakin. "Lain kali tuh perhatiin kesehatan, jangan selalu nunggu disuruh baru mau makan. Emangnya makan sesusah apa sih sampai gak lo lakuin? Jangan pernah sakit sakit lagi, bikin gue khawatir aja." Omel Syahir dengan menoyor pipi kembarannya dengan telunjuk, "gue mau ikut ekskul sekarang. Elo mau langsung pulang apa mau nungguin gue di sini?" "Aku tunggu di sini dulu sebentar, nanti baru ke kelas sekalian mau ambil tas," "Yaudah, istrahat ya. Nanti gue jemput," tutur Syahir lembut dengan mengusap kepala sang adik lembut. Syaqila tersenyum lebar dengan wajah berbinar. Ternyata Syahid tidak sedingin yang ia pikirkan selama ini. Walau kadang cara bicaranya yang kaku. Tatapan matanya yang tajam dan kadang bikin takut. Bahkan, sampai gesturnya pun seakan mengatakan kalau pemuda jangkung itu memang tidak peduli dengan dunia sekitar. Namun, nyatanya Syahid masih memiliki hati nurani. Masih peduli terhadapnya. Sederhana memang, namun sangat berarti bagi Syaqila. Gadis itu bergerak kecil, melompat turun dari ranjang UKS dengan menyempatkan memakai sepatu miliknya yang tersimpan rapi di kolong ranjang. Dengan melangkah gontai, Syaqila pun berjalan keluar sembari menutup pintu. Gadis dengan kelopak mata monolid itu mengedarkan pandangannya, melihat sekelilingnya yang nampak sepi. Hanya ada beberapa murid yang tinggal di sekolah, karena lanjut ekskul sampai sore nanti. "Syahid masih di sekolah gak ya?" Gumamnya dengan berjalan cepat dan menyebrang ke lapangan basket menuju gedung sekolahnya. Ada beberapa anak cowok yang sedang latihan basket dan beberapanya ada yang lesehan di pinggir lapangan dengan minuman di tangan masing-masing. Syaqila mengerjap pelan, menghentikan langkahnya. Mengenali salah satu diantara para cowok yang duduk istrahat di pinggir lapangan. Gadis itu melangkah ragu dengan menggigit bibir kecil sembari berdehem pelan membuat beberapa anak cowok menoleh kearahnya. Arjuna yang sedang menenggak minumnya jadi mengernyitkan dahi dan sontak menutup botol minumnya. "Anu.... mau nanya, Syahid masih di sekolah gak ya?" Tanya Qila dengan mencengkram sudut rok panjangnya karena beberapa anak basket melihatnya kini, Arjuna beranjak berdiri dengan menggelengkan kepala lemah. "Gue juga gak tahu, dia habis bel pulang langsung ngilang." "Udah pulang kali ya?" Tanya Qila lagi dengan melemaskan bahu seakan kecewa. Arjuna menaikan satu alis, "belum, motornya aja masih di tempat parkir. Paling keluyuran," jelas Juna dengan entengnya membuat Qila mengangguk paham. "Kalau begitu permisi ya, makasih." Ujar sembari berbalik dengan tersenyum kecil. Arjuna menghela nafas sembari berbalik meraih ransel dan handuk kecilnya dan mengekori Qila yang tersentak kaget karena kemunculannya di koridor. "Gue temenin cari Syahid." Katanya dengan tersenyum tampan dan melangkah cepat memimpin. "Enggak perlu, aku bisa sendiri kok." Tolak Syaqila dengan mengibaskan tangan di udara merasa tidak enak. "Elah, gak usah sungkan. Gue juga ada perlu sama tuh anak," kata Arjuna tegas dengan melangkah lagi menyusuri koridor. Syaqila mengangguk kecil dan mengekori pemuda di sampingnya yang melangkah tenang, berbeda dari biasanya. Keduanya menghentikan langkahnya saat seorang gadis berdiri dengan tersenyum manis kearah mereka. Gadis yang menguncir dua rambut panjangnya itu melambai kecil dan menarik lengan Syaqila pelan mrmbuat gadis berkerudung itu mengerjap kaget. "Elo Syaqila kan? Cewek yang tadi pagi di gendong sama Syahid?" Tanya sang senior masih tersenyum manis memandangi Qila yang nampak kebingungan, Arjuna hanya tersenyum tampan memandangi sang senior idaman di depannya kini. "Eh iya kak. Kenapa ya?" "Bagus. Gue lagi ada perlu sama lo." Ujarnya tersenyum cantik lalu menolehkan kepala kearah Arjuna yang jadi berbinar menatapnya. "Temannya gue pinjam bentar ya?" Arjuna refleks mengangguk dengan melambaikan tangan memandangi keduanya melangkah menjauh meninggalkan ia sendirian di koridor. "Bentar. Kak Yunna ada urusan apa sama Syaqila?" **** Malam semakin gelap. Langit pun terlihat mendung tertutup awan. Cahaya bintang sama sekali tidak terlihat. Bahkan, lampu di sekolah Aurora nampak mati menandakan sekolah itu sudah tidak berpenghuni lagi. Namun, saat ini. Di tengah malam yang begitu gelap dan larut. Ditemani gerimis yang mulai turun. Seorang gadis dengan rambut panjang sepunggung yang masih memakai seragam sekolahnya nampak berdiri di atas tembok pembatas atap sekolah. Tangannya terlihat sesekali mengusap bulir hangat yang mengalir deras pada kelopak matanya sembari mendenguskan hidungnya yang sudah berair. Gadis itu bergerak kecil dengan menarik name tag di atas saku seragamnya yang mulai basah karena gerimis. Tertera nama Airin Razeeta di sana. Bibirnya tersenyum miris dengan memandang ke bawah sana, lapangan Aurora yang nampak menakutkan di lihat dari atas atap sekolah. "Mungkin dengan aku mati..... mama gak akan berambisi lagi seperti sekarang... " tuturnya masih sesegukan memandangi name tagnya di tangan, "mungkin dengan Airin menghilang dari dunia ini..... mama akan ngerti kalau selama ini.... keinginan mama dan hasrat mama yang berlebihan itu bisa membunuh Airin.... " lanjutnya masih menangis di tengah gerimisnya hujan. Airin mendongak, membiarkan wajah pucatnya bersentuhan dengan air hujan yang mulai deras membuat ia memejamkan matanya erat. "Airin capek, mah... Airin capek harus menuhin ambisi mama." Tuturnya masih bermonolog sendiri, "Airin pengen punya kebebasan kayak anak anak lain... yang bisa punya teman... atau bahkan punya... pacar." Katanya masih sesegukan dengan mengulum bibir berusaha menahan tangisnya. "Maafin Airin, mah.... " ujarnya dengan menghela pelan, tangannya terlihat melempar jauh name tagnya ke bawah sana. Dengan perlahan, ia memejamkan kelopak matanya sembari merentangkan tangan. Kakinya perlahan bergerak maju menuju ujung tembok dengan tubuh bergetar kecil. "Lompat di situ gak akan bikin lo mati." "WUAH!" Airin memekik kaget dan hampir menjatuhkan diri kalau saja tidak menahan tubuhnya kuat. Gadis itu menolehkan kepala mencari suara berat yang mengagetkannya dan hampir membunuhnya. Di sudut atap, seorang pemuda duduk dengan selonjoran kaki menatapnya sedari tadi. Pemuda yang memakai hoodie hitam dan menutup kepalanya dengan kupluk hoodienya itu nampak terlihat samar-samar di tengah gelapnya malam. Airin mengerjap samar masih shock dengan penglihatannya. Gadis itu melirik jam tangannya yang sudah basah karena hujan, tertera jam dua belas malam lewat di sana. "Kalau lo lompat dari ketinggian segini, elo hanya akan patah tulang dan geger otak. Tingkat parahnya hanya sampai lo koma," jelas sosok itu dingin dengan nada datarnya, Airin memicingkan mata berusaha melihat sosok itu yang sudah beranjak berdiri dan meraih ranselnya di pojokan. "Kamu siapa? Kenapa malam malam di sini? Kamu bukan.... hantu atau sejenisnya kan?" Tanya Airin menuduh masih berusaha memberanikan diri, sosok itu terlihat berbalik dan menatapnya tenang. "Orang yang baru saja mau bunuh diri gak seharusnya takut sama hantu." Sindirnya dengan melangkah mendekat kearah Airin yang nampak kebingungan. Pemuda itu mendongak kecil dan menjulurkan tangan kearah Airin yang hanya menganga kecil menatapnya. Airin mengerjap berusaha mengenali sosok misterius itu. Wajahnya tidak terlalu terlihat. Apalagi sudah larut dan hujan deras begini. "Elo mau gue bantu?" "Oh? Huh?" "Elo mau gue tarik kesini? Atau gue dorong ke bawah?" Airin mengerjap dan menggerakan matanya gelisah. Masih memandangi sosok aneh di depannya itu yang nampak tidak asing. Sosok itu menolehkan kepala ke arah pintu dengan memicingkan mata. Keningnya mengkerut dengan berusaha mempertajam pendengarannya. "Saya dengar ada orang di atas sini, pak!" "Mana ada orang berkeliaran sampai jam dua belas malam begini?" Airin dan sosok itu saling pandang dengan tersentak kaget. Suara langkah kaki makin mendekat membuat sosok berhoodie hitam itu menarik tangan Airin dan menuntunnya kearah sudut atap yang di depannya ada tumpukan kursi dan meja yang sudah tidak terpakai. Keduanya bersembunyi di sana. Airin membeku saat tubuhnya ditindih oleh pemuda itu karena sudut atap yang begitu kecil membuat keduanya begitu dekat. Bahkan, kepala Airin sampai menyentuh d**a pemuda itu yang masih melongokan kepala melihat pihak keamanan yang berpatroli tiba-tiba. Terdengar pintu masuk atap terbuka membuat Airin makin memejamkan matanya erat dan refleks mencengkram hoodie sosok di depannya itu. "Beneran gak ada orang kan? Bapak gak percayaan sama saya. Saya udah patroli tadi sore," "Itu kan tadi sore. Kalau malam harus patroli lagi, bapak gak tahu kalau Mr. Christ menyuruh kita perketat keamanan karena ada orang yang mencoba aneh aneh di sekolah ini." Jelas salah satu pria bertubuh besar dengan seragamnya itu sembari mengarahkan senternya ke setiap sudut. "Aneh gimana?" "Ada anak yang terekam CCTV, masuk ke gedung UKS dan menerobos ke ruangan murid yang bunuh diri waktu itu." "Oh? Yang anak anak sebut Zero itu ya?" "Hm. Iya kayaknya, udah, kita patroli lagi. Cari ke gedung sebelah." Kedua pria itu pun melangkah pergi membuat Airin dan sosok aneh tadi bernafas lega. Pemuda itu menjauhkan diri, memberi ruang Airin untuk melangkah lebih dulu. "Mau lanjut bunuh diri?" Tanyanya dingin masih berdiri tenang memandangi gadis di hadapannya itu. "Eh? Enggak jadi," cicit Airin kecil sembari mendongak kecil menatap pemuda itu lurus. "Kamu kayak familiar banget ya? Apa kita saling kenal?" "Gue duluan." Elak pemuda itu tak menjawab, namun Airin melangkah maju dan menarik ujung hoodienya pelan. "Kamu teman sekelas aku kan?" Tanyanya dengan memandangi pemuda yang masih memunggunginya itu. "Kamu..... Syahid kan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD