Kedua pasangan tersebut akhirnya berjalan menuju ranjang. Reyea terduduk di sisi ranjang penuh ketakutan. Jemarinya saling bertautan sebagai kamuflase dari kegugupan. Erick menghela napas pelan mencoba menyamakan posisi dengan istrinya. Lelaki tersebut menodongkan tangan mencoba meminta ponsel yang di genggam Reyea. setelah menerima Erick lalu menjawab panggilan dari seseorang yang sedari tadi menghubungi.
Sunyi, senyap tak ada suara apapun. Reyea dengan hati-hati mendengar kalimat selanjutnya yang akan Erick lontarkan.
"Hallo Ma, ada apa?" kata Erick mencoba ramah
Ada jawaban yang sedikit ketus dari sebrang sana."bagaimana apa sudah ada hasilnya?" sebelum menjawab pria yang tengah menggeragas rambut itu menoleh kearah Reyea yang juga tengah memperhatikannya penuh was-was.
"Belum ma."
"Mana Reyea?, Apa dia gak menjaga kesehatannya? Mama pengen punya cucu Erick!" bentakan dari sebrang sana mampu terdengar di gendang telinga Reyea. Erick lalu memberikan ponselnya kepada perempuan yang tengah mengatur napas.
"Hallo Ma." sapa Reyea mencoba sopan, walau matanya terasa panas
"Kamu bagaimana sih Reyea?, sudah hampir tiga tahun tapi belum hamil juga!" Gerutu mertuanya membuat Reyea menggigit bibir menahan isakan
"Belum saatnya Ma." Suaranya pelan, bagai bisikan
"Jangan alasan kamu!" amarah mertuanya membuat Erick yang mendengar hanya bisa menghela napas berat, lalu mengambil begitu saja ponsel yang menempel di pipi Reyea. Telinganya begitu panas mendengar mamanya yang tak menghargai Reyea.
"Mama sabar dulu, aku dan Reyea lagi berusaha untuk memberikan mama momongan. Disini bukan hanya mama yang menginginkan momongan tapi aku dan Reyea juga sangat ingin." suara Erick begitu penuh penekanan
"Sampai kapan mama harus bersabar?, Pokoknya kalau sampai tahun ini Reyea gak hamil, kamu harus menceraikan dia!" Tegasnya lalu memutus telfon sepihak. Erick menghela napas, lalu meletakan ponsel di samping. Matanya beralih menatap Reyea yang tengah terisak pelan lalu menariknya dalam pelukan. Hanya itu yang ia bisa beri pada Reyea perlindungan dan semangat untuk menjalani hari. Istrinya semakin terisak dalam pelukan seolah menumpahkan segala kesakitan yang selama ini di pendam. Saat seperti ini Erick merasa menjadi suami yang gagal, tak bisa menjadi yang terbaik untuk seseorang yang ia sayangi.
Setiap siapapun yang membina rumah tangga pasti menginginkan kehadiran buah hati. Tetapi Tuhan belum berkehendak pada rumah tangga mereka. Kedua pasang suami istri tersebut benar-benar di uji dengan kekurangan yang Reyea punya apalagi Reyea yang harus kuat menghadapi mertuanya. Sebenarnya ibu dari suaminya itu sangatlah baik padanya, hanya saja harapan untuk memiliki momongan secepat mungkin menjadi musnah karena hingga saat ini Reyea tak kunjung hamil. Wajar-wajar saja jika mertuanya mengharapkan cucu dari Erick , mengingat wanita paruh baya tersebut sangat menyayangi anak tunggalnya.
Namun sedikit miris baginya saat Reyea bisa mengertikan mama mertuanya justru ibu dari Erick tak bisa memahami dirinya. Tak ada istri yang tak ingin hamil, bahkan itu adalah cita-cita terbesarnya. Menggendong bayi, menyusui, memandikan, dan mengajarinya bersama suami adalah keinginan yang belum Reyea dapatkan. Tetapi mungkin nanti, semua yang ia inginkan akan Tuhan kabulkan.
"Jangan di ambil hati, ucapan mama ya?" Reyea bergeming, namun isakan tak berhenti, hingga membuat kaos suaminya sedikit basah
"Kamu gak boleh stress. Jangan pikirkan yang gak mesti kamu pikirkan."
Reyea melepas pelukan. "Aku gak bisa mas. Mama begitu memaksa aku buat hamil. seandainya aku bisa mengisi nyawa manusia di perut aku, sudah aku lakukan sejak kita menikah." Sahutnya tersedu-sedu
"Sayang, jangan menangis." Erick mengusap air mata Reyea.
"Mas." Lirih Reyea, Erick mengangkat alisnya
"Jangan tinggalkan aku karena kekuranganku." pinta Reyea penuh permohonan. Erick tak tega melihat kesedihan istrinya mata yang sendu dan basah raut wajah penuh luka membuatnya ingin menangis.
"Gak akan sayang." jawabnya penuh ketulusan
"Jangan menduakan ku mas. Aku berjanji untuk terus berusaha memberikan kamu anak." Lelaki tersebut bergeming. Hanya mampu menganggukan kepalanya agar Reyea percaya. Walau sudut hatinya terluka dan merasa bersalah kepada Reyea karena tak bisa menepati janji. Tetapi mau bagaimana lagi? ia tak ingin melihat istrinya semakin bersedih.
Tangannya terulur untuk mengusap wajah Reyea yang penuh air mata, rambutnya yang sedikit berantakan ia rapikan. Lalu beralih mengecup pipi Reyea penuh sayang. Istrinya memejamkan mata, menikmati rasa yang ditularkan oleh suaminya. Hingga berubah mendalam menjadi desakan-desakan gairah yang memuncak. Erick semakin membuat Reyea b*******h bahkan dirinya pun merasa b*******h.
Erick membaringkan istrinya, dengan perlahan mereka melakukan hal yang sepantasnya dilakukan.
"Mas." Reyea membuka mata, kilatan gairah tercetak jelas di matanya. Erick berhenti, ingin mendengar kalimat yang akan istrinya ucapkan
"Berdoalah agar usaha kita kali ini tercapai mas."
Erick tersenyum, lalu mengangguk kemudian melanjutkan aksinya.
"Mas.." desahan itu semakin parah ketika Erick semakin membuat istrinya kalang kabut.
"Aku.." suaranya terbata-bata bercampur dengan desakan. mereka kemudian bersama, mewujudkan mimpi yang selama ini belum tercapai.
Ia berharap kali ini usahanya dan Reyea tak akan sia-sia. Semoga saja mereka bisa menjadi orang tua secepatnya.
"Mas.." Erick benar-benar tak memberi ampun membuat Reyea tak karuan.
"Mas.."
Suara mereka beradu. Erick dan Reyea sudah mencapai puncak, Erick terbaring disamping Reyea yang memejamkan mata lemas napasnya memburu bagai selesai lari maraton.
Erick bangun dari posisinya, memperhatikan Reyea yang juga memperhatikannya.
Lelaki tersebut membaringkan diri, memerintah istrinya untuk merubah posisi. Reyea kini mengambil alih posisi Erick.
"Pelan saja." perintah suaminya, Reyea mengangguk
Melihat istrinya kelelahan, Erick lalu mengganti perannyatrinya. Reyea terjatuh di d**a bidang Erick, bersamaan benih-benih cinta yang tertanam diantara mereka.
Kini mereka terbaring lemas, dengan keringat yang membanjiri tubuh mereka. Hanya satu harapan yang melangit, semoga saja semuanya tak sia-sia lagi. Erick merubah posisinya, sebelum itu mengecup pelan bibir Reyea lalu beralih memakai seluruh pakaiannya.
"Mas.." Erick yang membelakanginya menoleh, menatap Reyea yang masih dalam posisi berbaring
"Ada apa?"
"Aku ingin lagi."
______________________________________________
Sarah mengusap kasar air mata yang membasahi pipi, bersanding dengan luka di hati yang begitu perih. Kepalanya terasa pening sedangkan matanya begitu merah karena menangis.
Kedua tangannya memegangi kepala yang mendadak serasa ingin pecah. Sarah mengatur napasnya sebaik mungkin agar tak panik. Ia akhirnya bangkit dan berjalan menuju sofa yang berada di sudut kamar. Menyandarkan kepala di sandaran sofa. Matanya serasa berkunang-kunang namun untung saja hanya menyerang beberapa detik. Bibirnya menyentuh gelas kaca yang berisi air putih, yang terletak di atas meja. Meminumnya beberapa cegukan untuk menetralkan keadaan.
Pusing di kepala yang menghujam perlahan menghilang. Sarah bersyukur tak sampai pingsan, akan sangat beresiko baginya mengingat ia tak memiliki siapapun untuk menolong dirinya. Suasana begitu sepi, hanya ada suara dari serangga-serangga kecil diluar sana. Matanya pasti bengkak karena menangis beberapa jam lamanya.
Ia sangat marah, sedih sekaligus kecewa terhadap Erick-kekasihnya. Seharusnya pria yang memiliki jabatan tinggi di Er group bisa mengatur rasa cemburunya. Bukan malah membuat selangkangannya terluka dan merasa terhina.
Kepala Sarah tertunduk, mengumpat didalam hati betapa bodohnya ia. Menjadi simpanan suami orang adalah kesalahan terbesar, belum lagi perasaan dan otaknya harus menerima perlakuan-perlakuan yang tak adil. Lagi, Sarah membenci ini. Air matanya membasahi pipi seakan berdemo padanya bahwa semua ini salah.
Namun berikutnya ia mendongak, menatap ponsel di atas meja menyala dan bergetar. Sarah meraih ponsel yang ia beli dua tahun lalu. Memeriksa seseorang yang menghubunginya.
Sebelum mengangkat panggilan tersebut, wanita itu menghela napas sebentar. Lalu membuka suara
"Hallo, ada apa?"
"Aku minta maaf Sarah." Suara Erick terdengar penuh penyesalan, tapi Sarah tak mudah di rayu seperti itu.
"Untuk apa?, Bukannya semua sudah jelas?"
"Maksud kamu?"
"Aku hanya jalang bagimu mas." jawabnya lirih "lagi pula aku sadar cuman perusak di antara kalian."
"Bukan Sarah, jangan berpikir seperti itu! Kamu yang terbaik buat aku. Aku mohon maafkan aku."
"Sudahlah mas, pilih saja..." Ucapan Sarah menggantung, seorang wanita dari sebrang sana tengah memanggil nama Erick, pasti itu adalah Reyea istri dari Erick.
"Mas, ayo makan malam dulu kamu belum makan setelah kita bermain panas tadi."
Bahkan Sarah bisa mendengar kata demi kata yang di ucapkan Reyea. Entah sengaja atau memang Erick ingin membuatnya cemburu panggilan tersebut tak di putus olehnya sama sekali dan memang Sarah ingin mendengarkan apa yang terjadi. Tetapi justru hatinya yang terluka
"Oh, hmm iya sayang." Sarah bisa mendengar suara kegugupan Erick karena takut ketahuan
"Apa kamu ingin main lagi mas?, lebih cepat?"
Mulut Sarah menganga hebat, bahkan hatinya berdesir pilu. Mendengar semua itu membuat telinga dan matanya panas. Dengan tanpa basa-basi Sarah memutus panggilan tersebut membanting ponselnya ke segala arah hingga tak berbentuk. Wanita yang bekerja di perusahaan Er grup itu menangis tersedu-sedu, sendirian tanpa pelukan.
Nelangsa, tak ada sedikitpun seseorang yang ingin mendengarkan keluh kesahnya. Erick memang jahat, memperlakukan Sarah semena-mena. Sarah rapuh, bagaikan kayu yang lapuk tinggal menunggu tumbangnya.Wanita itu menangis lagi, menumpahkan segala sesuatu yang terasa tak adil.