Part 05. Harapan Emak

1235 Words
Wala turun dari mobil ketika kini dia sudah sampai di halaman rumahnya. Pekarangan rumah itu memang tidak terlalu luas, tetapi di sana tampak sangat asri. Aneka jenis tanaman hias berjejer rapi di setiap sudut pekarangan dan semua terlihat tertata apik nan indah. Tangan terampil Wala memang selalu merawat tanaman-tanaman itu dengan penuh ketelatenan, karena merawat tanaman hias memang adalah kegemarannya. Dengan langkah lelah, Wala masuk ke dalam rumahnya. "Mak ... aku pulang!" Seperti biasa, dia pasti akan meneriakkan kalimat itu setiap kali pulang dari bekerja. "Kemana saja kamu jam segini baru pulang?" Dengan menunjukkan senyum masam, Emak Ratna berdiri menyandar di kusen pintu kamar sambil menyilangkan kedua tangan di d**a, serta menatap Wala dengan raut wajah datar. Tidak ada sambutan hangat yang dia tunjukkan kepada putranya saat baru pulang bekerja. "Tadi aku keliling kampung untuk menjual tanaman hiasku, Mak," sahut Wala tanpa menoleh ke arah Ratna dan sibuk melepaskan sepatu sneakers yang masih terpasang di kaki, serta menyimpannya di rak sepatu. "Mak, aku lapar sekali. Mak masak apa hari ini?" Wala tersenyum menatap sang ibu. Kendati Ratna tidak menyambutnya dengan sumringah, tetapi dia menerka kalau ibunya hanya sedang lelah saja. Ratna memang akan selalu seperti itu, ketika dia terlalu sibuk mengerjakan pekerjaan rumah sendiri, atau mungkin sedang tidak punya uang. "Memangnya kamu saja yang lapar? Mak juga lapar karena dari pagi belum makan." Ratna mengerucutkan mulutnya dan menjawab ketus. "Loh, Mak nggak masak?" tanya Wala heran. "Mau masak pakai apa? Corong merah?" cibir Ratna dengan senyum kecut. Wala terpaku mendengar jawaban ibunya. Seketika keningnya berkerut seraya menatap Ratna dengan sebelah matanya menyipit. "Beras habis dan Emak sudah nggak punya uang lagi," sambung Ratna masih bernada ketus. Suara hembus napas kasar Wala, langsung terdengar setelah ucapan ibunya tersebut. Sambil menggeleng, gegas dia merogoh saku celana dan mengambil dompet. "Ini, Mak. Buat beli beras dan sayuran. Tolong segera masak, aku sudah sangat lapar." Wala menyerahkan selembar uang kertas berwarna biru kepada emaknya. "Cuma segini?" Walau tangan Ratna meraih uang itu dari tangan Wala, tetapi matanya juga terbelalak lebar. "Seharian kamu pergi jualan dan hasilnya hanya lima puluh ribu saja?" sergahnya, menegaskan rasa kecewa, karena Wala pulang tanpa membawa hasil seperti yang dia harapkan. "Yah, apa boleh buat, Mak? Jualanku sepi, bahkan hari ini nggak ada pembeli sama sekali." Wala berkilah dan berusaha membeberkan alasan sebenarnya. "Makanya, Emak bilang juga apa? Berhenti jualan bunga dan cari pekerjaan yang lebih baik! Percuma Mak sekolahin kamu sampai lulus SMK, tapi kerjanya cuma jadi penjual tanaman!" Ratna menyeringai sinis. "Mak tadi ketemu sama Diffen, sahabat kamu. Sekarang dia sudah jadi orang sukses semenjak kerja di kota. Punya mobil baru dan uangnya juga banyak. Tidak seperti kamu! Tiap hari mainannya janda bolong! Mending cariin Emak janda kaya, buat jadi mantu Emak!" hardik Ratna semakin ketus. Wala terperangah dan kedua alisnya seketika berkerut mendengar sindiran tajam emaknya itu. "Mak, yang terlihat dari luar indah, belum tentu dalamnya juga baik. Bisa saja penampilan Diffen sekarang terlihat elit, tapi sebenarnya hidup dia sulit." Wala menyanggah tegas ucapan Ratna, tentu saja karena dia tahu pekerjaan seperti apa yang dilakoni sahabatnya itu di kota. "Lah ... daripada kita ... hidup sudah sulit, makan harus irit, hutang melilit, lama-lama bisa mati menjerit!" Ratna mengangkat satu ujung bibirnya. Wala kembali hanya menggeleng, terkekeh samar dan tersenyum kecut mendengar ledekan konyol Emaknya. "Wala, Mak rasa kamu sebaiknya mengikuti jejak Diffen. Pergi merantau ke kota dan cari pekerjaan di sana. Daripada tinggal di kampung ini terus, kamu nggak akan pernah bisa jadi kaya." Ratna menyambung ucapannya dengan perasaan jengah. Sudah sejak lama, dia selalu berharap agar putranya mau pergi mengadu nasib dan mencari pekerjaan lebih layak di kota. "Kalau aku pergi merantau, lalu siapa yang jaga Emak? Aku tidak tega meninggalkan Emak sendiri di kampung ini." Jawaban Wala juga pasti akan sama. Dia selalu menolak disuruh pergi bekerja di kota, meski dengan alasan memperbaiki ekonomi keluarga. Berdalih tidak ingin meninggalkan Ratna sendiri di kampung itu, Wala juga tidak pernah setuju apabila ada yang mengajaknya pergi merantau. "Hidup Emak akan lebih damai kalau kita punya banyak uang, Wala! Emak rela tinggal sendiri, daripada setiap hari rumah ini ramai didatangi para rentenir. Kepala Emak mau pecah setiap hari mikirin hutang," jengah Ratna sambil memijat kepalanya sendiri, sadar kalau selama ini dia memang senantiasa dikejar-kejar para penagih hutang. Wala menghela napas dalam, sepintas pandangannya tertuju pada mobil bak terbuka miliknya. Dia ingat bahwa mobil itu pun dia beli dengan cara meminjam uang. Rumah sederhana yang dia tempati bersama emaknya, juga hanya sebuah rumah kontrakan dan setiap bulan, dia bersama Ratna harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan setelah pandemi, kehidupan mereka semakin terpuruk ke titik paling rendah. Untuk makan sehari-hari saja mereka kesusahan. Meningkatkan taraf hidup menjadi lebih baik, juga sudah pasti sangat sulit di masa seperti itu. "Emak minta, kamu pikirkan lagi baik-baik, Wala! Emak sangat yakin, kalau kamu merantau ke kota, kamu pasti akan sukses di sana. Emak akan selalu mendukungmu!" Ratna menegaskan lagi keinginannya dan Wala hanya bisa membeku tanpa merespon, berusaha mencerna petuah yang disampaikan emaknya. "Sudahlah! Emak mau beli beras dulu, mau masak sebelum cacing-cacing di perut berubah jadi naga." Sambil memalingkan wajah acuh, Ratna bergegas berlalu dari hadapan putranya, untuk segera ke warung dan membeli beberapa kebutuhan pokok. Wala mengacak rambut serta mengusap perutnya yang semakin terasa keroncongan. Dia tersenyum masam, melihat dompetnya yang kini sudah tidak ada isinya lagi. "Sepertinya apa yang dikatakan emak ada benarnya juga. Meskipun aku senang tinggal di kampung ini, tapi disini aku tidak akan bisa meraih cita-citaku." Pikiran Wala seketika menjadi bimbang. Sedari kecil dia memang punya cita-cita ingin menjadi orang sukses. Untuk mewujudkan semua itu, dia tidak mungkin hanya menjadi seorang penjual tanaman hias selamanya. Hingga hari itu berganti malam, Wala masih merasa dalam kebimbangan. Keinginan Ratna agar dia mau merantau ke kota, serta banyaknya tagihan-tagihan hutang di kampung itu, membuat Wala bingung untuk memutuskan. Antara pergi atau tidak, Wala belum berani menentukan apapun. Dia masih terus membayangkan, bagaimana sulit dan kerasnya kehidupan di kota besar. Terlebih setelah dia tahu sebuah fakta akan pekerjaan sahabatnya, Diffen. Dia tidak mau gegabah menentukan keputusan apa yang akan dia ambil. Tanpa mendapat pekerjaan yang jelas di sana, dia juga tidak akan mungkin pergi ke kota. Wala merebahkan tubuhnya di atas kasur di dalam kamarnya yang hanya berukuran sembilan meter persegi. Pikirannya menerawang dan netranya menatap langit-langit ruangan kamarnya. Meski malam sudah cukup larut, tetapi dia masih terjaga dan entah mengapa, sulit baginya memejamkan mata. Sesaat, dia teringat lagi akan tawaran Zinnia yang juga mengajaknya bekerja di kota. "Ahh, kartu nama!" Wala terperanjat dan segera mengangkat punggungnya dari atas bantal, ketika ingat sebuah kartu nama yang Zinnia berikan kepadanya. "Dimana kartu nama yang diberikan Mbak Zinnia tadi siang?" Wala menggaruk kepalanya meski tidak terasa gatal, mencoba mengingat dimana dia menyimpan kartu nama itu sebelumnya. Gegas dia bangun dari atas tempat tidur, lalu memeriksa saku celana yang tadi siang dia pakai dan masih tergantung di belakang pintu. "Aha ... ini dia!" Wala tersenyum lebar sembari memegang kartu nama yang sudah dia temukan di saku celana. "Mungkin memang sudah saatnya aku harus mencoba peruntungan di kota." Wala mulai mendapat sedikit harapan setelah membaca lagi kartu nama milik Zinnia. Dengan penuh keyakinan, Wala lantas meraih ponsel miliknya dari atas meja. "Aku akan menghubungi Mbak Zinnia dan bilang kalau aku menerima tawarannya. Selama pekerjaanku halal, ku rasa tidak ada salahnya aku pergi merantau." Wala membuka aplikasi pesan singkat di ponsel pintarnya, lalu mulai menghubungi Zinnia melalui beberapa pesan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD