"Ini tidak seperti yang kamu pikirkan, aku sama sekali tidak berniat mengkhianati kamu, Raffa!" isak Vanesha sambil mencoba meraih tangan Raffa.
Tapi lelaki tampan itu menepisnya dengan kasar, balik mencengkeram dagunya seraya berkata dengan nada dingin penuh kebencian.
"Pembelaanmu sama sekali tak berguna, aku muak melihat wajah penuh kepalsuanmu, Vanesha. PERGI DARI HADAPANKU!"
***
“Kakak yakin ini tempatnya?” tanya seorang gadis pada pria macho di sebelahnya.
“Ya.” Sang pria menjawab pendek, mereka telah tiba di depan pintu masuk.
Ronald, rekan bisnis Raffa yang baru tiba di Jakarta tadi pagi, mengajak adik perempuannya Vanesha, ke tempat acara pesta Raffa bersama anak buahnya.
Vanesha menilik kembali pakaian semi formal yang ia pakai, terlihat sedikit kurang cocok untuk pergi ke tempat hiburan. Tapi Ronald, kakak lelakinya telah menarik pergelangan tangannya, masuk melewati lorong demi lorong untuk sampai ke tengah ruangan pesta.
“Sesekali, rilekskan pikiranmu dengan berpesta. Jangan berkutat dengan laporan terus, sapa tau ada lelaki yang menarik perhatianmu dan aku akan bahagia jika kamu bahagia,” bisik Ronald lembut yang di denguskan tawa oleh Vanesha.
“Aku mau ke kamar kecil dulu,” cicit Vanesha ketika melihat tanda di atas dinding menunjukkan arah kamar kecil.
“Uhm. Cari aku di dalam jika kamu sudah selesai nanti,” tanggap Ronald dianggukkan kepala oleh Vanesha.
“Kamu sudah sangat cantik, Vanesha. Dalam pakaian apapun, kamu selalu cantik!” cetus Ronald kembali.
Ronald tidak ingin Vanesha sampai membuka kemeja semi formal yang dia pakai untuk membaur di pesta Raffa. Bagaimanapun seorang kakak tidak ingin melihat tubuh adik perempuannya menjadi santapan mata p****************g.
“Jangan kuatir, aku hanya ingin cuci tangan dan mengikat rambutku.” Seakan paham apa yang ada dalam benak saudaranya, Vanesha memberikan jawaban menenangkan.
Setelah melepaskan Vanesha pergi masuk ke kamar kecil, Ronald langsung pergi menemui Raffa yang masih bersama Samir dan Dewa pada sisinya, serta Elmyra yang terlihat menikmati minuman juga camilannya, namun matanya diam-diam selalu waspada pada bencana apapun yang akan menimpa Raffa.
Vanesha sudah memegang handel pintu, ketika telinganya mendengar percakapan dari dua orang pria.
“Kacaukan pestanya begitu terdengar suara tembakan! Aku akan menemuinya lebih dulu.”
“Siap, Bos!”
Begitu sudah tidak terdengar suara lagi, Vanesha mendorong pintu kamar mandi dan memperhatikan pada pintu tertulis ‘Rusak’, padahal dia baru saja keluar dari sana dan tidak ada kerusakan apapun.
“Oh, Kakak! Aku harus memperingatkannya!” gumam Vanesha setengah berlari dan tergesa mencari keberadaan Ronald.
***
Vanesha berjalan cepat, menyisip dari tubuh orang-orang yang sedang menari mengikuti iringan musik dari Disk Jokey.
Tatapan mata Vanesha menengadah ke lantai atas dan mendapati Ronald sedang berbincang dengan seorang pria muda.
“Tampan!” gumam Vanesha yang segera menggelengkan kepalanya, teringat akan pembicaraan dua orang pria di luar pintu toilet beberapa saat lalu.
Vanesha berusaha memanggil dan memberi kode dari posisinya di lantai bawah ke arah Ronald, tetapi suaranya langsung hilang teredam oleh hingar bingar suara musik.
Tempat hiburan di dalam hotel mewah tersebut ada dua lantai dengan bagian tengah ruangannya terbuka. Para tamu VIP biasanya akan berada di lantai dua yang terdapat sofa-sofa dengan pelayanan, minuman serta camilan berbeda dengan di lantai satu juga lantai dasar yang menjadi tempat para pria dan wanita muda berjoget meliuk hingga keringat membasahi tubuh.
Tidak jarang pada lantai dasar ini, para wanita sering mendapatkan pelecehan dari pria-pria nakal yang mendesakkan tubuh mencari kepuasan jika mereka para wanita enggan untuk diajak buka kamar atau keuangan mereka para pria menipis, mencari kenikmatan gratis. Jika beruntung, beberapa wanita akan rela di tarik ke sudut ruangan atau masuk ke bilik toilet untuk dicumbu panas.
Beberapa orang pria berpakaian hitam terlihat menyeruak ke dalam kerumunan orang-orang yang sedang berdansa, juga naik pelataran lantai satu menuju lantai dua.
Raffa memerintahkan semua sekat ruangan yang biasanya ada di lantai satu dan dua menjadi lebih private, di buka. Sehingga anak buahnya bisa membaur dan bersenang-senang satu sama lain. Tetapi tindakan Raffa tersebut justru membuat anak buahnya semakin loyal pada bos muda mereka itu.
“Oh, sepertinya ini benar-benar serius!” gumam Vanesha, mengedarkan pandangan mencari jalan tercepat untuk naik ke lantai dua.
Raffa sedang berbincang hangat dengan Ronald dan Samir. Tiga orang pria muda itu berdiri tidak jauh dari jendela besar di depan mereka sambil memegang gelas minuman bertangkai tinggi pada tangan masing-masing.
“Kau bilang, datang bersama seseorang. Dimana dia?” tanya Raffa memandang Ronald yang tiba-tiba dirinya merasa penasaran akan seseorang yang disebutkan oleh rekan bisnisnya itu sebelumnya.
“Maaf, sepertinya aku tidak bisa berlama-lama di sini.” Samir berbisik menginterupsi ke dekat Raffa yang langsung mengangguk mengerti.
Samir memang tidak boleh terlihat akrab dan dekat dengan Raffa. Karena pria itu adalah sumber aliran informasi. Jika Samir terlihat dekat dan akrab dengan Raffa, para musuh dan lawan Raffa bukan tidak mungkin akan mengincar nyawa Samir untuk dihabisi.
Vanesha tiba di pelataran lantai dua, berpapasan dengan Samir yang hendak turun melewati tangga yang sebelumnya Vanesha naiki.
“Itu dia ….” Ronald berkata pada Raffa sembari melirik ke arah Vanesha yang berjalan tergesa ke arahnya.
“Kau membawa seorang gadis?” kekeh Raffa menyunggingkan senyuman tipis pada gadis muda yang baru saja di lirik oleh Ronald.
“Dia ….”
Belum sempat Ronald menyelesaikan kata-katanya, Vanesha sudah menubruk tubuh Raffa hingga mereka berdua terjatuh berguling di atas lantai dan Vanesha mendorong tubuh Ronald terjengkang ke samping diiringi suara jendela kaca pecah yang luruh jatuh bagaikan hujan, menyisakan lobang besar pada rangka jendela tersebut.