Part 10. Tawaran Bercocok Tanam

1388 Words
Matahari bersinar sangat terik dan sengatan panasnya seolah akan membakar apa saja yang ada di permukaan bumi. Di siang hari dengan cuaca panas kala itu, pada sebuah gazebo di pinggir halaman rumah besar milik Zinnia, Wala duduk bersandar sambil melepaskan kaosnya yang sudah basah oleh keringat. Dia merasa cukup penat setelah menyelesaikan pekerjaan merapikan rumput serta memangkas beberapa dahan pohon perindang, sehingga dia memilih untuk beristirahat sejenak di gazebo itu. "Minum dulu, Bang. Cuaca hari ini sangat panas, kamu pasti kehausan, 'kan?" Wala tersentak, ketika tiba-tiba seseorang sudah ada di sampingnya, seraya menyodorkan segelas minuman berwarna kuning yang tampak menyegarkan, dengan beberapa butir es batu di dalamnya. "Mbak Zinnia!" Netra Wala membulat. Dia tidak segera meraih minuman itu dari tangan wanita yang kini ada di hadapannya, melainkan hanya menatap penuh rasa canggung. Zinnia hanya tersenyum, menyadari Wala yang terlihat sungkan terhadapnya. "Ayo … diminum, Bang! Aku membawakan jus jeruk ini, khusus buat kamu loh!" bujuk Zinnia, sambil meraih tangan Wala dan menyerahkan gelas jus kepadanya. "Terima kasih banyak, Mbak. Harusnya tidak usah repot-repot seperti ini, 'kan saya jadi tidak enak." Kendati merasa segan, Wala tetap meraih jus itu, sebagai tanda bahwa dia menghargai perhatian Zinnia terhadapnya. "Tidak repot kok, Bang. Aku senang melakukannya untukmu." Zinnia menjawab dengan nada menggoda, sembari terus memandangi Wala dengan senyum manis. Wanita itu ikut duduk di lantai gazebo di sebelah Wala, sembari mengibaskan rambut panjangnya yang tergerai lepas. Wala hanya mengangguk, sambil perlahan mulai meneguk minuman yang Zinnia berikan untuknya. "Aahh ... minumannya sangat menyegarkan, Mbak." Hanya dalam sekali seruput, Wala langsung menghabiskan jus itu tanpa bersisa. Sesungguhnya dia memang sedang sangat dahaga dan minuman itu begitu menyegarkan kerongkongannya. Sambil mengusap bibir dengan punggung tangan, Wala melirik ke arah Zinnia yang terus tersenyum menatapnya. Wala tersipu malu dan sedikit gelagapan. Kedua mata indah milik Zinnia tampak semakin lama kian jelalatan, memandangi dirinya dengan sedikit liar. Buru-buru Wala mengambil kaosnya dan hendak mengenakan lagi, karena dia sadar sedang bertelanjang d**a. Semua itulah yang membuat Zinnia menatapnya dengan cara tidak biasa. "Kalau kaosmu basah, tidak usah dipakai dulu, Bang. Nanti bisa masuk angin." Sangat betah memandangi tubuh atletis Wala, Zinnia sengaja mencari-cari alasan untuk melarang Wala mengenakan kaosnya lagi. "Ee ... ta-tapi, Mbak ... " Wala langsung menghentikan ucapannya dan kian merasa gugup. Melihat ekspresi wajah yang ditunjukkan Zinnia, Wala tidak berani membantah dan paham kalau itu adalah sebuah perintah untuknya. Hal itu juga membuat sejenak keduanya sama-sama saling menatap dan tersenyum geli. Keduanya terkesiap, ketika ponsel milik Wala yang dia letakkan di atas lantai gazebo, tiba-tiba bergetar dan mengeluarkan suara, pertanda ada sebuah panggilan masuk disana. "Maaf, Mbak. Saya izin angkat telepon sebentar." Bergegas Wala menyambar ponsel itu, lalu beranjak sedikit menjauh dari Zinnia. "Hallo, Mak." Wala menjawab sebuah panggilan dari Emak Ratna yang menghubunginya dari seberang sana. "Mak pasti menelepon untuk mengabari kalau Mak sudah menerima uang kirimanku, kan?” Tanpa memberi kesempatan Ratna untuk ikut menyapa, Wala langsung nyerocos, karena dia tahu pasti Ratna menghubungi untuk mengabari kalau dia sudah menerima uang kiriman dari Wala. Satu bulan bekerja di rumah Zinnia, Wala memang sudah mentransfer semua gaji pertamanya untuk sang ibu di kampung. “Mudah-mudahan semua itu cukup untuk kebutuhan Emak selama sebulan.” "Mak senang kamu sudah kirim uang untuk Emak, Wala. Tapi, Mak cuma mau bilang ….“ Ratna sejenak terdiam dan menjeda ucapannya. “Bilang apa, Mak?” sergah Wala dengan kening berkerut. “Mak hanya mau bilang … uang kiriman kamu masih kurang." "Hah ... masih kurang?" Wala terperangah dan membulatkan mata, mendengar apa yang Ratna sampaikan kepadanya. "Iya! Uang yang kamu kirim hanya cukup buat bayar kontrakan. Sekarang Emak masih dikejar-kejar rentenir, karena sudah lima bulan nggak bayar cicilan hutang." "Lima bulan?" Mata Wala kian terbelalak lebar. Selama masih tinggal di kampung, Ratna bahkan tidak pernah bercerita kalau ternyata selama itu dia tidak membayar semua cicilan hutangnya. "Iya, Wala. Selain itu, Emak juga bulan lalu nambah hutang lagi, untuk biaya kamu berangkat ke kota," aku Ratna jujur. Wala sejenak termangu. Dia ingat, ketika dia memutuskan merantau ke kota itu, Ratna memang meminjam uang lagi untuk biaya perjalanan ke kota. "Emak tolong jual saja mobilku. Mungkin itu bisa menutupi sedikit hutang, Mak." Wala memberi saran dan ingin merelakan mobil bak terbuka miliknya, agar dijual oleh Ratna. "Mobilmu sudah ditarik debt collector minggu lalu, Wala! Apa kamu lupa kalau cicilan mobil itu juga masih nunggak lebih berbulan-bulan?" Wala kembali terkesiap dan tak mampu berkata-kata. Lagi-lagi dia teringat, bahwa angsuran mobil itupun sudah lama tidak dibayar. Sangat wajar bila pihak finance kini menariknya. "Ya sudah, Mak tenang saja dan jangan terlalu risau masalah hutang. Nanti Mak bisa stress dan jatuh sakit. Mak tenang saja, aku akan usahakan kirim uang lagi secepatnya," pungkas Wala tidak ingin Ratna merasa tertekan, karena memikirkan banyaknya beban hutang seorang diri. Wala membuang napas lesu, seraya mengusap wajahnya. Dia tahu bahwa hutang-hutang emak di kampung memang cukup banyak dan sudah pasti, sangat mustahil baginya bisa mendapat uang sebanyak itu dalam waktu singkat. "Ada apa, Bang?" Wala terkesiap dan tidak menyadari Zinnia sudah ada di sebelahnya, seraya mengusap punggungnya. "Ti-tidak ada apa-apa, Mbak." Wala menggelengkan kepalanya, merasa gugup mendengar pertanyaan tiba-tiba dari Zinnia. "Aku minta maaf, karena tidak sengaja menguping percakapanmu di telepon, Bang." Zinnia berdalih. Sesungguhnya dia memang sengaja menyimak apa yang tadi Wala bicarakan dengan emaknya di sambungan telepon. "Apa benar kamu sangat membutuhkan uang saat ini, Bang?" Zinnia bertanya sambil menatap Wala penuh makna. "Ee ... " Wala terdiam dan tidak tahu bagaimana menjawab pertanyaan Zinnia. "Kamu butuh berapa, Bang? Apa sekiranya aku bisa membantumu?" Melihat Wala yang terlihat gugup, Zinnia langsung menyambung bertanya lagi. "Sa-saya ... " Lidah Wala tercekat dan sejatinya dia tidak ingin menceritakan apapun persoalan pribadinya kepada Zinnia. "Tidak usah malu, Bang. Ceritakan saja semua padaku," bujuk Zinnia, menekankan keinginannya agar Wala berkata jujur kepadanya. "Kalau diizinkan, saya mau kasbon dulu, Mbak. Saya harus kirim uang lagi untuk emak, supaya bisa bayar hutang." Walau sedikit ragu, Wala akhirnya memberanikan diri juga, mengutarakan keinginannya kepada sang majikan. Mendengar apa yang Wala ungkapkan, sebuah senyum kembali mengembang di bibir Zinnia. Dia lantas menatap Wala seraya berujar, "Itu perkara mudah, Bang. Tidak perlu kasbon. Kalau kamu mau aku bisa memberimu bonus tinggi. Tapi dengan syarat, kamu harus mau mengerjakan pekerjaan tambahan dariku." "Pekerjaan tambahan apapun pasti akan saya kerjakan, Mbak. Saya benar-benar sedang butuh uang," jawab Wala sigap akan kesediaanya, menerima apapun pekerjaan yang akan diberikan oleh Zinnia. “Apa Bang Wala mau mengajariku cara bercocok tanam?” Zinnia bertanya dengan ucapan ambigu, serta tersenyum genit menatap wajah pria rupawan di hadapannya. "Bercocok tanam?" Wala mengerutkan dahinya. "Memangnya Mbak Zinnia mau berkebun juga?" tanya Wala dengan kata-kata polos, karena dia memang tidak paham maksud tersembunyi yang disampaikan Zinnia. "Iya, Bang. Aku ingin kamu menanam batang singkong di lahanku," sahut Zinnia bernada konyol, sambil terkekeh dan wajah mulai bersemu merah. "Hah?" Mata Wala kian membulat, sangat bingung dan tidak paham maksud dari kalimat Zinnia. "Kalau kamu masih bingung ... datang ke kamarku pukul tujuh nanti malam. Aku akan jelaskan apa yang Bang Wala harus ajarkan kepadaku." Zinnia berkata dengan gaya centil dan terus menunjukkan tatapan nakalnya. "Ke kamar?" Wala semakin bingung dan masih belum bisa menebak maksud ucapan Zinnia. "Tidak usah banyak bertanya lagi, Bang. Pokoknya nanti malam aku tunggu di kamar!" Zinnia menegaskan sekali lagi. Perlahan dia mendekati Wala dan menatapnya dengan senyum penuh arti. "Kalau kamu mampu melakukan pekerjaan ini sesuai keinginanku, aku pasti akan membayar bonus yang sangat pantas untukmu." Zinnia mendekatkan bibirnya ke telinga Wala dan berbisik genit. Namun, tangannya juga bergerak liar. Jari-jari lentiknya menyentuh d*da bidang Wala dengan gerakan sedikit menggoda dan sudah pasti semua itu sukses membuat jantung Wala berpacu tak beraturan. Untung saja jantung itu adalah pemberian Sang Pencipta. Kalau saja itu buatan tangan manusia, mungkin saja onderdil penting dalam tubuhnya itu, kini sudah terlepas, tak sanggup menahan frekuensi getaran supersonic maha dahsyat dari ucapan Zinnia. "Silahkan lanjutkan pekerjaan kamu, Bang … dan jangan lupa, aku menunggumu nanti malam." Zinnia perlahan sedikit bergeser dan membuat jarak dari Wala, sambil menegaskan lagi perintahnya. Sembari terus mengulas senyum menggoda, Zinnia berjalan masuk ke dalam rumahnya, meninggalkan Wala sendiri di gazebo yang ada di halaman rumahnya tersebut. "Aku masih tidak paham, sebenarnya apa maksud Mbak Zinnia, menyuruhku mengajarinya cara bercocok tanam?" Wala menggumam sendiri. Sejauh itu pikiran lugunya belum bisa mengartikan, pekerjaan tambahan apa yang akan Zinnia berikan kepadanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD